Mubadalah.id – Sebagai generasi yang lahir dalam rentang tahun 1997 sampai tahun 2012, hal ini menyebabkan mereka lengket dengan media digital. Mereka tumbuh seiringan dengan perkembangan teknologi dan informasi sejak usia dini.
Akibatnya, Gen Z acapkali dijuluki sebagai “negative digital” karena dinilai kecanduan media sosial dan digital yang bisa mengganggu terhadap kesejahteraan mental dan produktivitas kerja. Perkembangan ini memberikan dampak yang begitu luar biasa bagi Gen-Z dalam mencerna banyaknya informasi, dimulai dari informasi yang valid dan hoax. Tak heran apabila mereka kerap kali mengalami gangguan mental.
Di sisi lain kita juga tak dapat menutup mata bahwa masalah yang di alami Gen-Z tentu bukanlah salah mereka secara total, karena senyatanya sistem yang ada sekarang juga ikut andil dalam memberikan problem terhadap Gen-Z.
Kita bisa dengan mudah menemukan contohnya. Salah satunya semisal anak-anak muda sekarang lebih senang bermain gadget dibandingkan ngumpul bersilaturrahmi dengan keluarga dan temannya.
Peristiwa ini tak dapat kita sangkal merupakan buah dari algoritma para generasi senior dari Gen-Z. Hingga pada akhirnya, kini Gen-Z mempunyai tantangan baru. Yakni menghadapi kerentanan gangguan mental yang sering psikisnya alami. Lalu seberapa efektif psikologi Islam bisa kita terapkan pada Gen Z yang mengalami gangguan mental?
Menilik Hasil Survei
Hasil survei DataIndonesia.id terhadap 300 responden Gen-Z berusia 11-26 tahun pada 1 Agustus – 22 Oktober 2023, menunjukkan bahwa sebanyak 56% menyatakan pernah mengalami gejala gangguan mental.
Sementara sebanyak 44% sisanya mengaku tidak mengalami atau merasakan gangguan mental tersebut. Di antara banyaknya gangguan mental, gejala paling banyak Gen- Z alami adalah merasa takut dan cemas secara berlebihan. Sementara untuk gejala-gejala gangguan mental yang lain, seperti marah, stress, putus asa, dan lain sebagainya lebih rendah prosentasenya dirasakan oleh mereka.
Berdasarkan fakta itu, banyak dari kalangan generasi milenial ataupun generasi di atasnya mempunyai stigma bahwa Gen-Z adalah “Generasi yang instan, pemalas, stroberi, dan lain-lain”. Menurut pengalaman saya pribadi mewakili Gen-Z, sepertinya apa yang generasi senior sampaikan memang betul.
Hal ini urgen untuk kita sadari secepat- cepatnya sebagai langkah awal untuk mengentaskan masalah gangguan mental yang sering kali menjangkit Gen-Z. Sebelum akhirnya membiasakan diri dengan pemantik- pemantik munculnya gangguan mental. Di samping itu, Gen-Z adalah harapan rakyat Indonesia dalam menghadirkan Indonesia emas 2045, di mana Indonesia mendapatkan bonus demografi berdasarkan data yang ada.
Gangguan Mental pada Gen Z
Kita akui ataupun tidak, gangguan mental merupakan problem bagi generasi z yang perlu untuk kita hadapi dengan cara yang semaksimal mungkin. Yakni dengan dibantu oleh psikolog, psikiater, baik perspektif islam maupun barat. Usaha yang totalitas ini kita lakukan karena melihat fakta bahwa psikologi barat yang ada saat ini dinilai kurang efektif dan totalitas dalam memberikan langkah solutif terhadap orang-orang yang mengidap penyakit mental.
Sebab itu, kehadiran psikologi Islam dalam menutupi celah yang tidak terisi oleh psikologi barat begitu diidam-idamkan, khususnya bagi ummat islam itu sendiri. Karena, sampai saat ini eksistensi psikologi Islam masih belum direkognisi dan dianggap asing di mata dunia.
Sekarang, mari kita coba membahas beberapa masalah mental yang sering kali menjangkit Gen-Z tersebut melalui perspektif psikologi Islam. Kita akan memahaminya secara pelan-pelan dari paparan tentang manusia dalam perspektif psikologi islam, jiwa, sampai dengan bahasan tentang terapi mental pada penyandang penderita tersebut, yang semuanya kita tinjau dari kaca mata psikologi Islam.
