Mubadalah.id – Sepanjang Januari hingga September 2025, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat ada sebanyak 18.579 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan terjadi di tanah air ini.
Dari data tersebut menunjukan bahwa satu dari dua anak Indonesia pernah mengalami kekerasan. Masih dalam laporanya, KemenPPPA menyebutkan bentuk kekerasan yang dialami oleh korban sangat beragam mulai dari fisik, psikis, seksual, hingga penelantaran.
Yang paling memprihatikan, sebagian besar kekerasan itu terjadi di lingkungan rumahnya sendiri. Dan pelakunya adalah orang tua, saudara, atau orang dewasa yang seharusnya melindungi.
Maka dari itu, anak-anak yang menjadi korban kekerasan, saya yakin mereka akan kehilangan rasa aman, mengalami trauma, ketakutan, bahkan bisa jadi mereka akan kehilangan kepercayaan diri di dalam hidupnya.
Lalu sebetulnya apa faktor yang menyebabkan anak dan perempuan sangat rentan menjadi korban kekerasan seksual?
Menteri PPPA, Arifah Fauzi menyebut dua pemicu utama kekerasan terhadap anak: pola asuh yang buruk dan penggunaan gadget tanpa pendampingan.
Sebetulnya, gadget bagi Arifa bukan hal yang buruk, tetapi karena tidak adanya pengawasan ia bisa menjadi ruang kekerasan baru. Misalnya banyaknya konten berbahaya, cyberbullying, hingga eksploitasi digital.
Ironisnya, banyak orang tua tidak tahu dan tidak peduli. Sehingga hal inilah yang menjadi salah satu pemicu anak sangat rentan menjadi korban kekerasan.
Perlindungan Kepada Anak dalam Islam
Dalam Islam, anak adalah amanah. Aisyah RA berkata: bahwa “Rasulullah SAW tidak pernah sama sekali memukul dengan tangannya, baik kepada istri, pembantu, maupun anak-anak, kecuali ketika berjihad di jalan Allah.”
(HR. Muslim)
Hadis ini menjadi dalil kuat bahwa mendidik anak dengan kekerasan bukanlah teladan Nabi. Oleh sebab itu, orang tua wajib menjaga, melindungi, menghormati, dan membesarkannya dengan kasih sayang.
Lalu bagaimana agar orang tua bisa menjaga dan melindungi mereka?
Langkah yang bisa orang tua lakukan adalah pertama, mereka perlu belajar ulang pola asuh yang sehat. Kedua, orang tua harus mengenali tanda-tanda jika kekerasan seksual itu menimpa anaknya.
Ketiga, selain orang tua, pemerintah juga wajib memperkuat sistem perlindungan terhadap anak dan korban. Keempat, media juga mesti berhenti mengeksploitasi anak sebagai konten, dan mulai menjalankan fungsi edukatif.
Dengan begitu, anak-anak berhak tumbuh dalam ruang yang aman, termasuk di dalam rumah. Kedua orang tua sebaiknya harus menjadi pelindung utama bagi anak, bukan justru menjadi sumber kekerasan.
Bahkan para orang tua juga perlu mengubah cara pandang mereka. Dari anak yang dituntut untuk patuh menjadi anak yang layak dihormati; dari rumah sebagai tempat mendidik semata menjadi rumah sebagai ruang penuh kasih. Dengan begitu, tidak ada lagi anak yang tumbuh sebagai korban kekerasan. []