Mubadalah.id – Salingers, kita semua tahu kambing, kerbau, domba, dan sapi adalah hewan ternak yang biasa dijadikan hewan kurban. Namun, di daerah Kudus khusunya sekitar kompleks Masjid Menara Kudus dan Makam Sunan Kudus sebagian masyarakatnya tidak menyembelih sapi pada perayaan Idul adha, lho.
Mengapa demikian?
Hal ini dikarenakan ajaran sang penyiar agama Islam di daerah tersebut yaitu Raden Ja’far Shodiq Azmatkhan atau Sunan Kudus. Ia adalah putra dari Sunan Ngudung yang merupakan putra Sultan dari Palestina dengan nama Sayyid Fadhal Ali Murtazha yang melakukan perjalanan ke Jawa. Nama Ja’far ternisbatkan dari kakeknya, Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Dari sini tampak jelas bahwa Sunan Kudus bukan asli penduduk Kudus. Namun beliau telah mengajarkan nilai toleransi di Idul adha. Orang Jawa menyebutnya “tepo seliro” yaitu menggambarkan kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain dengan tujuan tidak menyakiti atau melukai mereka.
Toleransi di Idul adha yang Sunan Kudus ajarkan salah satunya adalah dengan tidak menyembelih sapi. Hal ini berdasarkan adanya kultur Hindu di dalamnya yang memang mendominasi pada masa Islamisasi.
Ada penjelasan bahwa tradisi tersebut berawal dari kedatangan Sunan Kudus pada abad ke 16 M dan berdakwah di sekitar Demak. Di mana mayoritas penduduk di sana masih beragama Hindu. Mengetahui hal ini, Sunan Kudus kemudian menyesuaikan cara berdakwahnya.
Sunan Kudus Menghormati Tradisi
Sunan Kudus sangat menghormati kepercayaan penduduk setempat, salah satunya menghormati hewan sapi yang dianggap suci oleh masyarakat Hindu.
Maka dari itu, hal tersebut menjadi pertimbangan bagi Sunan Kudus dalam mengenalkan ajaran Islam di Kudus. Terutama yang berkaitan dengan perintah kurban.
Mengutip dari Misteri Syekh Siti Jenar: Peran Walisongo dalam Mengislamkan Tanah Jawa karangan Hasanu Simon, “Sunan Kudus sering menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang tertera dalam Surat Sapi Betina, yakni Surat Al-Baqarah. Dalam acara-acara pesta Sunan Kudus tidak pernah menyembelih sapi karena hal itu akan melukai hati pemeluk Hindu yang masih merupakan agama mayoritas penduduk Kudus. Sebagai gantinya beliau akan menyembelih kerbau.”
Membumikan Spirit Toleransi Sunan Kudus
Hal yang sama pula dijelaskan oleh Rais ‘Aam Idarah Aliyah Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al Mu’tabarah Annahdliyyah (Jatman), Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya sampaikan. Di mana beliau mengungkapkan bahwa langkah yang Sunan Kudus lakukan berdasarkan pada beberapa alasan.
Satu sisi ada agama yang ajarannya memposisikan sapi sebagai hewan yang ia hormati dan keramatkan dan sisi lain jika Sunan Kudus jadi memotong sapi, kerajaan yang dipimpin oleh Pangeran Poncowati akan tersinggung.
“Pangeran Poncowati datang menanyakan apakah larangan menyembelih sapi oleh Sunan Kudus, adalah ajaran Islam? Sunan Kudus mengatakan bahwa dalam Islam sapi bukanlah binatang yang diharamkan. Munculnya larangan itu sebagai penghormatan kepada pemeluk agama yang menganggap sapi sebagai binatang yang harus dihormati.”
Lebih lanjut lagi beliau mengatakan “Akhirnya Poncowati memeluk Islam dan menyerahkan wilayah kerajaan itu kepada Sunan Kudus.”
Beliau juga mengingatkan bahwa zaman sekarang kita masih perlu membumikan spirit toleransi ala Sunan Kudus, di tengah gencaran pemahaman agama yang intoleran
Dari kisah toleransi tersebut memperlihatkan bahwa sikap toleransi di Iduladha ini muncul karena kedalaman ilmu agama, dan keimanan Sunan Kudus. Semakin kita paham dengan Islam, maka semakin kuat pula iman. Lalu bertambah subur kasih sayang dan toleransi dalam jiwa seorang muslim. []