Sudah hampir satu tahun aku menikah dengan Tya, juniorku di kampus yang akhirnya menjadi pendamping dan pelabuhan terakhirku. Setelah menikah, kami memilih untuk tidak tinggal bersama orang tua. Kami ingin hidup mandiri, memulai kehidupan baru dari awal. Membangun segalanya bersama.
Aku dan Tya sama-sama bekerja. Tya yang sebelum menikah hanya sibuk mendampingi anak-anak sanggar seni melukis dan bermain musik, kini juga sibuk mengajar di sebuah yayasan pendidikan dekat rumah kami. Tya juga aktif menulis. Sejak kuliah dia aktif menulis di kolom mingguan sebuah surat kabar dan website yang telah membesarkan namanya. Jadilah, hari-harinya sangat padat. Tya baru pulang dari sanggar saat waktu menjelang petang. Namun jika belum selesai dengan proyek menulisnya, ia tak akan lantas istirahat begitu saja.
Aku sudah tidak asing dengan kesibukannya. Sebelum menikah pun dia sudah biasa sibuk. Sebetulnya kesibukanku dan kesibukan Tya hampir menyita waktu yang sama. Bahkan mungkin Tya lebih banyak, karena di akhir pekan dia tetap pergi ke sanggar. Baginya, melatih anak-anak melukis dan bermain musik adalah waktu refreshingnya.
Seperti hari ini. Minggu pagi, saat jam baru menunjukkan pukul delapan, Tya sudah rapi dengan menenteng ransel dan kunci motornya, siap meninggalkanku yang masih santai mengenakan kaos tidur sambil menikamati secangkir kopi.
“Kak, aku nitip cuci piring sama nyapu teras yah. Cucian udah aku jemur. Barangkali nanti gerimis tolong angkatin.”
“Iya sayang. Kamu pulang jam berapa?” Tanyaku sambil tetap tak beranjak dari koran harian yang sedang kubaca.
“Kayaknya sebelum dzuhur juga udah di rumah, soalnya hari ini cuma mau lihat hasil lukisan anak-anak, terus nonton gladi bersih pertunjukan akustik buat acara di alun-alun besok.
Tya tiba-tiba berlutut di hadapanku.
“Kak, make up-ku terlalu menor gak?” Tanyanya.
Aku meletakkan koran yang sedang kubaca demi melihat wajahnya. “Nggak, udah cantik kok.” Ucapku sambil iseng menarik ujung jilbabnya.”
“Ah kakak sih, berantakan lagi kan!”
Aku terkekeh melihat ekspresi kesalnya. Dia kembali berjalan ke arah cermin besar yang berada di salah satu sudut ruang tengah untuk merapikan jilbabnya. Aku mengikutinya, kemudian berdiri di belakangnya.
Setelah selesai, Tya berbalik badan. Jarak kami hanya satu jengkal. Dia kemudian meraih punggung tanganku lalu menciumnya. Setelah itu dia menyerahkan keningnya untuk kukecup. Begitulah rutinitas pagi kami sebelum kami sama-sama tenggelam dalam kesibukan yang membuat kami tak punya banyak waktu untuk bersama. Namun entah mengapa pagi itu aku sangat ingin memeluknya. Kuraih kedua pundaknya, lalu menenggelamkan kepalanya ke dalam dadaku.
“Kak, mandi geh. Bau tau!” Ucapnya sambil tertawa saat masih di dalam dekapanku. Ah, Tya, merusak momen saja.
“Nanti lah sekalian abis kerja bakti.”
Kami tertawa bersama, setela itu Tya beranjak ke halaman rumah lalu menyalakan sepeda motor. Aku melepas kepergiannya hingga ia menghilang di balik tikungan jalan. Setelah itu aku kembali ke dapur untuk merapikan meja makan.
Sekitar lima belas menit setelah itu, saat aku sedang mencuci piring tiba-tiba sebuah mobil berhenti di halaman rumah. Setelah kulihat, ternyata itu mobil mamah. Aku sedikit terkejut karena mamah tak mengabariku kalau dia akan ke rumah sepagi ini.
