Mubadalah.id – Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa ideologi radikal merupakan cara berpikir ekstrem seseorang dalam hal apa saja, bisa dalam hal ekonomi, politik, slam, dan lain-lainnya. Cara berpikir demikian selalu bereinkarnasi setiap masanya, sehingga selalu menarik untuk dikaji dan ditinjau perkembangannya dalam rangka mengidentifikasi teori-teori beserta poin-poin yang menjadi landasan berpikir mereka. Bagaimanakah sebenarnya sejarah radikalisme Islam ini bermula?
Sejarah radikalisme ini penting dibahas mengingat ideologi radikal memang ekstrem dan bisa menghancurkan Islam yang rahmatal lil-alamin dari dalam, sehingga cara berpikir demikian perlu adanya counter untuk meminimalisir perkembangan reinkarnasi jiwa mereka terhadap generasi muda islam atau bahkan membasminya dari muka bumi.
Sebagian kalangan mengalami kebingungan memahami orang-orang yang masih tetap mengikuti cara berpikir mereka, padahal sudah jelas-jelas mereka ekstrem yang tindakannya mengarah kepada teror yang mengancam masyarakat beserta dengan tatanannya yang sudah tentram.
Namun setidaknya fakta tersebut memberikan kesimpulan bahwa masih banyak orang-orang yang kapasitas keagamaannya masih minim, sehingga tak mengherankan apabila masih banyak orang mengikuti kelompok ekstrem tersebut. Seandainya mereka memiliki wawasan keagamaan yang luas serta kokoh, mereka tentu tidak akan mengikuti ideologi ekstrem tersebut lantaran sudah mengetahui adanya maqashidus-syariāah, memahami ushul fiqih, akhlak serta keilmuan-keilmuan penting lainnya dalam islam.
Berbicara mengenai sejarah radikalisme Islam tidak berbeda dengan berbicara tentang suatu paham, wacana, maupun paradigma yang bertujuan mengubah sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya menjadi islami dengan menggunakan metode jihad.
Tentu bernilai Islami menggunakan tolak ukur maupun cara berpikir kelompok ekstrem tersebut, sedangkan entitas paradigma keislaman selain kelompok ekstrem tersebut dinilai bukanlah kebenaran. Karena telah melandaskan hukum Allah kepada akal yang menjadi sarana untuk menangkap makna yang ingin disampaikan oleh allah melalui firmannya, bukan murni allah yang mencetuskannya.
Berbicara mengenai radikalisme Islam juga tak luput dari pembicaraan fundamentalisme Islam yang muncul untuk merespon modernisme yang gerakannya cenderung menafsirkan ayat-ayat al-qurāan secara fleksibel dan elastis.
Antara radikalisme Islam dan fundamentalisme Islam sama-sama melahirkan suatu paham yang ujung-ujungnya akan menyebabkan teror, bagaimana tidak? Apabila kebenaran hanya dimonopoli oleh mereka berdua saja, serta mereka mengklaim penilaian salah dari orang lain terhadapnya sebagai suatu ujian yang harus dilewati dengan penuh kesabaran dan teguhnya pendirian.
Seseorang akan mengetahui betapa berbahayanya mereka berdua tatkala mengkajinya secara detail dari pengertian, sejarah, paradigma serta landasan berpikirnya, faktor-faktor yang menyebabkannya berpikir radikal atau fundamental.
Mengenai pengertian dari radikalisme mungkin sudah lumrah seseorang mengetahuinya, dan bisa mengetahuinya secara gamlang dengan cara melihatnya di kamus. Namun dalam rangka memperkuat wawasan, penulis akan memaparkannya menggunakan sudut pandang Yusuf al-Qardhawi yang menjelaskan bahwa radikalisme berasal dari kata al-tatharruf, yang maknanya adalah paham yang tidak moderat dan hanya memberatkan pada satu sisi (berlebihan dalam berpikir, bertindak, dan beragama).
