Mubadalah.id – ‘Tomorrow Sex Will Be Good Again: Woman and Desire in the Age of Consent’ yang ditulis oleh Katherine Angel pada 2021 silam adalah “sebuah eksplorasi provokatif tentang hasrat, persetujuan, dan seksualitas perempuan di era consent.” Buku ini pendek, hanya 160 halaman. Meskipun begitu, buku ini kaya akan ide dan mudah kita pahami.
Buku ini terbagi menjadi empat bagian esai: ‘On Consent’, ‘On Desire’, ‘On Arousal’ dan ‘On Vulnerability’. Masing-masing esainya mengusung ide-ide hegemonik dalam pemikiran feminis arus utama. Buku ini mendorong kita untuk berpikir lebih cermat tentang bahasa dan pendekatan kita terhadap seks dan kekerasan seksual.
Sayangnya dalam artikel pendek kali ini, saya tidak akan membahas keseluruhan isi buku tersebut. Saya hanya akan menjelaskan tema utama bukunya, yaitu masalah persetujuan.
Dalam ‘On Consent’, Angel mengarahkan pandangannya pada sejarah pemikiran feminis tentang ‘persetujuan’. Dengan menggunakan banyak contoh dari film, pemikir (pasca-)feminis, dan wacana publik (misalnya seputar kekerasan seksual di kampus).
Dia mengkritik persetujuan sebagai kerangka kerja untuk memahami kekerasan seksual. Ini tidak dapat kita nafi-kan, mengingat belakangan, terutama pasca gelombang kedua feminisme, persetujuan dan self-knowledge dianggap sebagai prasyarat utama dalam hubungan seksual yang emansipatoris.
Konsep Persetujuan
‘Tomorrow Sex Will Be Good Again’ mendesak kita untuk memikirkan kembali konsep persetujuan sebagai tujuan utama dari hubungan seksual yang ‘baik’. Budaya persetujuan memberi tahu kita bahwa selama persetujuan tidak kita langgar, seks akan bersifat memberdayakan—atau dalam kasus terbaik bersifat emansipatoris—legal, tidak berbahaya, dan menurut definisi, ‘baik’.
Menurut Angel, persetujuan musti kita persoalkan. Persetujuan adalah konsep yang lahir dari kepercayaan bahwa seks bagi perempuan adalah semacam ‘menyerah’. Bahwa wanita adalah objek, bukan pelaku, dari hubungan seksual.
“Persetujuan adalah ide yang licin,” tulisnya. Namun itu bukan berarti bahwa persetujuan harus sepenuhnya lenyap dari etika seksual kita. Argumen Angel adalah bahwa kita musti menganggap persetujuan sebagai dasar absolut—sesuatu yang mendahului etika seksual yang sangat kita butuhkan.
Namun perlu kita garisbawahi bahwa, menurut Angel, persetujuan adalah konsep hukum, bukan gagasan etika, dan bahwa persetujuan sendiri penuh dengan ketidakpastian. Dengan kata lain, persetujuan memang kita perlukan tetapi tidak cukup membuat seks menjadi ‘baik’.
Angel mencontohkan ketidakpastian seputar persetujuan ini. Misalnya, bagaimana penampilan wanita digunakan untuk membenarkan pemerkosaan. Selain itu, ini juga dapat kita tarik ke konteks yang lebih luas dan menurut saya cukup menantang. Misalnya bagaimana sifat semena-mena atau arbitrer kata “ya” dan “tidak” dimaknai oleh laki-laki.
Tentang Hasrat Perempuan
Menurut Angel, hasrat perempuan sulit untuk tergambarkan atau kita jelaskan. Sebab banyak hal yang terlibat di dalam hasrat tersebut, terutama budaya dan kepercayaan. Hal-hal ini yang memicu bentrok dan silang sengkarut ketika perempuan berusaha untuk mengidentifikasi dirinya. Sehingga “ya” tidak selalu bermakna ya, begitu pula sebaliknya.
Hal tersebut juga diperparah dengan kerentanan perempuan terhadap justifikasi masyarakat. Wa bil khusus masyarakat di era yang menekankan pada persetujuan saat ini. Perempuan dituntut untuk memberikan persetujuan, sedang di sisi lain persetujuan itu sendiri membutuhkan self-knowledge terhadap hasrat.
Angel pun bertanya, “bagaimana kami, perempuan, dituntut untuk memberikan konfirmasi sedangkan kami sendiri tidak tahu apa yang sungguh kami inginkan?”
Inilah yang memicu masalah utamanya. Ketika perempuan kebingungan mengidentifikasi hasratnya sendiri, perempuan cenderung diam. Sikap diam ini tentu saja bukan semata-mata karena perempuan mengalami kebingungan epistemik terhadap hasratnya sendiri. Tetapi juga karena perempuan takut mengekspresikannya. Apa yang perempuan takuti? Tatapan masyarakat!
Ini tentu saja menimbulkan paradoks: ketika perempuan diam, laki-laki akan berusaha untuk mendominasi dan mendefinisikan hasrat itu menurut kecenderungan patriarkinya. Di sisi lain, apabila perempuan mengekspresikannya, perempuan akan mendapatkan tatapan dan justifikasi sinis dari masyarakat.
Inilah mengapa Angel berkata, “mengetahui apa yang kami inginkan adalah sesuatu yang dituntut kepada kami sekaligus merupakan sumber hukuman.”
