Mubadalah.id – Imam al-Ghazali pernah menegaskan bahwa sebagaimana istri berkewajiban menyenangkan suami, maka suami pun memiliki kewajiban yang sama terhadap istri. Prinsip timbal balik ini semestinya menjadi landasan utama dalam membangun relasi hubungan seksual di dalam rumah tangga berbasis cinta, pengertian, dan kesetaraan.
Sayangnya, pemahaman atas teks-teks keagamaan sering kali berhenti pada permukaan dan lepas dari konteks sosial-historisnya.
Salah satu contoh yang kerap disalahpahami adalah hadits riwayat Abu Hurairah tentang istri yang menolak ajakan suami untuk berhubungan intim, yang disebut akan “dilaknat malaikat hingga pagi hari” (HR. Bukhari, No. 4697). Hadits ini tidak bisa serta-merta dijadikan pembenaran atas sikap memaksa dalam hubungan seksual.
Faktanya, alasan seorang istri menolak ajakan suami bisa sangat rasional dan manusiawi yaitu kelelahan, kondisi fisik yang tidak memungkinkan. Atau bahkan adanya kekhawatiran akan rasa sakit dan pencederaan. Tidak adil jika perempuan yang menjaga dirinya sendiri justru dituduh berdosa dan menjadi sasaran kutukan.
Apalagi, relasi hubungan seksual bukan sekadar pemenuhan kewajiban biologis satu pihak. Melainkan ruang intim yang seharusnya berdasarkan atas kehendak bersama.
Dalam bukunya Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir menekankan pentingnya memahami teks-teks keagamaan dalam bingkai keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan.
Menurutnya, pelayanan hubungan seksual dalam Islam harus bersifat timbal balik, yaitu atas dasar kesalingan, tanpa paksaan, dan jauh dari kekerasan. Inilah semangat Islam sebagai rahmat bagi semesta (rahmatan lil alamin) yang semestinya hidup dalam kehidupan rumah tangga Muslim.
Memahami Hadits
Para ulama fikih sendiri sebenarnya telah memberikan catatan penting dalam memahami hadits tersebut. Mereka menjelaskan bahwa ancaman laknat hanya berlaku bila seorang istri menolak ajakan suami tanpa alasan yang sah.
Namun, jika penolakan didasarkan pada alasan syar’i, seperti sedang menjalankan kewajiban lain, sedang sakit, atau merasa terancam mengalami kekerasan, maka istri berhak untuk menolak.
Lebih lanjut, Hamim Ilyas menjelaskan bahwa hadits tersebut lahir dalam konteks tradisi “pantang bilah”. Yakni praktik sebagian perempuan yang menolak berhubungan intim selama masa menyusui.
Dalam tradisi tersebut, perempuan kerap tidak melayani suaminya hingga anak selesai masa menyusu, yang bisa berlangsung hingga dua tahun.
Dalam konteks itulah Nabi Saw kemudian memberikan anjuran kepada istri untuk tidak menolak ajakan suami secara mutlak selama masa tersebut.
Maka, membaca teks agama secara kontekstual bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan wujud tanggung jawab intelektual dan spiritual agar nilai-nilai Islam benar-benar membawa rahmat, keadilan, dan martabat bagi laki-laki maupun perempuan. []