Mubadalah.id – Pernahkah kita berpikir bagaimana cara supaya kita semua terus memperoleh cukup pangan? Apakah pangan tersebut hanya sekadar memiliki persediaan yang cukup? Atau lebih daripada itu, bagaimana cara supaya setiap orang, di mana pun mereka berada, mulai dari petani di desa sampai pekerja kantoran di kota, dapat menikmati pangan yang aman dan bergizi secara berkelanjutan?
Untuk menjawab kondisi tersebut, kita semua membutuhkan ‘ketahanan pangan’, yakni kemampuan suatu negara atau komunitas dalam menjamin jumlah, mutu, dan akses pangan sehingga dapat kita nikmati secara berkelanjutan.
Sayangnya, ketahanan pangan kita saat ini sedang diuji oleh krisis lingkungan dan kerusakan sumber daya alam (SDA). Sehingga mengancam kemampuan untuk memenuhi pangan sebagai kebutuhan dasar kita. Krisis ini mengakibatkan produksi pangan menjadi tidak menentu. Bahkan kadang berkurang drastis. Tentu saja hal ini dapat mengancam keberlangsungan hidup kita.
Ketergantungan Pertanian pada Energi Fosil
Saat ini, sistem pertanian kita masih sangat bergantung pada energi fosil. Misalnya penggunaan minyak bumi dan gas (migas) serta batu bara untuk alat-alat pertanian, pengolahan, sampai distribusi pangan. Penggunaan energi fosil ini tidak hanya membuat biaya produksi meningkat, tetapi juga memicu emisi gas rumah kaca yang membuat suhu bumi semakin panas.
Akibatnya, pola cuaca jadi tidak menentu, musim hujan dan kemarau berubah-ubah. Bahkan bencana seperti banjir dan kekeringan jadi semakin sering terjadi. Di beberapa wilayah di Indonesia, kekeringan yang berkepanjangan pernah membuat petani gagal panen padi, sementara di tempat lain banjir bandang merusak ladang dan kebun.
Data dari Kementerian Pertanian tahun 2023 juga menunjukkan penurunan produktivitas pertanian kita akibat cuaca ekstrem ini. Bayangkan kalau petani kita harus terus-menerus menghadapi cuaca ekstrem, hasil panennya pasti tidak stabil, bahkan bisa gagal panen.
Tentu saja hal ini jelas membuat ketahanan pangan kita menjadi rapuh. Kalau sudah begini, siapa yang rugi? Tentu saja kita sebagai masyarakat luas, terutama bagi mereka yang masih bergantung pada hasil pertanian untuk makan sehari-hari.
Kelaparan di Tingkat Global
Bahkan, di tingkat global, krisis lingkungan yang berdampak terhadap ketahanan pangan ini telah menyebabkan kelaparan di berbagai belahan dunia. Menurut data FAO dan World Food Programme (WFP) tahun 2024, terdapat sekitar 864 juta orang mengalami kelaparan, dimana 343 juta orang di antaranya berada dalam kategori “kelaparan ekstrem”.
Di Afrika, sekitar 58% populasi mengalami kelaparan. Sementara di Asia mencapai hampir 25% populasi, lalu di Amerika Latin dan Karibia mencapai sekitar 28% populasi. Data-data tersebut semakin menunjukkan bahwa krisis lingkungan sangat berdampak negatif terhadap ketahanan pangan yang mengakibatkan kelaparan sehingga mengancam pemenuhan nutrisi dunia.
Peran Transisi Energi Berkeadilan dalam Ketahanan Pangan
Lalu, dengan kenyataan yang kita hadapi saat ini, bagaimana caranya supaya kita bisa menjaga ketahanan pangan ini dengan baik? Apakah hanya soal menambah produksi pangan? Atau ada cara lain yang lebih bijak dan adil? Nah, di sinilah pentingnya transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Seperti yang kita tahu bahwa sistem pertanian kita masih bergantung kepada energi fosil. Di mana selain sumber dayanya terbatas, energi ini juga menjadi penyebab utama perubahan iklim yang mengakibatkan perubahan cuaca yang makin tak menentu.
Jika kita terus-menerus mengandalkan energi fosil, bukan hanya lingkungan yang rusak, melainkan juga ketahanan pangan kita juga yang makin terancam. Jadi, transisi energi sebenarnya adalah langkah penting supaya kita bisa mengurangi dampak negatif dari penggunaan energi fosil itu.
Dengan transisi energi yang adil, kita tidak hanyak mengurangi dampak buruk ke lingkungan, tetapi juga memastikan semua pihak, terutama petani kecil dan masyarakat rentan, bisa mendapatkan akses energi yang layak untuk mendukung produksi pangan mereka.
Transisi ini tidak hanya bicara soal aspek teknis dan teknologi saja, tetapi juga soal kita beralih dari sumber energi yang merusak lingkungan ke energi yang lebih bersih dan merata aksesnya. Tujuannya supaya semua orang bisa merasakan manfaatnya tanpa ada yang dirugikan.