Olehnya menurut Angel, seks tidak pernah setara bagi perempuan. Sebab perempuan hanya dianggap sebagai objek rentan, lemah, dan dependen.
Persetujuan dalam Budaya Populer
Buku ini telah menunjukkan pekerjaan yang baik dalam menelusuri bagaimana konsep akademik tentang persetujuan menyusup ke dalam budaya populer kita. Budaya persetujuan menjadikan tugas perempuan (atau lebih tepatnya mereka yang memainkan peran perempuan dalam hubungan kekuasaan) untuk mengenal diri mereka sendiri (self-knowledge) dan pasangan mereka.
Menurut Angel, self-knowledge bagaimanapun terkubur di bawah lapisan tebal kebingungan ideologis. Dia menulis:
“Pemikiran progresif telah lama menempatkan seksualitas dan kesenangan sebagai pengganti emansipasi dan pembebasan. Justru inilah yang dikritik filsuf Michel Foucault pada tahun 1976, dalam The Will to Knowledge. Ia mengutip, dengan nada sinis, sikap kaum pembebasan seksual kontra-budaya […], semua orang yang percaya bahwa, untuk terbebas dari cengkeraman moralitas masa lalu, dari masa lalu Victoria yang represif, kita akhirnya harus mengatakan kebenaran tentang seksualitas.”
Menurut Foucault, “ucapan dan pengungkapan kebenaran pada dasarnya tidak bersifat emansipatoris.” Namun, perlu kita pahami bahwa masalah persetujuan sebagai tujuan utama dari seks yang ‘baik’ terletak lebih dalam lagi. “Kita tidak boleh berpikir,” tulis Foucault, seperti yang mengutip Angel, bahwa “dengan mengatakan ya pada seks, seseorang mengatakan tidak pada kekuasaan.”
Sayangnya inilah fakta yang terjadi. Ketika persetujuan terjadi, perempuan sering kali kehilangan hak atau kuasanya dalam partisipasi seks. Budaya dan agama mengajarkan kita bahwa perempuan bukan hanya hadir untuk suaminya, tetapi juga bertanggung jawab pada urusan ranjang suaminya. Ini yang menjadi dilema dalam pengalaman seksual perempuan.
Kesetaraan dalam Seks
Perempuan seolah kita anggap seperti benda mati yang tidak memiliki obsesi terhadap seks. Perempuan dituntut untuk memenuhi kebutuhan ‘yang lain’ (laki-laki), sehingga ketika tuntutan tersebut tidak terpenuhi, kesalahan sering kali tertuju kepada perempuan.
Namun uniknya adalah, ketika perempuan telah melakukan pekerjaannya dengan baik seperti memanjakan mata dan kelamin laki-laki, perempuan kita anggap tidak berdaya, murahan, dan bahkan tidak bernilai lagi.
Angel percaya bahwa seks yang baik bukan semata-mata terletak pada persetujuan atau self-knowledge, tetapi juga transparansi dan kesetaraan dalam seks. Bahwa pekerjaan penis bukan hanya menunggu untuk dipuaskan tetapi juga untuk memuaskan.
Gerakan seks-positif yang feminisme arus utama canangkan ini percaya bahwa keinginan untuk (atau tidak ingin) terlibat dalam segala jenis aktivitas seksual adalah hal yang wajar. Mereka mendukung emansipasi perempuan selama ada ketentuan untuk persetujuan dan keamanan.
Argumen dalam seks-positif adalah bahwa keputusan yang perempuan buat terkait seksualitas mereka pada dasarnya bersifat emansipatoris. Itu adalah pilihan yang dilakukan sebagai perempuan, di dunia yang menolaknya. Secara teori, pandangan ini menarik.
Namun, dalam praktiknya, “sebelum adanya kesetaraan gender dan selama kita belum menyingkirkan orgasme laki-laki sebagai satu-satunya tujuan hubungan seksual, seks-positivisme hanyalah tipuan ideologis.”
Hubungan seksual pada kenyataannya selalu menempatkan perempuan sebagai pernak-pernik yang berpusat pada kesenangan (orgasme) laki-laki. Ini adalah satu-satunya bentuk interaksi seksual yang tersedia oleh dunia patriarki.
Aktivitas Seks sebagai Keterbukaan dan Penerimaan
Angel percaya bahwa seks harus kita pahami sebagai aktivitas di mana keterbukaan dan penerimaan sebagai dasarnya. Setiap orang, laki-laki atau perempuan, musti menjadi pelaku yang setara. Seks adalah cara terbaik untuk menunjukkan kerentanan atau kelemahan kita dan merayakannya. Bukan untuk menjadikan kerentanan tersebut sebagai hal untuk kita monopoli dan kita ekploitasi.
Namun begitu, bagaimana dan kapan kita akan mencapai kesetaraan seks ini, secara praktis, Angel sendiri juga tidak mengatakan apapun di dalam buku ini. Mungkin saja dia juga tidak tahu kapan. Tetapi ajakan untuk mengakui kerentanan kita terhadap tugas yang menakutkan dalam hubungan seksual menurut saya adalah salah satu kelebihan terbesar buku ini.
Buku ini menuntut kita untuk menerima kerentanan kita, melampaui persetujuan, dan siap untuk berkata: “Aku percaya padamu untuk tidak menyakitiku; Aku percaya padamu untuk tidak menyalahgunakan kekuasaanmu.” []