“Memang mamah harus bilang dulu yah kalau mau main ke rumah anaknya!” Mamah hanya menjawab begitu saat aku bertanya mengapa ia tiba-tiba berkunjung.
Setelah masuk, Mamah menyelidiki setiap sudut ruangan. Entah apa yang dia cari.
“Mana Tya?”
“Sudah pergi ke sanggar, Mah!”
“Sepagi ini?”
“Iya. Kalau hari minggu Tya ke sanggar pagi-pagi.”
“Kamu udah sarapan?”
“Sudah.”
Mamah kemudian berjalan menuju meja makan dan membuka tudung saji yang di dalamnya hanya ada sesangku nasi yang isinya tinggal setengah dan dua potong telor dadar. Kemudian mamah melirik ke arah tempat cuci piring, di sana tersisa dua cangkir bekas kopi yang belum sempat kucuci.
“Kamu kurusan loh, Gas.” Mamah mulai menyelidikku.
“Masa sih Mah, perasaan dari dulu segini saja!” Aku menanggapinya dengan santai.
Mamah lalu menyentuh permukaan meja makan yang sedikit lengket karena belum dilap.
“Tya bisa beresin rumah gak?”
“Bisa!”
“Yang beresin rumah biasanya siapa, kamu apa Tya?”
“Ya bareng-bareng Mah. Bagas sama Tya kan sama-sama sibuk. Jadi kita gak bisa ngandelin salah satu dari kita buat bersih-bersih rumah. Kalau pagi sebelum berangkat kerja kita bareng-bareng bersih-bersih dulu.”
“Pagi ini juga?”
“Iyah. Tapi tadi Tya buru-buru pergi, jadi gak sempat beresin meja makan.”
“Pantesan kamu kurusan, wong tiap pagi fitnes mulu sambil bersih-bersih rumah. Sarapannya juga cuma sama telor dadar!”
Aku mulai menangkap nada tidak enak dari ucapan Mamah.
“Coba kalau istrimu punya waktu banyak di rumah, kamu gak usah repot-repot seperti ini, fokus kerja saja, cari nafkah.”
Aku sudah bisa menebak arah pembicaraan Mamah.
Sejak awal, mamah memang meragukan pilihanku untuk menikah dengan Tya. Namun beberapa kali aku meyakinkan bahwa Tya adalah pilihan yang tepat untukku. Aku merasa sudah sangat mengenalnya, mengetahui bagaimana kesehariannya, mengenal sikap dan wataknya, latar belakang keluarganya, hingga pandangan-pandangan hidupnya yang sejalan dengan visi misi hidupku.
Tya memang berbeda dengan perempuan lain. Dia adalah sosok perempuan modern, sederhana, mandiri dan aktif. Dia tak begitu cantik, namun menurutku dia menarik. Dia memiliki kelebihan dan bakat yang membuatku sangat mengaguminya. Prestasinya pun sangat baik. Meski aktif di luar kampus, dia tak pernah menomerduakan pendidikannya. Dia perempuan yang mandiri. Sejak awal, dia membiayai kuliahnya dengan mengandalkan honor menulisnya di surat kabar dan website. Dia juga sangat pandai bersosialisasi dengan lingkungan di sekitarnya. Berkat bakat dan kelebihannya tersebut, dia sering diundang untuk mengisi pelatihan-pelatihan dan seminar yang berkaitan dengan bidang yang digelutinya.
Menurut Mamah, karena aku sibuk bekerja, sebaiknya aku menikah dengan perempuan yang tidak memiliki aktivitas apapun di luar supaya bisa fokus mengurus rumah tangga. Namun menurutku, mengurus rumah tangga bukan hanya menjadi fokus istriku, namun juga menjadi tanggung jawabku. Karena itulah aku tak pernah enggan untuk membantu Tya membersihkan rumah mulai dari mencuci hingga memasak. Tya juga tak pernah enggan untuk memintaku mengerjakan pekerjaan rumah jika ia tak sempat mengerjakannya.