Ketahanan Pangan yang Berkelanjutan
Jika kita menginginkan ketahanan pangan yang kuat dan berkelanjutan, kita harus mulai berpikir bagaimana energi yang kita pakai bisa lebih ramah lingkungan dan merata distribusinya.
Transisi ini juga menekankan aspek keadilan sosial, di mana memastikan bahwa semua orang, terutama petani kecil dan masyarakat yang selama ini kurang mendapat akses energi, bisa ikut merasakan manfaatnya. Jangan sampai energi bersih hanya dinikmati oleh segelintir orang atau perusahaan besar. Sementara petani kecil tetap kesulitan.
Keadilan di sini berarti akses yang merata, harga yang terjangkau, dan dukungan yang cukup supaya semua pihak bisa beradaptasi dan berkembang.
Jika kita bisa mewujudkan transisi energi yang berkeadilan, maka produksi pangan juga bisa jadi lebih stabil dan berkelanjutan. Petani bisa mengandalkan energi bersih untuk mengairi sawah, mengoperasikan alat pertanian, dan menyimpan hasil panen tanpa harus khawatir biaya energi yang mahal atau pasokan yang tidak pasti.
Selain itu, lingkungan juga lebih terjaga, sehingga dapat meminimalkan dampak cuaca ekstrem yang bisa merusak ladang. Maknanya, ketahanan pangan kita tidak hanya untuk bertahan untuk hari ini, tetapi juga untuk generasi mendatang.
Kisah Keteladanan Yusuf dalam Mendukung Ketahanan Pangan
Dalam mewujudkan transisi energi yang berkeadilan, apakah kita hanya cukup mengandalkan teknologi dan kebijakan? Tentu saja tidak.
Di sinilah nilai-nilai spiritual dan moral yang terkandung dalam ajaran-ajaran agama memiliki peran strategis sebagai landasan atau sumber nilai moral dan motivasi spiritual untuk menjaga bumi dan SDA. Tujuannya supaya dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Selain itu dapat mendukung ketahanan pangan yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Dalam tradisi agama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam), kisah keteladanan Yusuf sebagai salah satu tokoh sentral dalam agama samawi. Kisah ini dapat menjadi titik temu untuk dialog dan kerjasama lebih lanjut dalam rangka menciptakan ketahanan pangan yang berkeadilan dan berkelanjutan untuk semua dengan memperhatikan prinsip transisi energi berkeadilan.
Selain itu kisah Yusuf yang berkaitan dengan ketahanan pangan juga diceritakan pada Kitab Kejadian Pasal 41 menurut Yahudi dan Kristen, serta Al-Quran Surah Yusuf ayat 43 – 49 menurut Islam. Kisah tersebut bermula ketika sang raja Mesir bermimpi tentang tujuh sapi yang gemuk dimakan tujuh sapi yang kurus. Lalu bermimpi tentang tujuh tangkai gandum yang hijau dimakan tujuh tangkai lainnya yang kering.
Strategi Panen
Ketika Raja Mesir bertanya kepada para ahli tafsir mimpi istana, tidak ada satupun yang mampu menafsirkan mimpi tersebut. Sampai akhirnya Raja Mesir memanggil Yusuf untuk menafsirkan mimpi tersebut. Kemudian, Yusuf menjelaskan tafsir mimpi sang raja Mesir lalu menyampaikan strategi bagaimana cara menghadapi masa-masa sulit tersebut:
“Ketahuilah tuanku Firaun, akan datang tujuh tahun pertama kelimpahan di seluruh tanah Mesir. Kemudian akan timbul tujuh tahun kelaparan. Maka akan dilupakan segala kelimpahan itu di tanah Mesir, karena kelaparan itu menguruskeringkan negeri ini. Sesudah itu akan tidak kelihatan lagi bekas-bekas kelimpahan di negeri ini karena kelaparan itu, sebab sangat hebatnya kelaparan itu.” (Kejadian 41: 29 – 31)
“Yusuf berkata, “Bercocoktanamlah kamu tujuh tahun berturut-turut! Kemudian apa yang kamu tuai, biarkanlah di tangkainya, kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian, sesudah itu akan datang tujuh tahun yang sangat sulit (paceklik) yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya. Kecuali sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu simpan. Setelah itu akan datang tahun, ketika manusia diberi hujan (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras (anggur).” (Al-Quran Surah Yusuf: 47 – 49)
“Mereka harus mengumpulkan segala bahan makanan dalam tahun-tahun baik yang akan datang ini dan, di bawah kuasa tuanku Firaun, menimbun gandum di kota-kota sebagai bahan makanan, serta menyimpannya. Demikianlah segala bahan makanan itu menjadi persediaan untuk negeri ini dalam ketujuh tahun kelaparan yang akan terjadi di tanah Mesir, supaya negeri ini jangan binasa karena kelaparan itu.” (Kejadian 41: 35 – 36)
Berkat strategi panen yang cermat dan perhitungan yang matang, serta pengelolaan persediaan pangan secara adil dan efisien, rakyat Mesir tetap tidak kekurangan pangan. Karena hasil panen yang telah tersimpan dapat mencukupi kebutuhan pangan. Selain itu memastikan kesejahteraan seluruh rakyat Mesir selama masa tujuh tahun paceklik tersebut.
