Mubadalah.id – Self Healing merupakan usaha diri sendiri untuk menyembuhkan luka batin selama melewati masa-masa yang buruk atau dalam istilah Indonesia kita namakan ‘penyembuhan diri’. Healing bisa kita lakukan dengan banyak cara tergantung kondisi orang yang terluka tersebut.
Biasanya bentuk luka yang kebanyakan orang alami berupa luka batin atau trauma. Bisa jadi trauma atas masa lalu atau kejadian buruk yang tidak kita inginkan. Orang yang trauma ini butuh kita sembuhkan dan punya ruang aman dari ancaman apa pun. Salah satunya korban kasus kekerasan seksual.
Sejak penerbitan UU TPKS, kasus seperti ini mulai terkupas satu per satu. Namun dalam pendampingan dan penanganan korban kadang kala masih terkendala. Termasuk proses pemulihan korban kekerasan seksual. Tak hanya korban yang berhak kita pulihkan.
Tapi pelaku juga butuh kita rehabilitasi agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. Rasa trauma korban atas tindakan kekerasan seksual tentu membuatnya terbebani. Alih-alih justru korban keluarga pulihkan melalui jalan damai dan mereka nikahkan dengan pelaku. Alasannya adalah ‘demi nama baik keluarga’.
Apakah korban akan bahagia dengan pernikahan itu? Apakah korban terjamin keamanannya dari potensi tindakan kekerasan yang berulang? Cara seperti ini perlu kita pertimbangkan lebih lanjut untuk kemaslahatan bersama, terkhususnya korban.
Jalan Damai bukan Solusi
Jalan damai tetap masih bisa berpotensi kejadian kekerasan yang berulang, karena pelaku belum merasakan hukuman atas tindakannya. Apalagi melalui pernikahan dengan pelaku yang justru dalam ruang lingkup ini, korban berpeluang tersakiti kembali atas relasi kuasa suaminya. Korban tidak sembuh dan semakin tertekan kehidupannya.
Kerugian yang korban dan pelaku alami jelas berbeda. Bahkan jika korbannya perempuan akan rentan mengalami kehamilan dan infeksi penyakit menular seksual. Jadi, pernikahan bukan solusi terbaik untuk memulihkan korban. Jika kita lihat dari perspektif hukum Islam, menikahkan korban dengan pelaku lebih dharar (menuju kerusakan) dan harus kita hilangkan.
Sebagaimana Allah SWT telah berfirman dalam Surat al-Qasas ayat 77 :
وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَا ۖ وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَ ۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ
Artinya : “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”
Selain itu, salah satu hadits dalam kitab al-Mustadrak Jilid II periwayatan dari Hakim, dari Abu al-Abbas Muhammad bin Ya’qub dari al-Abbas Muhammad al-Dawuri dari Usman bin Muhammad bin Usman bin Rabi’ah bin Abi Abdurrahman dari Abdul Aziz dari Amir bin Yahya dari Abu Sa’id al-Khudri berkata :
“Tidak boleh berbuat kemudharatan dan membalas dengan kemudharatan. Barang siapa berbuat kemudharatan, maka Allah akan berikan kemudharatan.”
Dari pernyataan al-Qur’an dan hadits tersebut, kemudian diinduksikan menjadi sebuah kaidah fiqh yang berbunyi :
الضرر يزال
“Adh-dhararu yuzalu” yang artinya “kemudharatan harus dihilangkan.”
Kaidah ini sedang menegaskan bahwa sesuatu yang mengandung mudharat jika kita balas dengan kemudharatan, maka semakin rusaklah sesuatu itu. Dalam kasus menikahkan korban kekerasan seksual dengan pelakunya, maka kerugian korban tidak terbayarkan justru menambah peluang untuk mendapatkan kerugian yang lain. Berbeda keadaan ketika korban mendapatkan upaya perlindungan jiwa dan pelaku mendapatkan balasan yang setimpal.
Upaya Pemulihan Korban
Ada hal-hal yang perlu kita perhatikan dalam upaya pemulihan korban. Pertama, korban berhak mendapatkan jaminan kerahasiaan identitasnya. Kedua, korban berhak untuk dilindungi dan dipulihkan kondisi kesehatan dan sosial psikologisnya.
Ketiga, hindari terlibat komunikasi dengan pelaku secara langsung ketika proses penyidikan. Keempat, korban membutuhkan ruang aman untuk melakukan penyembuhan diri. Kelima, korban berhak mendapatkan jaminan keberlangsungan masa depan yang aman.
Di samping korban mendapat upaya pemulihan, pelaku juga berhak mendapatkan rehabilitasi dan edukasi. Siapa yang bersalah tetap kita hukum sesuai tindakannya. Namun, setiap manusia juga berhak untuk hidup dan tumbuh berkembang. Orang yang salah ada peluang berkelakuan baik selagi memiliki kemauan untuk berubah.
Jadi, korban kekerasan seksual terkhususnya pemerkosaan butuh penyembuhan diri (self healing) dengan cara yang ma’ruf bukan menambah mudharat baginya. Self healing korban membutuhkan ruang aman, bukan dinikahkan dengan pelaku yang berbuat kemudharatan. []