Mubadalah.id – Alissa Wahid mengajak kita untuk jujur mengakui, terror bom di Makassar terkait dengan agama (Islam). Dengan pernyataan ini sekaligus ia menyanggah atau mengoreksi pendapat Presiden yang menegaskan terror tak ada hubungannya dengan agama. Presiden bicara di tatar normatif, sementara Alissa Wahid di ranah fakta- realitas.
Pernyataan Alissa Wahid sangat fundamental. Sebab dengan pengakuan itu, meski pahit, kita bisa introspeksi kolektif ada apa dengan keberagamaan kita.
Ini bukan soal Islam (semata). Pernyataan ini bagi saya merupakan ajakan untuk membaca dari cakrawala yang lebih luas. Pernyataan Alissa Wahid, menurut saya, bukan hanya bicara soal ajaran semata tetapi pada problem yang dihadapi oleh agama dalam tanggung jawab moralnya mengatasi problem kehidupan manusia.
Ibarat manusia renta, punggung agama (Islam), bagaimanapun sangat berat menanggung begitu banyak beban tanggung jawab!: beban moral, beban kehidupan manusia, beban umat, beban kemiskinan, hubungan- hubungan sosial sejak hubungan di tingkat keluarga, komunitas, antar warga, antar umat hingga hubungan di dunia global yang di mana-mana menunjukkan relasi kuasa yang timpang dengan dampak-dampak buruk yang ditimbulkannya. Ketidak adilan!
Ketidakadilan ekonomi yang tak selalu jelas anasir dan kait kelindannya di mata awam namun terasa nyata dampaknya sampai ke tingkat dapur masing-masing keluarga.
Ketidakadilan akses, partisipasi menikmati hasil pembangunan global yang begitu senjang, tergambar nyata di mana-mana berkat teknologi sosial media.
Ketidakadilan akses pendidikan yang menyebabkan salah satu pihak dapat mencapai menara langit sementara yang lain berkutat di kubangan lumpur kebodohan, begitu nyata di depan mata.
Ketidakadilan sistem hukum, yang bagi Islam sebagai agama rahmat bagi sekalian alam membuat beban di punggung agama begitu berat tak tertangguhkan.
Seusia agama itu, manusia telah mencari jalan keluar dengan pengetahuan dan pemikian serta pembacaan atas wahyu Tuhan. Di Barat, dari aspek relasi hubungan negara dan agama mereka berusaha memisahkan urusan itu: urusan agama dengan urusan negara, urusan akhirat dengan urusan dunia. Namun hasrat untuk tetap menarik-narik surga ke dunia terus terjadi di belahan dunia sana yang menganggap diri telah berhasil melakukan upaya sekularisasi.
Namun ketidakadilan semesta yang menyeruak dalam kehidupan sehari-hari dengan cepat mengangkat telunjuk orang untuk mencari sebab masalah tanpa mendalami akar masalahnya. Jawaban sering begitu gampangan seperti menunjuk pada warna kulit, ras, etnisitas, gender perempuan, dan agama dan pihak ” orang luar” sebagai akar masalah. Lalu hidup dengan sekat, dengan pembatas fisik atau imaginer mereka lihat sebagai solusi. Seolah-olah dengan cara itu otomatis kesejahteraan akan mereka raih.
Sementara itu, umat Islam di dunia yang berbeda berkutat dengan problem kolektif dan luka bawaan yang ditancapkan ketidakadilan dari kolonialisme. Kolonialisme tak hanya menguras harta tanah jajahan tetapi proses berpikir waras dengan mengambil inti sari sumber ajaran.
Betapapun sulitnya pun, umat Islam di berbagai negara terus menggali dengan upaya dan cara untuk mengambil inti sari ajaran sebagai pedoman. Mereka menawarkan jalan keluar kesejahteraan di dunia dan akhirat. Namun kesenjangan yang begitu dalam, hilangnya pemikiran kritis, malah menghasilkan serpihan-serpihan tepi ajaran daripada inti sarinya. Ini tak beda dari cara sesat warga Barat melihat etnis, ras, warna kulit sebagai akar penyebab dan menghilangkannya sebagai solusi masalah.
Pernyataan Alissa Wahid, tidak bisa lain, bagi saya adalah sebuah kesediaan untuk mengangguk, memang ada masalah dalam agama kita. Tapi ini juga sekaligus untuk menegakkan kepala, kita akan terus mencari bagaimana menyelesaikan persoalan kehidupan yang tidak adil, yang membuat setiap orang yang melihat dan merasakannya merasa punya magma untuk berjihad, bukan jihad di jalan yang sesat dan bukan pula jihad mereka yang jahat bagi kemanusiaan. []