Mubadalah.id – Istilah rumput tetangga selalu lebih hijau daripada rumput sendiri sepertinya harus kita telaah ulang. Pasalnya, orang-orang kadung percaya dan terus menjadikan itu sebagai mindset untuk melestarikan kebiasaan melihat kelebihan orang lain lantas lupa, dan tutup mata untuk fokus membenahi diri sendiri. Padahal saingan kita sesungguhnya adalah diri yang kemarin.
Saya dan beberapa teman turut hanyut dalam arus perasaan mudah mengeluh dan membanding-bandingkan diri dan segala hal yang ditampakkan orang lain. Orang lain selalu saja tampak lebih baik, lebih cerdas, lebih senang, lebih mapan, lebih rupawan, dan seabrek kelebihan lainnya yang bisa memantik kegelisahan.
Butuh waktu untuk menyadari bahwa sebenarnya kehidupan orang lain tidak senantiasa semenarik itu. Apa yang mereka bagikan untuk kita lihat—apalagi di medsos—hanya sekeping kecil dari sekian banyak kerumitan hidup yang mereka hadapi. Mereka tidak melulu ada pada kondisi leluasa untuk tampil sempurna. Momen terpuruk orang lain tersembunyi dari permukaan.
Menyoal penampilan juga terkait dengan standar sosial. Ada ekspektasi masyarakat yang secara tidak langsung mengatur mana yang ideal atau estetis. Aturan tersebut umumnya terlalu kaku dalam memandang keberagaman manusia. Obsesi atas penerimaan kerap mengantar seseorang untuk membuktikan diri dia layak dengan mengandalkan berbagai cara. Kendati tak sepenuhnya butuh, orang membeli merek tertentu untuk diakui setara dan dapat memenuhi standar yang ada.
Mental Membandingkan Diri Berasal dari Orang Tua
Orang tua berperan dalam menanamkan kebiasaan untuk membandingkan anak sendiri dengan anak lain. Saat menghadiri acara keluarga atau kumpul tetangga, topik yang aktual kita obrolkan adalah bagaimana perbandingan antara anak Si A, Si B, dan Si C. Orang tua biasanya membandingkan prestasi. Anak Si B misalnya, lebih unggul dalam sains dibanding Si A. Lalu Putra Si C lebih berbakat dalam seni. Putri Si A lebih cakap berbahasa asing dibanding Si B dan Si C.
Pelan-pelan, kebiasaan tersebut tumbuh di dalam diri sang anak. Dalam serial drama Korea “Sky Castle” diperlihatkan bagaimana orang tua menormalisasi sikap membandingkan anak. Dampak buruknya adalah anak-anak menjadi ambisius untuk berkompetisi, mengalami tekanan yang mengerikan, hingga tidak bahagia dengan diri dia sendiri.
Lalu, Kenapa Kita Suka Membandingkan Diri?
Ada dua hal yang menjadi alasan kenapa kebiasaan siapa saingan kita tersebut terjadi. Pertama, mencari validasi dan kedua, kita terbiasa menerima penyeragaman dalam berbagai hal.
Poin pertama menandakan bahwa dengan membandingkan diri berarti kita sedang berusaha mendapatkan pengakuan atas kemampuan diri sendiri. Hal-hal seperti penampilan, pencapaian akademik, prestasi kerja, sampai pilihan untuk menikah dan berketurunan, senantiasa “pantas” untuk dibandingkan.
Seorang psikolog sosial, Leon Festinger pernah merumuskan social comparison theory (teori perbandingan sosial). Di dalam teori tersebut, Festinger mendasarkan argumennya bahwa manusia memiliki dorongan alami untuk mengevaluasi pendapat dan kemampuan diri dengan cara membandingkannya dengan orang lain. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan penilaian sehingga perbandingan sosial ini dimaksudkan agar seseorang merasakan dan mengetahui baik-buruk dirinya.
Tidak apa-apa, toh membandingkan diri adalah insting. Patut dalam kadar mengevaluasi dan upaya perubahan. Masalahnya kemudian, tak semua orang mampu bijak. Ketika itu kita lakukan terus-menerus tanpa mengoreksi diri dan berusaha lebih baik, maka kebiasaan tersebut hanya membuang-buang waktu dan beresiko pada keburukan.
Berikutnya poin kedua, kebanyakan orang menginternalisasi penyeragaman aspek kehidupan. Gery Ardian, seorang content creator berpendapat bahwa ada kemungkinan menurut kita, semua orang tumbuh dalam jalur dan mempunyai tujuan hidup yang sama.
Gery mengulas sedikit dari buku Self Theories tentang proses penyeragaman yang dimulai sejak kita bersekolah dan bersaing dengan anak lain. Pengondisian itu lantas membuat kita lalai dalam menyadari keunikan dan perbedaan kecenderungan tiap manusia.
Sudahi Membandingkan, Pesaing Kita Adalah Diri yang Kemarin
Ada sebuah kutipan menarik dari pemusik bernama Kaoru yang berasal dari Jepang. “Be your biggest competitor—challenge yourself each day to be better than you were yesterday.” Jadikanlah dirimu sebagai pesaing terbesarmu—tantang dirimu setiap hari untuk menjadi lebih baik dari kemarin.
Saya sangsi terhadap istilah rumput tetangga selalu lebih hijau. Ungkapan tersebut seakan mengesampingkan bermacam ikhtiar manusia untuk bertahan dan menjadi versi terbaiknya masing-masing. Karena itu pula banyak yang hendak berperan seperti orang lain dan luput mengenali diri sendiri. Keistimewaan manusia lain menjadi patokan, bayang yang membelenggu potensi kita untuk berkembang.
Jangan sampai kita tidak mengenal siapa diri kita. Mengenal diri sendiri sangat penting agar kita tidak enteng terbawa arus yang berasal dari luar, termasuk arus membandingkan.
Seperangkat kelebihan dan kekurangan sudah ada di dalam diri kita. Belajar mengenali diri adalah menggali kelebihan dan bersyukur sebab kita memilikinya. Belajar mengenali diri adalah juga menerima kekurangan dan berusaha mengendalikannya. Proses belajar yang berlangsung sepanjang hayat.
Mari belajar mengenal diri sendiri dan temukan kesadaran bahwa benar, pesaing terberat kita adalah diri yang kemarin. []