Mubadalah.id – Suara dentingan panci terdengar nyaring di Boulevard Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Jumat siang, 26 September 2025. Di bawah terik matahari, puluhan ibu rumah tangga dan aktivis perempuan berbaris sambil membawa panci, spatula, dan sendok logam. Mereka memukul benda-benda dapur itu sekeras mungkin, menimbulkan bunyi nyaring sebagai simbol dari kemarahan.
Aksi bertajuk “Kenduri Suara Ibu Indonesia” tersebut menjadi simbol protes terhadap program pemerintah Makan Bergizi Gratis (MBG) salah satu program unggulan nasional yang digadang untuk menekan angka stunting dan memperbaiki gizi anak-anak.
Namun bagi para ibu yang berkumpul di jalanan Yogyakarta sore itu, program yang semula dirancang untuk kebaikan kini berubah menjadi ancaman.
Dari Gizi Gratis ke Gizi Beracun
Pada awalnya program MBG diluncurkan Presiden Prabowo untuk memastikan setiap anak, ibu hamil, dan ibu menyusui mendapatkan asupan gizi yang cukup. Pemerintah bahkan menyiapkan anggaran jumbo Rp335 triliun untuk pelaksanaannya melalui RAPBN 2025.
Namun, serangkaian kasus keracunan massal yang mencuat sejak awal tahun justru mengguncang kepercayaan publik.
Salah satu insiden terparah terjadi di Kecamatan Cipongkor, Bandung Barat, di mana lebih dari 1.000 anak mengalami gejala keracunan setelah menyantap makanan dari program MBG.
Kasus serupa muncul di Ketapang, Kalimantan Barat, ketika 25 siswa dan guru harus dilarikan ke rumah sakit setelah makan menu MBG yang salah satunya berisi ikan hiu goreng.
Data dari Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat hingga 22 September 2025 telah terjadi 4.711 kasus keracunan terkait program MBG. Namun, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyebut jumlahnya bahkan lebih tinggi: mencapai 6.452 kasus di seluruh Indonesia.
Dengan banyaknya anak yang menjadi korban keracunan. Maka pertanyaan adalah apakah “Makan Bergizi Gratis” kini berubah menjadi “Makan Beracun Gratis”?
Suara Panci, Suara Perlawanan
Maka dari kemarahan masyarakat karena banyaknya anak-anak yang menjadi korban tak bisa mereka bendung lagi. Di Yogyakarta, para ibu turun ke jalan membawa “senjata dapur” sebagai simbol peringatan.
Aktivis perempuan Kalis Mardiasih yang turut hadir dalam aksi tersebut menjelaskan makna simbolik di balik suara panci.
“Panci sengaja dipilih karena dekat dengan perempuan. Suara nyaringnya menandakan kedaruratan, bahaya, dan krisis. Sejak dulu, dentingan logam seperti ini menjadi sinyal bencana,” ujarnya, dikutip dari Magdalene.com.
Suara panci, bagi para ibu, adalah bentuk komunikasi paling jujur. Bunyi yang selama ini identik dengan dapur, kini bergema di jalanan menjadi tanda adanya bahaya. Ada yang salah dengan kebijakan negara terhadap anak-anak mereka.
Gelombang protes tak hanya terjadi di Yogyakarta. Aksi serupa juga digelar di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Semua membawa pesan yang sama: negara harus bertanggung jawab.
Para ibu menuntut Badan Gizi Nasional (BGN) segera melakukan evaluasi menyeluruh, mengungkap penyebab pasti keracunan, dan memastikan kompensasi bagi para korban.
“Suara panci ini bukan sekadar simbol protes politik. Ini suara para ibu yang memperjuangkan hak anak-anak mereka untuk hidup sehat. Kami hanya ingin negara hadir melindungi, bukan mencelakai.”
Oleh karena itu, protes suara panci ini, pada akhirnya, menjadi lebih dari sekadar demonstrasi. Ia adalah alarm bagi negara yang terlalu sering tergesa-gesa mengeksekusi program tanpa kesiapan.
Apalagi, di tengah hiruk pikuk kebijakan besar, para ibu itu mengingatkan bahwa politik pangan bukan soal anggaran. Melainkan tentang nyawa anak-anak di meja makan mereka. []