Pelajaran yang Dapat Kita Ambil dari Kisah Yusuf
Kisah Yusuf ini mengandung hikmah yang bahkan masih relevan jika kita terapkan di masa sekarang. Bayangkan, di zaman Yusuf sudah ada pemahaman tentang pentingnya perencanaan jangka panjang dan pengelolaan sumber daya yang adil dan bijaksana.
Hal tersebut mengajarkan kita bahwa dalam menghadapi tantangan besar seperti krisis pangan dan perubahan iklim, kita perlu punya visi jauh ke depan, perencanaan yang cermat, dan tentu saja, keadilan sosial. Ini bukan hanya soal menyimpan makanan, melainkan juga soal bagaimana memastikan distribusi yang adil. Tujuannya agar semua orang bisa bertahan, terutama saat masa sulit datang.
Selain itu hal ini sejalan dengan prinsip transisi energi berkeadilan yang menuntut perencanaan strategis yang matang. Di mana investasi besar kita lakukan pada energi terbarukan dan infrastruktur hijau selama masa “kelimpahan” teknologi dan sumber daya agar dapat menghadapi tantangan perubahan iklim dan keterbatasan energi di masa depan.
Jika kita kaitkan dengan kondisi saat ini, ketahanan pangan butuh strategi yang matang dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya. Sama seperti Yusuf yang mengatur penyimpanan gandum untuk menghadapi masa paceklik serta memastikan semua rakyat Mesir tetap berkecukupan, kita juga harus memikirkan bagaimana mengelola energi dan sumber daya alam dengan cara yang berkelanjutan dan adil.
Transisi energi berkeadilan sebenarnya adalah bentuk modern dari strategi bijak itu. Yakni memastikan energi yang kita gunakan untuk produksi pangan tidak hanya cukup dan ramah lingkungan, tapi juga bisa terakses oleh semua pihak tanpa diskriminasi.
Melihat Keteladanan Nabi Yusuf
Keteladanan Yusuf juga mengajarkan kita pentingnya keimanan dan sikap tawakkal. Bahwa usaha manusia harus pula disertai dengan kesadaran spiritual dan tanggung jawab sebagai khalifah fil ardh.
Nilai-nilai spiritual dan etika dari kisah Yusuf dapat menjadi landasan moral yang menguatkan komitmen bersama dalam menjaga bumi dan sumber daya alam. Mendorong perilaku berkelanjutan dan keadilan sosial dalam transisi energi. Kesadaran spiritual ini mengajak masyarakat untuk tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi, tetapi juga menjaga keseimbangan ekosistem demi keberlangsungan pangan dan kehidupan.
Kisah Yusuf juga merupakan kisah yang bersama-sama diyakini oleh agama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam). Di mana kisah ini mengandung nilai-nilai universal seperti keadilan, tanggung jawab, dan kepemimpinan bijaksana yang dapat menjadi dasar moral bersama dalam menghadapi krisis pangan dan energi.
Oleh sebab itu, kisah ini dapat menjadi titik temu yang mendorong dialog antarumat dan menjadi dasar refleksi bersama. Sehingga antarumat beragama dapat memperkuat solidaritas dan kolaborasi dalam mendorong transisi energi berkeadilan. Mengatasi krisis lingkungan dan pangan secara bersama-sama, serta memperluas dukungan sosial dan politik untuk kebijakan energi dan pangan yang inklusif dan berkelanjutan.
Peran Kita dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan
Jadi, mari kita jadikan kisah Nabi Yusuf sebagai inspirasi nyata. Bahwa dengan perencanaan yang matang, keadilan dalam pengelolaan sumber daya, dan semangat gotong royong, kita bisa melewati masa-masa sulit dan membangun masa depan yang lebih cerah.
Maka dari itu, mulai sekarang marilah kita refleksikan kisah Yusuf dan ambil hikmah darinya. Kemudian mulai ambil bagian dalam mewujudkan ketahanan pangan melalui transisi energi berkeadilan.
Lalu, bagaimana peran kita dalam mewujudkan hal tersebut? Kita semua punya peran, sekecil apapun itu. Mulai dari mendukung penggunaan energi bersih di lingkungan sekitar, memilih produk yang dihasilkan secara berkelanjutan, sampai menyebarkan kesadaran tentang pentingnya transisi energi berkeadilan.
Karena perubahan besar selalu kita mulai dari langkah-langkah kecil yang kita lakukan bersama-sama. Karena pada akhirnya, masa depan itu bukan cuma soal teknologi atau kebijakan. Tapi soal bagaimana kita semua sebagai manusia yang peduli bisa bekerja sama menjaga dan merawat bumi serta sesama. []