Manusia Perspektif Psikologi Islam
Mungkin di antara kita masih ada yang kebingungan tentang tujuan hidupnya sebagai manusia di muka bumi ini serta tidak mengetahui tugas apa yang harus kita lakukan sebagai manusia yang baik.
Di antara kita mungkin juga sudah ada yang menjawab pertanyaan- pertanyaan filofis tersebut dengan jawaban yang diperoleh dari nalar rasionalis, pengalaman, atau merasa risih untuk ribet-ribet mengurusi hal-hal tersebut. Namun, kalau kita mengacu pada psikologi Islam, tentunya akan mengetahui bahwa tujuan hidup manusia ada dua. Yakni beribadah kepada Allah Swt dan menjadi khalifah di permukaan bumi.
Penjelasan mengenai hal ini tertera dalam Q.S. Al-Baqarah: 221 & 30. Dengan demikian, seandainya ini benar-benar manusia sadari, sudah barang tentu dia akan mengorientasikan aktivitas hidupnya sehari-hari untuk melaksanakan amanah dan tanggung jawab tersebut.
Timbulnya kesadaran ini juga akan menghindarkan seseorang dari stress dan depresi yang berlebihan, karena tujuan hidup yang ia sadari akan mengenyampingkan popularitas, kedudukan, dan harta.
Konsep Fitrah
Wacana tentang manusia dalam psikologi Islam juga ada pembahasan mengenai konsep fitrah. Para ahli tafsir menafsirkan makna dari istilah fitrah dengan bervariasi. Di antaranya: mengartikan fitrah dengan kesucian dari membawa dosa warisan, bukan kosong dari pengaruh apapun sebagaimana dipahami oleh aliran behavioristik. Manusia juga terlahir membawa fitrah potensi untuk berislam, mengakui keesaan Allah, dan punya predisposisi untuk menerima kebenaran.
Penyelewengan pada konsep fitrah inilah yang kemudian pada akhirnya menyebabkan gangguan-gangguan mental menyerang manusia secara umum.
Saya pribadi menggambarkan penyelewengan pada konsep fitrah ini dengan peristiwa kecenderungan seksualitas berbeda yang trending topik di zaman modern ini. Lalu praktek kloning terhadap manusia, memilih melajang seumur hidup, atau peristiwa-peristiwa lain yang bersebrangan dari konsep fitrah manusia dalam Islam.
Dari dasar inilah saya mempunyai asumsi bahwa penyakit mental yang acapkali menyerang Gen-Z adalah akibat dari pengabaian pada konsep fitrah tersebut.
Karena anak muda sekarang sekalipun mereka terlihat kayak bersilaturrahmi atau ngumpul bareng sambil ngobrol-ngobrol. Namun senyatanya mereka masing-masing lebih asik dengan gadgetnya. Gen-Z menggunakan sebagian banyak waktunya dengan alat-alat elektronik, jarang menyatu dengan alam.
Semisal pergi ke sawah, pantai, pergi ke air terjun dan sebagainya. Meskipun benar-benar ada yang melakukan kegiatan itu, mereka tidak melakukannya secara totalitas, karena lebih sibuk dan asik maen gadget.
Memahami Konsep Jiwa Dalam Psikologi Islam
Perbedaan paling kentara antara psikologi Barat dan psikologi Islam terletak pada pembahasan kali ini. Dalam psikologi Islam, jiwa oleh Ibnu Miskawaih didefinisikan sebagai substansi sederhana yang tidak dapat terasa oleh indera. Bukan pula tergolong fisik ataupun bagian darinya, dan bukan kondisi yang bersifat fisik.
Jiwa adalah sesuatu yang berbeda dari fisik ditinjau dari aspek substansinya, hukum-hukumnya, ciri-cirinya, serta perilaku-perilakunya. Jiwa juga berasal dari substansi yang lebih tinggi dan mulia dari pada segala sesuatu yang bersifat fisik.
Sementara psikologi Barat sudah sama sekali tidak membahas tentang jiwa, karena fungsi-fungsi yang kita sangka merupakan hasil dari mekanika jiwa yang disangkal oleh neurosains. Di mana kajian ini mengatakan bahwa segala sesuatunya berasal dari otak (everything comes from the brain).
