Mubadalah.id – Istilah selebriti langit pertama kudengar dari rekaman video Prof. Dr. Nasaruddin Umar. Menurutku ini terjemahan keren dan kekinian dari istilah Masyhurun fis Sama’. Saat itu, beliau sedang menjelaskan kisah tentang tokoh bernama Uwais al-Qarni.
Kisah hidup beliau mengubah pemahamanku atas hadis tentang sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama manusia. Semula aku mengasumsikan bahwa perbandingan sebaik-baik manusia ini adalah orang lain. Siapa yang lebih bermanfaat dari orang lain, maka dia lebih baik dan yang termanfaat, maka dialah yang terbaik. Menjadi versi terbaik diri.
Dengan kalimat lain, semakin luas manfaat seseorang, semakin lebih baik daripada lainnya. Mereka yang paling luas manfaatnya pun menjadi yang terbaik. Ciri orang terbaik jadinya adalah terkenal luas karena keluasan manfaatnya.
Menjadi Versi Diri Yang Terbaik
Pemahaman seperti di atas menurutku bermasalah karena adanya standar tunggal asas kebermanfaatan bagi setiap orang yang kondisinya beragam. Misalnya sehat dan sakit, kaya dan miskin, pejabat dan rakyat, non difabel dan difabel, dst. Padahal masing-masing dua kelompok orang ini mempunyai kondisi dan kapasitas yang sangat berbeda untuk bisa mendatangkan manfaat.
Pemahaman lain sebetulnya sangat mungkin. Misalnya dengan mengembalikan kata hum pada kata anfauhum tidak pada manusia secara umum melainkan manusia sebagai diri masing-masing. Sebaik-baik manusia adalah yang menjadi versi termanfaat mereka, atau menjadi versi terbaik diri mereka sehingga bisa bermanfaat secara optimal, sesuai kondisi dan kemampuan masing-masing.
Allah memberi kemampuan berbuat buruk dan baik pada setiap manusia. Mereka kemudian bertanggungjawab atas pilihannya. Allah pun tidak akan membebani setiap manusia di luar kemampuannya. Jadi manusia hanya dituntut untuk menjadi versi diri yang terbaik sesuai dengan kondisi masing-masing.
Perbandingan terbaik tidaknya seseorang adalah dirinya sendiri, bukan orang lain. Bahkan yang terbaik pun tidaklah selalu di antara dua pilihan yang sama-sama baik. Kadang sama-sama buruk. Yang terbaik bisa muncul dalam beberapa kemungkinan:
- Lebih baik dan terbaik: terbaik;
- Baik dan lebih baik: lebih baik;
- Baik dan baik: terbaik;
- Baik dan buruk: baik;
- Buruk dan buruk: terbaik;
- Buruk dan lebih buruk: buruk;
- Lebih buruk dan terburuk; lebih buruk.
Manusia hanya bertanggungjawab atas pilihan-pilihan yang ada dalam kendalinya. Karena itu, ketika berada dalam perkawinan yang penuh kezaliman dan segala ikhtiar telah menemukan jalan buntu misalnya, maka pilihan yang tersedia bisa sama-sama tidak ideal, yakni meneruskan perkawinan dengan resiko mengalami kezaliman berkelanjutan, atau berpisah namun harus mulai dari nol untuk menafkahi diri sendiri dan anak-anak.
Dalam kondisi dilematis seperti di atas, kondisi perkawinan orang lain yang sedang berjalan sebagaimana mestinya tidak bisa menjadi standar tunggal pilihan terbaiknya. Bukankah pilihan tersebut tidak sedang dia miliki? Ketika dihadapkan pada dilema seperti ini, maka pilihan yang terbaik di antara dua pilihan buruk mesti diambil.
Tak Harus Populer
Betapa uniknya hidup masing-masing orang, sehingga menjadi versi terbaik diri sangat relatif bentuknya. Bahkan versi diri yang terbaik kita pada hari ini berbeda dengan kemarin dan besok.
Uwais al-Qarni mendapat julukan selebriti langit bukan karena hidupnya manfaat bagi orang banyak. Dia bahkan dapat julukan sebagai orang yang tidak diketahui di bumi (majhulun fil ardli), alias tidak terkenal.
Lalu apa istimewanya? Uwais tinggal bersama ibunya yang sudah tua dan tidak mampu secara ekonomi. Ia sangat menyayangi ibunya hingga apapun akan ia lakukan demi membahagiakan sang ibu. Suatu hari ibunya menyampaikan keinginannya untuk pergi haji.
Uwais pun berlatih menggendong keledai naik turun bukit. Orang-orang heran melihat kebiasaan barunya. Ternyata ia sedang melatih kekuatan fisiknya agar mampu menggendong ibunya selama haji karena sang ibu tidak mampu berjalan dengan baik. Luar biasa!
Uwais al-Qarni adalah teladan kehidupan. Kita boleh menjadikannya atau orang lain sebagai teladan, tapi tidak sebagai standar tunggal terbaiknya kita. Begitu pun sebaliknya.
Semoga kita sama-sama mampu mengasah kecerdasan akal budi dengan baik agar terlatih mengambil sikap terbaik sesuai dengan perkembangan kondisi dan potensi diri. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin. []