“Memang penghasilan kamu gak cukup yah, sampai-sampai Tya juga harus kerja. Setahu mamah sejak sebelum menikah juga kamu sudah mapan. Penghasilan kamu selalu cukup bahkan sampai bisa beli rumah sendiri.”
“Mah, Tya kerja bukan buat nyari uang, bukan karena kita kekurangan, bukan. Sejak dulu memang Tya suka kerja, suka beraktivitas di luar, suka menyalurkan hobinya di sanggar seni. Bukan buat nyari uang, tapi memang dia bermanfaat di sana.”
“Berarti dia cuma mikirin kesenangannya aja, sedangkan kewajibannya ngurusin rumah diabaikan. Sampai bekas sarapan pun harus kamu yang beresin!”
Suasana mulai terasa panas.
“Sekarang masih mending kamu belum punya anak. Lha nanti kalau kamu udah punya anak gimana? Mau kamu juga yang ngasuh sedangkan dia malah ngurusin anak orang di sanggar seninya itu?”
Dadaku sesak mendengar ucapan mamah. Sekuat mungkin aku menahan diri agar emosiku tidak terpancing oleh ucapan mamah.
“Ngobrolnya sambil duduk di depan yuk Mah. Nanti Bagas bikinin teh buat Mamah.”
Aku memapah Mamah sampai duduk di sofa ruang tamu. Untungnya ruang tamu sempat dibersihkan oleh Tya sebelum pergi ke sanggar. Kalau masih ada sedikit saja debu di atas meja, bisa-bisa mamah ngomel-ngomel lagi.
Aku menghidangkan secangkir teh dan beberapa stoples kue ke hadapan mamah.
“Cobain deh Mah, enak loh. Tya bikin sendiri.” Aku menyodorkan stoples berisi kue nastar, tapi Mamah seperti enggan untuk menyentuhnya.
“Mamah udah sarapan? Apa mau Bagas bikinin nasi goreng?”
“Gak usah, Mamah udah kenyang.” Mamah mengambil salah satu buku yang sengaja aku dan Tya simpan di rak bawah meja agar bisa dibaca oleh setiap tamu yang datang ke rumah.
“Aku tinggal ke belakang bentar yah Mah, belum mandi nih! Mamah santai aja dulu.”
Setelah selesai membereskan dapur dan mandi, aku kembali menemani Mamah mengobrol di ruang tamu. Saat aku datang, mamah terlihat sedang asyik membaca sebah novel yang ditulis oleh Tya, sedangkan stoples kue nastar di hadapannya tinggal separuh.
Aku dan Mamah melanjutkan perbincangan hingga tak terasa waktu sudah mulai beranjak siang. Mamah pun bersiap-siap untuk pulang.
“Sebentar lagi Tya juga pulang, Mah. Apa Mamah gak nunggu?”
“Nggak lah, Mamah kesini cuma mau nengok kamu saja kok.”
Aku mengantar Mamah sampai mamah masuk ke dalam mobil. Lalu tak beranjak hingga mobil itu menghilang di tikungan jalan. Beberapa saat sebelum itu, suara mesin motor tiba-tiba berhenti di belakangku, ternyata itu Tya.
“Itu mobil Mamah Kak?”
“Iyah. Kamu datang kapan? Kok tiba-tiba udah di sini aja?”
“Barusan. Kakak kok gak bilang kalau Mamah ke rumah. Aku kan bisa pulang dulu nemuin Mamah. Aku kangen Mamah loh, udah lama gak ketemu.” Tya mulai ngomel di depanku.
“Mamah juga dadakan kok ke sininya sayang, pulangnya juga buru-buru. Jadi gak sempat nunggu kamu pulang.” Ucapku menenangkannya sambil sedikit merapikan jilbabnya yang mulai berantakan. “Makan lagi yuk, aku lapar nih gara-gara beresin rumah dari pagi!” kurangkul pundaknya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. []