Mubadalah.id – Senin 24 Oktober 2022, malam itu sangat cerah, secerah wajah seorang bapak yang tengah duduk di lingkaran pemuda pemudi. Semilir angin melambai dengan ramah, seramah penghuni rumah, rumah kasih sayang, rumah kemanusiaan, rumah lansia Kus Nugroho, sebutannya.
Dalam dimensi vertikal, setiap manusia memiliki kedudukan sama di sisi Tuhan. Dalam dimensi horizontal memiliki hak sama di mata manusia. Tanpa memandang ras, suku, budaya, agama maupun status sosial.
Sosok Panutan
Antok Falensianus Anugrah dengan nama karib Antok Mbeler, pendiri rumah lansia Kus Nugroho. Rumah tersebut sudah berdiri selama sembilan tahun, yakni sejak tahun 2014.
Meskipun para lansia yang berada di rumah tersebut berasal dari agama, daerah, dan budaya yang berbeda. Namun, mereka hidup bersama dengan damai, aman, tentram, tanpa kekangan, tanpa paksaan.
“Kami belajar dari ajaran Sembilan Nilai Kyai Abdurrahman Wahid atau Gusdur, yaitu: Ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kekesatriaan dan kearifan lokal”. Terang Pak Antok yang kudengar dari suara damainya, sedamai suasana rumah itu. Bapak Antok adalah sosok panutan. Tak kenal lelah, menyerah, menolong tanpa pilah-pilah, memberikan tanpa kepentingan.
“Bapak..!” begitu panggilku. “Siapakah sosok yang bapak teladani, sehingga bapak mempunyai jiwa begitu mulia”. Tanyaku pada bapak.”Gusdur adalah panutan bapak. Bagi bapak, Gusdur sosok yang harus kita teladani karena beliau begitu menjunjung tinggi kemanusiaan. Gusdur mengajarkan kita untuk memanusiakan manusia. Gusdur juga pernah bilang, yang merendahkan manusia berarti merendahkan penciptanya”.
Keseharian Bapak Antok adalah merawat para lansia-lansia yang ia terima dari berbagai sumber. Ada yang dari hasil evakuasi atau diserahkan oleh orang. Ironisnya, ada dari seorang anak yang menyerahkan bapaknya ke rumah lansia itu, dengan mengaku sebagai rekan kerja.
Namun dengan hati malaikatnya, bapak merespon positif dengan mengatakan “kami tidak saling menyalahkan kepada siapapun, untuk proses belajar para generasi ini dan bagaimana nilai-nilai kepedulian itu terjaga”.
Rumah lansia itu tidak memiliki donatur tetap, sumber pemasukan yang mereka dapat dari tangan-tangan orang baik. Bapak juga menyisihkan dari hasil usaha jualan air isi ulangnya untuk kebutuhan para lansia-lansia itu.
Dibantu oleh anak-anak dan para relawan yang tergabung dalam jaringan GUSDURian Mojokutho 87 Pare, Kediri, mereka setiap hari membersihkan ruang kamar, mencucikan pakaian, menghidangkan makanan dan membawanya berobat kerumah sakit.
Teladan Gusdur
Suwardiansyah dalam artikelnya yang berjudul Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Toleransi Beragama, menukil keterangan tentang toleransi yang disampaikan oleh Gusdur. Bahwa toleransi itu tidak hanya sekedar menghormati dan tenggang rasa, namun harus dapat diwujudkan dengan pengembangan rasa saling pengertian yang tulus, kemudian diteruskan dengan saling memiliki (sense of belonging) dalam kehidupan menjadi “ukhuwwah basyariah”
Banyak orang yang menyebut Toleransi Gusdur ini sebagai toleransi beragama yang berkebangsaan. Di mana dalam pemikiran Gusdur mencerminkan sebuah hubungan aktif dalam kehidupan berbangsa. Hal ini tidak hanya berarti membangun relasi yang aktif terhadap agama lain, tetapi juga mendorong terciptanya kehidupan damai, setara dan berkeadilan. Tulisnya dalam artikel tersebut.
Sosok Gusdur sangat melekat di hati masyarakat, hal ini tercermin dari tujuan perjuangan Gusdur sendiri, yaitu agar tercipta masyarakat yang berkeadilan, damai dan bersatu. Sangat pantas dan tidak berlebihan, jika di atas pusara beliau, di batu nisannya bertuliskan kalimat Here Rest a Humanist (Di sini berbaring seorang pejuang kemanusiaan).
Toleransi Dalam Kacamata al Qur’an
Islam sangat menjunjung tinggi nilai toleransi, baik terhadap antar penganut agama, ras, adat maupun budaya. Ajaran ini bisa kita temukan dalam QS. al Hujurat ayat 13
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
yang artinya “Wahai manusia! Sungguh kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal…”.
Ayat ini menerangkan tentang prinsip mendasar relasi antarmanusia. Karena alasan inilah, frasa yang digunakan tidak menggunakan sebutan yang ditujukan pada individu yang memiliki iman, melainkan pada tipe manusia.
Dalam Tafsir Al-Misbah karya Prof. Dr. Quraish Shihab, Lc., MA. penggalan ayat pertama yang artinya “…kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan” merupakan awalan yang memperkuat fakta bahwa semua individu memiliki tingkat kemanusiaan yang setara di mata Tuhan; tidak ada perbedaan di antara suku-suku atau antara jenis kelamin.
Tidak pula terdapat diskriminasi terhadap nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan, sebab semua berasal dari seorang laki-laki dan seorang Perempuan.
Dari ayat ini, secara tegas juga mengonfirmasi kepada kita kesatuan asal usul manusia dengan memperlihatkan taraf kesamaan derajat manusia. Tidak pantas manusia saling berbangga dan merasa lebih unggul dari yang lain. Bukan hanya antar bangsa, suku atau warna kulit, tetapi juga antar jenis kelamin.
Dari sosok Bapak Antok kami banyak belajar arti memanusiakan manusia. Bapak benar-benar menerjemahkan ajaran Gusdur dalam menjalani kehidupan bersosial. Bapak juga cerminan dari ajaran Q.S al Quraisy:4 yang artinya “yang telah memberi makan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”
“Teman-teman! teruslah berbuat baik, namun jangan merasa baik. Sesuatu yang kecil boleh jadi bernilai besar bagi orang lain.” Pesan bapak kepada kami yang tergabung dalam Volunteer GUSDURian Mojokutho 87 Pare, Kediri. Ketulusan yang mereka berikan sangat terlihat. Ketulusan melakukan kebaikan tanpa kepentingan, bahkan surga atau neraka sekalipun. []