Mubadalah.id – Sikap laki-laki terhadap perempuan dapat menentukan kualitas iman dan takwa seseorang. Patriarkhi sebagai sebuah sistem nilai yang menempatkan laki-laki dalam posisi yang lebih tinggi daripada perempuan telah dianut oleh masyarakat di berbagai belahan dunia dari dulu hingga kini. Nilai kesetaraan laki-laki dan perempuan yang diperkenalkan oleh al-Qur’an, hingga kini masih sulit diterima oleh masyarakat modern yang telah mengenal konsep Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan, apalagi ketika al-Qur’an turun tak kurang dari 1400 tahun lalu.
Sesuatu yang menarik adalah al-Qur’an dalam Qs. at-Taubah/9:71 mengaitkan gagasan kesetaraan laki-laki dan perempuan dengan keimanan sebagai berikut:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Ayat di atas menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan yang beriman kedudukannya adalah setara sebagai penjaga/penolong/pelindung satu sama lain (auliya’). Mereka bekerjasama memerintahkan yang baik dan mencegah yang buruk, bahu-membahu mendirikan shalat dan menunaikan zakat, saling menguatkan untuk taat kepada Allah dan Rasul. Laki-laki dan perempuan yang menjalin relasi setara dan sinergis seperti ini akan dirahmati Allah yang Maha Perkasa lahi Bijaksana.
(baca: https://mubaadalahnews.com/2016/12/hubungan-suami-istri-bukan-hubungan-majikan-budak/ )
Dalam menyampaikan kedudukan setara antara laki-laki dan perempuan pada ayat di atas, Allah menggunakan istilah al-Mu’minun (laki-laki yang beriman) dan al-Mu’minat yang menunjukkan bahwa hanya orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah’lah yang bisa menerima gagasan ini. Dengan kata lain, jika seseorang yang tidak percaya bahwa perempuan dapat menjadi mitra setara bagi laki-laki dan bekerjasama secara sinergis dalam melaksanakan kewajiban sebagai hamba Allah dan kewajiban sebagai khalifah fil ardl untuk mewujudkan kemaslahatan, maka ia mempunyai masalah dalam keimanannya kepada Allah Swt.
Di samping berkaitan dengan keimanan, Allah juga mengaitkan sikap adil yang tentu saja meliputi adil dalam memperlakukan perempuan dan laki-laki, dengan keimanan dan ketaqwaan dalam Qs. al-Maidah/5:8 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Sejalan dengan gagasan di atas, Rasulullah Saw dalam khutbah haji wada’ juga mengaitkan ketaqwaan dengan akhlak mulia dengan bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Dari Abi Hurairah Ra beliau berkata bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Seorang Muslim adalah saudara muslim yang lain karena itu tidak boleh menzalimi, mencibir, dan merendahkannya. Ketaqwaan itu ada di sini, lanjut Rasulullah sambil menunjuk dadanya tiga kali. “Sudah cukup besar kejahatan seseorang, jika ia sudah menghina sesama muslim. setiap muslim adalah haram dinodai jiwanya, hartanya, dan kehormatannya (HR. Muslim).
Hadis di atas meliputi pengertian bahwa tindakan penghinaan penodaan atas jiwa, harta, dan kehormatan perempuan adalah pelanggaran atas konsep ketaatan kepada Allah Swt.”
Dalam khutbah yang sama, Rasulullah juga menegaskan keterkaitan antara sikap seorang suami kepada istrinya menentukan ketaqwaan mereka kepada Allah Swt, yang tentu saja berlaku sebaliknya.
اتقوا الله في النساء ، فإنكم أخذتموهن بأمانة الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله …
“Bertaqawalah kalian laki-laki kepada Allah dalam memperlakukan para istri. Sesungguhnya kalian telah meminang mereka dengan amanah Allah dan telah menghalalkan farji atau vagina mereka dengan kalimat Allah. (HR. Bukhari Muslim).”
Ayat-ayat dan hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa keimanan dan ketaqwaan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh baiknya hubungan dia dengan Allah Swt (hablun Minallah), tetapi juga baiknya hubungan dengan manusia (hablun minannas). Hubungan baik dengan Allah mensyaratkan hubungan baik dengan sesama manusia. Tidaklah sempurna keimanan dan ketaqwaan seseorang yang yang ibadahnya kepada Allah Swt baik, melaksanakan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, bahkan telah haji namun masih kerap melakukan perempuan secara tidak adil, merendahkan mereka, menodai jiwa, harta, dan jiwa kehormata perempuan, gemar melakukan kekerasan verbal, mental, seksual, sosial atau lainnya kepada kepada istri yang dipinangnya dengan amanah Allah dan dihalalkan farjinya dengan kalimat Allah.
Jadi, menerima gagasan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam melaksanakan kewajiban sebagai hamba dan khalifah fil ardl terhubungan langsung dengan keimanan seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Demikian pula kemampuan untuk bersikap adil juga terhubung langsung dengan keimanan dan ketakqwaan termasuk adil pada perempuan. Demikian pula, ketakwaan seorang suami kepada Allah Swt juga ditentukan oleh sikap baiknya kepada istri. Demikian pula ketaqwaan seorang isteri juga terkait langsung dengan sikap baiknya kepada suami karena keduanya sama-sama berkewajiban untuk membangun relasi yang layak (muasyarah bil ma’ruf) dalam perkawinan. Bagaimana dengan tingkat ketakwaan sebuah masyarakat dan negara. Sama, ditentukan pula oleh sikap laki-laki terhadap perempuan.