Mubadalah.id – Sharing properti keluarga adalah salah satu cara mengelola harta kekayaan keluarga agar mendatangkan kebaikan dan tidak mendatangkan keburukan pada anggota keluarga.
Suami istri, sebagai awal dari keberadaan keluarga dalam sharing properti ini, akan memiliki, bertanggung-jawab, mengontrol, mengambil manfaat, dan melakukan tindakan hukum terhadap properti keluarga secara bersama dan untuk kepentingan keduanya.
Hal ini hanya dimungkinkan jika kehidupan perkawinan dibangun atas dasar relasi yang adil gender. Yaitu relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan, dimana yang satu tidak memandang rendah pada yang lain, dan yang satu tidak menganggap dirinya lebih penting dari yang lain.
Relasi ini mensyaratkan kedua belah pihak sadar, rela, dan tanpa terpaksa memilih masuk dalam ikatan pernikahan. Relasi ini juga hanya mungkin jika pernikahan dianggap sebagai perkongsian (musyârakah) antara laki-laki dan perempuan, bukan pertukaran (mu’âwdah) antara sesuatu yang dimiliki laki-laki dengan sesuatu yang dimiliki perempuan.
Jika relasi yang terbentuk setara dan tidak timpang. Maka maskawin akan dipandang sebagai bentuk pemberian sukarela (nihlah) dari pihak mempelai laki-laki ke mempelai perempuan.
Karena itu, hal yang sama juga bisa mempelai perempuan lakukan kepada calon suaminya. Untuk mengarah pada relasi yang setara ini, kita harus meninggalkan cara pandang lama bahwa maskawin sebagai imbalan dan jasa.
Cara pandang maskawin sebagai imbalan ini sesungguhnya secara substansi berarti menyamakan pernikahan dengan pekerjaan seks komersial.
Jika kita menganggap pernikahan lebih mulia dari sekedar pekerjaan seks. Maka cara pandang kita terhadap maskawin harus dikembalikan pada apa yang digariskan al-Qur’an sebagai komitmen kejujuran (shaduqah) dan pemberian sukarela (nihlah).
Demikian apa yang Syekh Ibn Asyur (w. 1393 H/1973 M) katakan dalam Tafsirnya at-Tahwir wa at-Tanwir mengenai ayat ke-4 dari Surat an-Nisa.
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Dan berikanlah (wahai laki-laki) kepada perempuan (yang kamu nikahi) tanda-tanda kejujuran (maskawin) yang menjadi milik mereka, secara suka rela. Dan jika mereka (perempuan) dengan senang hati memberikan kembali dari maskawin tersebut kepada kamu. Maka kamu boleh memakannya tanpa perlu ragu”. (QS. An-Nisa 4: 4). []