Dengan asumsinya neurosains menyatakan bahwa kerja-kerja jiwa adalah merupakan hasil dari pada kerja otak. Saya kira amat kita sayangkan kini psikologi Barat telah banyak dipengaruhi oleh fisika dan neurosains. Lama kelamaan keilmuan Barat akan benar-benar membuang keilmuan yang mempunyai basis metafisik ataupun transendental.
Berbanding terbalik dengan apa yang ada dalam Islam yang memisah manusia berdasarkan unsur materi dan inmateri. Kita bisa melihat hal ini pada pandangannya Imam al-Ghazali yang berpendapat bahwa jiwa manusia terdiri dari beberapa elemen yang merupakan satu entitas. Empat elemen tersebut tiada lain yang dimaksud adalah roh, akal, hati, dan nafsu. Dii mana pada gilirannya nanti membentuk kepribadian manusia.
Empat Elemen Jiwa Manusia
Keempat elemen ini memiiki fungsinya masing-masing yang bisa kita sederhanakan pemahamannya dengan ruh sebagai sesuatu yang menghidupkan jasad. Karena kita tidak diberi pengetahuan sama sekali tentangnya dalam al-Qur’an-, nafsu mendorong pada kenikmatan (syahwat) serta menghindarkan dari bahaya ghadab.
Lalu akal sebagai pengikat hawa nafsu dengan aktivitas penalarannya serta bisa menerima dan mengonstruksi ilmu pengetahuan. Lalu hati sebagai alat untuk memahami realitas spiritual serta memiliki daya emosional. Daya emosional ini sifatnya selalu berubah-ubah, tidak permanen.
Jadi, gangguan mental menurut perspektif psikologi Islam terjadi karena suatu gangguan kepada konsep jiwa yang mencakup pada empat elemen tadi. Untuk lebih jelasnya mungkin begini, apabila kita tidak mampu mejalankan otak segaimanana fungsinya, maka pada saat itulah awal untuk gangguan mental menyerang psikis kita.
Begitupun dengan hati yang tidak kita rawat dengan baik, maka ia akan terjangkit penyakit-penyakit berupa dengki, riya’, sombong, marah, bangga diri, dan lain-lain. Bahkan Imam al- Ghazali dengan tegas mengatakan bahwa disfungsi hati dapat menyebabkan terganggunya fungsi-fungsi psikis. Semisal kemampuan untuk menyerap ilmu pengetahuan, menikmati ketentraman dalam beribadah yang khusyuk, merasakan cinta pada Allah Swt, mencapai kebijaksanaan, dan sebagainya.
Sehingga tak heran, sebagian besar dalam psikologi Islam tatkala membahas psikoterapinya lebih menekankan pada Tazkiyatun Nafs (penyucian jiwa). Umumnya, cara yang kita lakukan terlebih dahulu adalah Takhalli. Yakni membebaskan diri dari sifat- sifat tercela. Kemudian kita lanjutkan dengan Tahalli, yaitu menginput, beradaptasi, dan membiasakan diri dengan sifat dan sikap yang terpuji. Terakhir adalah Tajalli, penghayatan rasa spiritual terhadap Tuhan yang esa.
Bagaimana Terapi Gangguan Kejiwaan ataupun Mental dalam Psikologi Islam?
Saya tertarik sekali kepada pembahasan terapi mental dalam kajian psikologi Islam ini. Bagaimana tidak, dalam kajian mengenai hal ini telah lumayan banyak membantu saya dalam mengidentifikasi serta cara menangani gangguan mental yang pernah saya alami mewakili Gen-Z di zaman modern ini.
Telah banyak ulama klasik yang membahas mengenai bagaimana cara melakukan terapi mental pada gangguan kejiwaan. Di antaranya adalah Abu Zaid al-Bakhi, yaitu seorang ulama dan ahli kedokteran dari abad ke-9, mempunyai karya berjudul Masalih al-Abdan wa al-Anfus (sesuatu yang membawa pada kebaikannya badan dan jiwa).
Dia sering kali mengkritik dokter-dokter yang semasa dengannya karena terlalu fokus pada kesehatan fisik serta sama sekali acuh dengan kesehatan jiwa ataupun mental. Padahal, menurut dia, jika jiwa terkena suatu penyakit, maka badan pun akan kehilangan keceriaan hidup dan badannya juga dapat sakit.
