Mubadalah.id – Tak kusangka, dua minggu lalu aku mendapat kesempatan untuk mengunjungi maqbarah seorang ulama perempuan progresif, Sayyidah Sukainah. Beliau adalah cicit Nabi Muhammad SAW, putri dari Sayyidina al-Husein bin Fathimah binti Muhammad SAW, cucu Ali bin Abi Thalib dan Fatima al-Zahra.
Jantungku berdebar kencang saat berada di makam cicit Nabi Muhammad ini. Aku merasa takjub dan hormat yang mendalam terhadap beliau.
Kami beriringan mengirimkan hadiah al-Fatihah kepada beliau, yang dipimpin oleh Nyai Iffah Ismail. Berharap mendapatkan berkah dari seorang perempuan yang pemikirannya menjadi cahaya pencerahan bagi kita semua.
Mataku terpejam saat aku menyentuh tiang makam Sayyidah Sukainah. Komunikasi mendalam dengan Allah SWT melalui doa agar terberkahi cahaya ilmu dan bisa meneruskan semangat perjuangan Sayyidah Sukainah dalam memperteguh hak-hak perempuan.
Pemikiran progresif Sayyidah Sukainah pertama kali aku kenal dari tulisan Maha Guru Keadilan Gender Islam, Buya Husein Muhammad, yang menjadi guru ideologisku. Buya membagikan kisah bahwa Sayyidah Sukainah ketika akan nikah meminta dibuatkan surat perjanjian pra nikah.
Bayangkan, dalam konteks masa kini saja, praktik ini masih kita anggap tabu dan jarang yang melakukannya. Namun, Sayyidah Sukainah telah melakukannya jauh sebelum gerakan kesetaraan gender muncul. Permintaan perjanjian pra nikah menunjukkan hak berpendapat dan hak menentukan keputusan dari perempuan untuk masa depannya.
Aku yakin, perjanjian pra nikah yang Sayyidah Sukainah minta adalah respons atas subordinasi yang perempuan alami pada zaman itu. Penting kita ketahui poin-poin perjanjian pra nikah yang ia minta, hematku masih sangat relevan untuk masa kini.
Kata Buya Husein, ada tiga poin krusial yang ingin Sayyidah Sukainah tetapkan dalam perjanjian pra nikah.
Poin pertama, الَّا يَمُسَّ اِمْرَأةً سِوَاهَا. Sayyidah Sukainah meminta suaminya tidak berpoligami. Poligami, secara inheren, memiliki dampak negatif pada perempuan. Seringkali, istri pertama atau sebelumnya menjadi korban kekerasan yang murakkab atas poligami, baik psikis, seksual, ekonomi, dan/atau fisik.
Data Komnas Perempuan tahun 2019 menegaskan bahwa perempuan dalam perkawinan poligami selalu menghadapi kekerasan tersebut. Laporan Statistik Indonesia tahun 2022 juga mencatat, dari 874 kasus perceraian bermula dari poligami.
Selain itu, poligami juga bertentangan dengan prinsip perkawinan dalam Surat an-Nisa Ayat 3.
Dengan membuat perjanjian monogami pra nikah, kita tidak hanya menghormati perkawinan itu sendiri. Tetapi juga menegaskan konsep ‘zawj’, pasangan suami-istri, sebagai entitas yang setara.
Hal ini bukan hanya menegaskan hak dan martabat perempuan, tetapi juga memupuk hubungan pernikahan yang di dalamnya hanya ada dua orang, suami dan istri. Di mana mereka berkomitmen menciptakan kehidupan rumah tangga yang penuh dengan kedamaian dan kasih sayang.
Poin kedua, Sayyidah Sukainah menegaskan bahwa suaminya tidak boleh merahasiakan apapun mengenai kondisi keuangan, الَّا يَحُولَ بَيْنَهَا وَبَينَ مَالِهَا شَيءٌ.
Menurutku, sikap ini sungguh keren! Ini adalah suatu cara Sayyidah Sukainah memperjuangkan hak-hak ekonomi perempuan, khususnya hak seorang istri atau ibu.
Mengapa ini penting? Karena, masih sering kita temukan perempuan tidak memiliki akses dan kontrol yang setara atas sumber daya ekonomi dibandingkan dengan laki-laki.
Data BPS tahun 2020, hanya 37,8% dari total pemilik lahan di Indonesia adalah perempuan. Ini salah satu contoh ketimpangan gender yang cukup jelas. Di mana pemilik lahan mayoritas adalah laki-laki.
Data Susenas pada tahun yang sama menunjukkan, partisipasi ekonomi perempuan di Indonesia hanya sekitar 54,3%, sedangkan laki-laki mencapai sekitar 82,6%.
