Mubadalah.id – Dalam beberapa catatan menceritakan saat Nabi Muhammad Saw berada di Thaif, Beliau menerima perlakukan menyakitkan dari seorang muda Quraisy. Ia menyiram kotoran ke muka dan tubuh Nabi. Diperlakukan seperti itu Nabi diam saja, tidak menunjukkan muka marah.
“Andai kata pamanku, Abu Thalib, masih ada, dia pasti akan melindungiku, dan anak muda itu tak akan berani melakukannya,” kata hatinya sambil menyimpan luka, tetapi tak ada pikiran untuk membalaskan.
Kemudian, Sayyidah Fatimah az-Zahra putri tercintanya menyaksikan hal itu dan menangis. Dengan tetap memperlihatkan sikap sabar yang tinggi, Nabi mengatakan: “Anakku, jangan bersedih hati. Tuhan akan melindungi ayahmu.”
Sungguh luar bisa mengagumkan pribadi Nabi yang mulia itu. Meski dalam luka hati yang mendalam dan tercabik-cabik, beliau tetap tegar, tenang, amat tabah dan tetap memberikan perhatian kepada anak perempuannya. Ia tidak memikirkan hidupnya sendiri. Bahkan ia tak juga ingin membalas kepada pemuda tadi.
Dalam situasi sepi dan sendirian seperti itu Tuhan mengutus Jibril turun ke bumi dengan membawa kendaraan berkecepatan suara atau cahaya untuk menemui Muhammad dan mengajaknya menjumpai Dia. Yunus Emre, penyair besar dari Anatolia, menulis puisi mengenai ini:
Allah mengutus Jibril seraya berfirman: “Muhammad-Ku akan datang! Ambillah Buraq, bawa ia kepadanya Untuk dinaiki Muhammad.”
Kemudian, Jibril pun segera turun dan menemui Nabi yang sedang tidur-tiduran di kamarnya dengan hati gundah gulana. Ia mengajak kekasih Tuhan itu melakukan perjalanan malam, menjelajahi alam semesta dan menjumpai Tuhan. Perjalanan ini kita kenal dengan sebutan Isra’ dan Mikraj.
Peristiwa Isra’ Mikraj
Isra’ dan Mikraj merupakan peristiwa paling menarik dari perjalanan hidup seorang manusia pilihan, boleh jadi lebih mengagumkan dibanding peristiwa yang lain. Sebuah perjalanan yang tak bisa dinalar manusia. Al-Qur’an mengabadikan peristiwa Isra’ ini dalam salah satu ayatnya:
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Artinya: Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hambaNya pada waktu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Agsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda keagungan Kami. (QS. al-Isra’ (17): 1).
Sementara Mikraj Nabi, al-Qur’an tak menyebutkannya secara eksplisit. Ia tercatat dalam sejumlah hadis, di samping merujuk pada isyarat pada ayat-ayat dalam surah al-Najm. Ibnu Ishaq, dalam kitab sirahnya menggambarkan peristiwa isra dan Mi’raj itu dengan cara yang sangat memukau:
“Seorang yang dipercaya telah meriwayatkan kepadaku dari Abu Sa’id bahwa ia telah mendengar Nabi bertutur kata: “Setelah aku melakukan apa yang perlu aku lakukan di Bait al-Maqdis (Yarusalem), aku dibawakan sebuah tangga dan aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih indah selain itu. Itulah sesuatu yang menjadi pandangan orang-orang mati pada Hari Kebangkitan. Sahabatku, Jibril, membuatku dapat memanjat sampai kami mencapai salah satu gerbang langit yang kita sebut Gerbang Gardu. Di sana 1.200 malaikat bertindak sebagai pengawal.” []