Begitupun sebaliknya, jika badan yang sakit, jiwa pun akan banyak kehilangan kemampuan kognifnya dan kehilangan kemampuan untuk merasakan nikmatnya hidup. Lebih lanjut, dia menerangkan bahwa inti dari segala gangguan kejiwaan adalah stress atau kecemasan. Sementara kebahagiaan merupakan muasal dari emosi positif lainnya.
Terapi Gangguan Jiwa
Untuk terapi gangguan kejiwaan, Abu Zaid al-Bakhi terkenal dengan gagasannya mengenai terapi kognitif. Untuk lebih Jelasnya, dia membahas gagasannya tersebut dengan tiga bagian. Yakni menjaga kesehatan jiwa (Wiqayah al-Nafsi), saran pengobatan tatkala kesehatan jiwa sudah terganggu (Iqtirah al-‘Ilaj ‘Inda Ikhtilal al-Sihhah al- Nafsiyyah), dan menangani masing-masing gangguan kejiwaan (‘Ilaj al-Ittirabat al- Nafsiyyah). Dia cukup rinci menjelaskan masalah-masalah yang berkaitan dengan kesehatan jiwa.
Untuk Menjaga kesehatan jiwa bisa kita lakukan pada saat dalam kondisi tentram tanpa tekanan kejiwaan. Caranya ada dua, yakni eksternal dan internal. Strategi eksternal yang dimaksud adalah melindungi jiwa dari elemen-elemen di luar diri yang dapat membangkitkan emosi-emosi negatif, semisal kesedihan, ketakutan, kemarahan, dan sebagainya.
Jadi, dalam konteks kekinian, kita harus menghindarkan diri dari berita- berita hoax terkait isu-isu capres dan cawapres 2024 serta menghindar dari tampilan- tampilan pencitraan di media sosial. Memang kelihatan sederhana, namun penerapannya tidaklah mudah.
Strategi internal bisa kita lakukan dengan cara melindungi jiwa dari pikiran-pikiran negatif yang dapat menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan memasuki hati. Cara untuk mengaplikasikan hal ini ada dua juga. Pertama, menginternalisasi belief (kepercayaan) yang benar mengenai sifat natural dunia.
Artinya, kita perlu menyakinkan diri bahwa dunia tidak tercipta untuk memenuhi keinginan kita tanpa adanya gangguan-gangguan psikis yang tidak kita inginkan. Dengan demikian, Gen-Z perlu menyadari bahwa untuk mengejar prestasi, tak mungkin kita peroleh tanpa mengalami gangguan kejiwaaan semisal mengalami stress tatkala belajar.
Sadari kenyataan ini lebih dulu, kemudian lawan gangguan mental tersebut. Dalam arti tak ingin membiarkannya begitu lama diri. Kedua, belajar untuk toleran terhadap gangguan yang memantik kekhawatiran.
Jawaban bagi Gen Zen untuk Menangani Mental Illness
Jelasnya, kita perlu untuk melatih diri agar tidak bereaksi secara berlebihan pada pengalaman yang tidak menyenangkan, bukan sedikit-sedikit kena mental. Strategi ini begitu related dengan kondisi yang menimpa Gen-Z sekarang yang berperan untuk menjalankan profesi ganda saja sudah mental illness. Kita –Gen Z- harus berusaha agar tidak mendapat julukan sebagai generasi stroberi.
Ketika jiwa sudah mengalami gangguan, Abu Zaid al-Balkhi menerangkan untuk memulihkannya dengan mengembangkan pikiran-pikiran yang berlawanan dengan gangguan tersebut. Bisa juga kita pulihkan dengan cara berkonsultasi pada orang lain untuk lebih memantapkan hati.
Dengan demikian, untuk melawan gangguan depresi yang sering kali menimpa Gen-Z adalah memikirkan dampak kesedihan yang bisa menyakiti kesehatan tubuh. Yakni memikirkan bahwa depresi adalah kondisi berbahaya yang seharusnya kita tinggalkan. Selain itu pikiran pikiran lainnya yang berorientasi untuk mengatasi gangguan mental yang sedang menjangkiti.
Kesimpulannya, psikologi Islam bisa menjadi jawaban bagi Gen-Z untuk menangani mental illness yang sering kali menimpa. Sebagaimana kita mengetahui penjelasan sederhananya di atas tadi. Gen Z adalah harapan Indonesia untuk menuju zaman keemasannya pada tahun 2045 mendatang. Kalau sering kena mental, bagaimana mau kita sebut sebagai generasi harapan? []