Ketimpangan ini dapat berakibat pada kekerasan ekonomi. Di mana perempuan sangat rentan untuk termanipulasi dan dikontrol oleh suaminya sebagai pemegang kekuasaan ekonomi.
Oleh karena itu, keterbukaan dalam ekonomi keluarga sebagaimana penegasan dalam perjanjian pra nikah Sayyidah Sukainah sangat penting untuk memastikan perempuan tidak akan mengalami eksploitasi dan kekerasan ekonomi.
Selain itu, tuntutan Sayyidah Sukainah atas keterbukaan finansial dalam perjanjian pra nikah mencerminkan prinsip ‘mu’asyarah bil ma’ruf’.
Yaitu prinsip saling memperlakukan dengan baik dalam rumah tangga. Musyawarah dalam mendiskusikan dan memutuskan segala hal yang berkaitan dengan ekonomi keluarga adalah di antaranya.
Apa yang Sayyidah Sukainah perjuangkan adalah penghargaan atas hak-hak ekonomi perempuan dalam Islam, agar tercipta rumah tangga yang adil dan maslahat.
Poin ketiga, Sayyidah Sukainah menegaskan suaminya tidak boleh melarangnya berkegiatan di luar rumah yang dia inginkan, الَّا يَمْنَعَهَا الخُروجَ اِنْ تُرِيدُه.
Sekali lagi, sungguh aku sangat kagum dengan keberanian beliau memperjuangkan hak-hak perempuan. Relevansi poin ini bahkan terasa sampai sekarang. Di mana stigma perempuan sebagai makhluk “sumur, dapur, kasur,” atau “ngapain sekolah tinggi-tinggi, nanti balik ke dapur lagi,” atau bahkan hanya kita pandang sebagai objek seksual yang bertugas mengikuti perintah laki-laki masih sangat kuat.
Ironisnya, di beberapa negara, seperti Afganistan, hak-hak perempuan untuk berperan dan terlibat di ruang publik masih sangat terbatasi. Rezim Taliban di Afganistan melarang perempuan keluar rumah tanpa ditemani mahram atau anggota keluarga mereka.
Meski di Indonesia telah ada kemajuan besar dalam keterlibatan perempuan di ruang publik, tapi diskriminasi masih mudah kita temui di banyak lini kehidupan.
Hasil penelitian Engelbertus Wendratama dari PR2Media menjelaskan bahwa 16,8% responden perempuan mengalami diskriminasi gender terkait remunerasi di tempat kerja. Termasuk gaji pokok, tunjangan, dan bonus. 29,6% jurnalis perempuan mengalami diskriminasi dalam pelaksanaan tugas peliputan.
Kenyamanan dan keamanan yang dirasakan perempuan masih jauh di bawah laki-laki.
Padahal dalam ajaran Islam, setiap individu, laki-laki atau perempuan, diberikan tugas yang sama sebagai khalifah fil ardl (QS. al-Baqarah: 30). Artinya, laki-laki dan perempuan harus memberikan kemaslahatan baik bagi diri sendiri, keluarga, maupun umat manusia secara keseluruhan.
Perjanjian pra nikah Sayyidah Sukainah adalah bukti bahwa perempuan berhak memiliki kedaulatan untuk menentukan masa depannya. Perempuan harus menguasai berbagai pengetahuan dan pengalaman sebanyak mungkin, sehingga memiliki keberanian untuk memberikan manfaat seluas-luasnya dalam tugas khalifah fil ardl.
Perjanjian pra-nikah yang sudah diinisiasi berabad-abad lalu oleh Sayyidah Sukainah perlu kita reaktualisasi untuk konteks masa kini.
Dengan demikian, aku ingin menyebut bahwa Sayyidah Sukainah adalah sosok ulama perempuan yang gagasannya telah membentuk paradigma baru bagi perlindungan hak-hak perempuan. Baik sebagai individu maupun istri, untuk masa kini dan masa mendatang.
Berkunjung ke maqbarah Sayyidah Sukainah, seperti diberikan cermin masa lalu – sebuah panduan yang membantu kita memahami masa depan. Khususnya dalam konteks perjuangan hak-hak perempuan. Cermin tersebut menampakkan betapa yang Sayyidah Sukainah lakukan adalah manifestasi dari keulamaan perempuan.
Semoga kita semua mendapat keberkahan dengan keberanian dan determinasi yang sama untuk terus mendorong perubahan dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Yakni mengikuti jejak yang telah Sayyidah Sukainah torehkan. (Bersambung)