Sejarah Radikalisme Islam
Kalau mengacu pada pernyataan Dr. Usamah Sayyid al-Azhary yang menjadi dosen Universitas al-Azhar Kairo Mesir, beliau menyebutkan dalam kitabnya yang berjudul Al-Haqq al-Mubiin Firraddi āAla Man Talaāaba Biddin: al-Tayyarat al-Mutatharrifah Minal Ikhwan Ila al-`Daāisy Fi Mizan al-Ilmi bahwa sejarah radikalisme Islam bermuara atau bersumber pada kitab Fi Dzilal al-Qurāan karya Sayyid Qutb, yakni kitab yang mengupas QS. Al-Maaidah:44 secara radikal. Penggalan bunyi ayat tersebut sebagai berikut;
…ŁŁŁ ŁŁŁ ŁŁŁŁ Ł ŁŁŲŁŁŁŁ Ł ŲØŁŁ ŁŲ§ Ų£ŁŁŁŲ²ŁŁŁ Ų§ŁŁŁŁŁŁ ŁŁŲ£ŁŁŁŁŲ¦ŁŁŁ ŁŁŁ Ł Ų§ŁŁŁŁŲ§ŁŁŲ±ŁŁŁŁŁ.
āā¦Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafirā.
Makna ayat tersebut dipahami oleh Sayyid Qutb tanpa mengindahkan kaidah-kaidah tafsir, sababun nuzul, ushul fiqih, maqasid al-syariāah, serta pendapat-pendapat ulamaā yang kompeten dalam hal mencetuskan hukum. Sehinga lahirlah suatu paham hakimiyyah (wewenang), yaitu teori yang mengatakan bahwa hanya allah saja yang berhak dalam mencetuskan hukum syariāat, bukan akal manusia. Sehingga, dengan berlandaskan teori tersebut tak heran kelompok-kelompok ekstrem memahami al-qurāan secara tekstual.
Dr. Usamah Sayyid al-Azhary mengutip pernyataan Turki bin Mubarak al-Banāanli dalam kitabnya yang berjudul Al-Lafdz al-Sani fi Tarjamah al-āAdnani yang mengatakan bahwa tokoh kedua dari organisasi ISIS yang bernama Abu Muhammad al-āAdnani Taha Subhi Falaha sangat terinspirasi terhadap pemikiran Sayyid Qutb yang mempunyai kitab Fi Dzilal al-Qurāan, ia sangat menyukainya sehingga membaca kitab Fi Dzilal al-Qurāan berulang kali selama 20 tahun.
Makna ayat QS. Al-Maaidah:44 di atas berhasil menembus relung hati tokoh kedua organisasi ISIS tersebut, lantas bertanya kepada salah seorang teman belajarnya, āApa sumber undang-undang Suriah? Apa itu lembaga legislatif? dan apa itu lembaga eksekutif dan yudikatif?ā. Semua pertanyaan itu dijawab oleh teman belajarnya sesuai dengan pelajaran yang ia terima dari sekolahnya, lalu Al-Banāali berkata kepada temannya, āWahai Fulan, ini berarti semua pemerintah kita adalah kafir.”
Lantas, temannya berkata, āAssalamualaikumā, seraya melangkahkan kaki beranjak meninggalkan Al-Banāali. Inilah awal mula Al-Banāali bersikap radikal serta ekstrem yang menciptakan teror bagi sistem tatanan suatu Negara.
Dr. Usamah Sayyid al-Azhary juga menyebutkan bahwa pemikiran serupa dengan pemikiran radikal Sayyid Qutb, salah satunya juga dipelopori oleh Hasan al-Banna. Pada intinya bermuara pada pemikiran inilah kelompok Islam radikalis seperti ISIS, Ikhwanul Muslimin, Khawarij, dan kelompok-kelompok radikal yang lainnya.
Dia (Dr. Usamah) juga menyebutkan bahwa Sayyid Qutb memang sengaja memahami al-Qurāan secara tekstual, karena tidak menemukan kenyamanan maupun keindahan membaca al-Qurāan serta memahaminya dengan metodologi yang diciptakan oleh ulamaā-ulamaā yang menciptakan keilmuan tafsir, kaidah-kaidahnya, dan ushul fikih.
