Mubadalah.id – Genosida yang Israel lakukan terhadap Palestina masih belum berakhir. Terhitung sudah terjadi kurang lebih 1 tahun dan belum terlihat tanda-tanda akan berakhir. Ratusan ribu nyawa berharga tercabut sia-sia. Namun, perlawanan mereka –bangsa Palestina, belum padam. Palestina masih melawan, meskipun tidak selalu menggunakan senjata.
Resensi Buku
Buku “A Diary of Genocide” ditulis oleh Menteri Kebudayaan dan Kesenian Otoritas Palestina periode 2019-2024, Atef Abu Saif. Dalam buku tersebut, beliau menulis dari hari pertama perang, yakni pada 7 Oktober 2023, hingga hari ke-85 perang pada 30 Desember 2023.
Atef sendiri telah menerbitkan beberapa buku lain seperti “The Drone Eats With Me” dan “A Suspended Life”. Sebagian besar bukunya bercerita mengenai bangsa Palestina yang masih berjuang memperoleh kemerdekaannya.
Atef menulis dan merekam setiap detail peristiwa yang ia alami selama perang layaknya ia menulis buku harian. Dan setiap kali berganti halaman, pembaca dibawa hanyut ke dalam perasaan kosong dan hampa –gambaran perasaan korban perang yang tiap detik dihantui ketidakpastian dan kematian.
Dari buku ini, pembaca dapat memahami bahwa ketika perang terjadi, segala hal menjadi sulit. Bahkan untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasar. Tidur menjadi tidak nyenyak, karena kita tidak tahu apakah masih bisa melihat esok hari.
Kebengisan Israel juga dipaparkan secara jelas di buku ini. Setiap menit drone dan rudal dijatuhkan. Mereka memerintahkan warga Palestina untuk mengungsi, namun pada akhirnya mereka tetap membunuh lautan pengungsi tersebut. Tidak sedikit mereka yang dieksekusi secara tidak adil.
Sisi Humanis dari Bangsa Palestina
Rumah sakit, tempat ibadah, dan sekolah yang sepatutnya menjadi tempat yang aman untuk berlindung, tetap menjadi sasaran penyerangan. Mereka –Israel, membombardir habis Kota Gaza dan tidak ingin kota tersebut terlihat cantik. Mereka menjadikan kota itu menjadi kota hantu.
Namun, di balik kebengisan Israel ini, Atef memperlihatkan sisi hangat dan humanis dari bangsa Palestina. Warga Palestina tetap saling membantu satu sama lain, dan bagaimana mereka bersuka cita ketika masih mendapati orang terdekat mereka masih selamat.
Saat Atef dan anaknya harus berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, orang-orang Palestina dengan murah hati menawarkan bantuan. Teman-temannya bahkan menjamunya dengan hangat. Kondisi seperti ini membuat hati para pembaca menjadi terenyuh. Di saat dunia berpaling, mereka tetap menjadi sebaik-baiknya manusia.
Pada akhir cerita, Atef dan anaknya berhasil mengungsi ke Mesir. Walaupun begitu, ia tetap tidak bisa berhenti memikirkan keluarganya yang masih terjebak di tengah peperangan. Ia menggambarkan perasaannya ini sebagai dilema orang yang terusir –menderita jika tetap tinggal, dan menderita juga ketika pergi.
Mereka Tidak Akan Hilang
Apa yang Atef lakukan adalah supaya orang-orang masih ingat bangsa Palestina. Ia memberikan gambaran peristiwa yang warga Palestina alami selama perang –dan bagaimana seharusnya dunia berpihak kepada mereka. Hal ini karena apa yang terjadi d sana ialah pembantaian generasi.
Adapun dua kemungkinan yang bisa terjadi terhadap akhir dari perang ini. Pertama, yakni akhirnya Palestina merdeka dan betul-betul terbebas dari hama Israel. Karya Atef dan berbagai karya lain dari seniman Palestina akan menjadi pengingat.
Kedua, tentunya kita tidak ingin hal ini terjadi, bahwa Palestina hilang dan habis karena genosida ini. Namun, mereka tidak sepenuhnya hilang berkat karya-karya ini. Berbagai karya ini akan membuktikan bagaimana dunia gagal dalam menjaga mereka dan tidak sepatutnya kita berpaling dari Palestina. []