Teori Munasabah Dalam Pelajaran Ulumul Qurāan
Salah satu hal yang bisa membuat seseorang tidak akan berpikir maupun hanyut pada ideologi Islam radikalis adalah dengan memahami teori munasabah ini, karena teori ini mengemban tugas untuk mengupas hubungan antara ayat yang satu dengan ayat yang lainnya.
Bahkan teori ini dengan kerennya mengupas makna dari ayat-ayat muqhataāah seperti ayat yasiin, alif lam mim, dan sebagainya dengan pemahaman yang logis, objektif, dan diterima oleh rasio. Padahal, sebagian ulama tafsir menyatakan hanya allah beserta dengan orang pilihannya saja yang bisa memahami makna dari ayat-ayat muqhataāah tersebut.
Seseorang yang membaca al-Qurāan sekaligus berupaya untuk memahaminya tentu akan mengalami kebingungan dalam hal mekanisme penyusunan al-Qurāan, seperti ketika membaca ayat yang menjelaskan tentang aurat, tiba-tiba di ayat yang selanjutnya membahas tentang ketakwaan. Kebingungan demikianlah yang akan dibereskan oleh teori munasabah yang ditemukan oleh Syekh Abu Bakar al-Naisaburi ini.
Munasabah secara etimologi adalah musyakalah dan muqarabah yang artinya adalah identik atau berdekatan. Di antara contoh penerapan kata ini ketika seseorang berkata, āŁŁŲ§Ł ŁŁŲ§Ų³ŲØ ŁŁŲ§ŁŲ§ā , yang artinya ā Si Fulan dekat dan identik dengan Si Fulan yang iniā. Begitu pula penggunaan kata ini pada bab qiyas tentang munasabah dalam ilat, artinya bahwa suatu ilat dekat dengan hukum.
Sementara, munasabah secara terminologi menurut Imam As Suyuthi, ketika dikaitkan kepada ayat-ayat Alquran, merujuk kepada suatu makna yang mengikat antara ayat-ayat tersebut, baik yang bersifat universal atau parsial, bersifat logis, indrawi atau imajiner, dan bentuk-bentuk hubungan lainnya seperti sebab-akibat (kausalitas), ilat–maālul, perbandingan, kontradiksi dan semacamnya. (Jalaluddin al-Suyuti, Al-Itqan fi Ulumil Qurāan, hal. 383)
Salah satu contoh yang menakjubkan dari teori munasabah ini terletak pada surah Qaf dalam al-Qurāan, yaitu suatu surah yang diawali dengan ayat yang berupa huruf Qaf. Penempatan huruf Qaf dalam awal surah tersebut lantaran huruf dominan dari kata yang ada di dalam surah tersebut terdiri dari huruf Qaf, seperti lafadz Alquran, Al Khalq, Al Qoul, Al Qurb, Talaqqil Malakain, dan sebagainya.
Teori munasabah dalam al-Qurāan bisa dipahami dengan cakupan yang cukup luas, misalnya hubungan antar kata atau kalimat dalam satu ayat, hubungan ayat dengan ayat yang sesudahnya, hubungan kandungan ayat dengan fashilah (penutup ayat), hubungan surah dengan surah berikutnya, hubungan awal surah dengan penutupnya, hubungan nama surah dengan tema utamanya, dan hubungan uraian akhir surah dengan uraian surah berikutnya.
Menurut Imam al-Fakhruddin dan Syekh Abu Bakar al-Naisaburi, urgensi serta manfaat teori munasabah salah satunya adalah bisa memahami al-Qurāan secara komprehensif dan menolak upaya fundamental serta radikal yang cenderung kaku memaknai hukum Islam yang sifatnya luwes dan akomodatif.
Selain itu, bisa membuat sadar akan kemukjizatan al-Qurāan yang nyata turunnya berasal dari Allah, bisa membantu para pengkaji al-Qurāan dalam mengetahui konteks yang sedang terjadi, bisa membuat seseorang menjadi cerdas sehingga orang tersebut tidak miskin solutif untuk menyelesaikan problem-problem kemanusiaan yang sifatnya luas tanpa batas, dan bisa mengetahui hikmah. Wallahuaāalam. []












































