Mubadalah.id – Sejarah Islam kerap kita pahami hanya menampilkan laki-laki sebagai aktor utama. Para khalifah, panglima perang, dan ulama besar hampir selalu disebut sebagai sosok maskulin yang memegang kendali.
Namun, jika kita menelusuri jejak sejarah lebih dalam, ada sejumlah perempuan yang tampil dalam panggung politik, keilmuan, maupun spiritualitas Islam. Salah satunya adalah Syajarat al-Durr, seorang perempuan yang bukan hanya mendampingi suami sebagai sultan, tetapi juga pernah memimpin Mesir secara langsung di masa krisis dan membuka jalan lahirnya Dinasti Mamluk.
Syajarat al-Durr berasal dari kalangan budak Turki (mamlukah) yang kemudian menjadi istri Sultan al-Shalih Ayyub, penguasa terakhir Dinasti Ayyubiyah di Mesir pada abad ke-13. Kedudukannya istimewa karena al-Shalih sangat mempercayainya dalam urusan pemerintahan. Menurut sumber-sumber sejarah seperti al-Maqrizi, Syajarat al-Durr bahkan beberapa kali memegang kendali administratif ketika suaminya pergi berperang atau sedang sakit keras.
Ketika al-Shalih Ayyub wafat di al-Manshurah pada 15 Sya‘ban 647 H/22 November 1249 M, Mesir berada dalam situasi genting karena tengah diserang oleh Tentara Salib pimpinan Raja Louis IX dari Prancis. Dalam kondisi yang penuh tekanan itu, Syajarat al-Durr menunjukkan kecerdasan politik luar biasa. Ia menyembunyikan kematian suaminya sementara waktu untuk menjaga stabilitas negara. Ia menandatangani surat resmi atas nama suaminya dan tetap menjalankan roda pemerintahan agar pasukan tidak kehilangan arah.
Mengatur Strategi Perang
Bersama para panglima Mamluk, terutama Fakhruddin dan Baybars al-Bunduqdari, Syajarat al-Durr mengatur strategi perang dan memastikan perlawanan terhadap pasukan Salib berjalan efektif. Keputusan politik dan militer yang ia ambil terbukti membawa kemenangan besar. Pasukan Mesir berhasil menangkap Raja Louis IX dan memaksa mundur seluruh pasukan Salib.
Kemenangan itu bukan hanya menyelamatkan Mesir, tetapi juga memperlihatkan kemampuan perempuan memainkan peran strategis dalam sejarah Islam. Ketika banyak pemimpin laki-laki kehilangan arah, Syajarat al-Durr tampil sebagai sosok tegas, cerdas, dan berani. Sampai kemudian sejarawan menempatkannya sebagai salah satu pemimpin yang menyelamatkan dunia Islam dari ancaman kekuatan Eropa pada abad ke-13.
Sultanah Pertama Mesir
Setelah kemenangan itu, para elite politik Mesir sepakat mengangkat Syajarat al-Durr sebagai Sultanah Mesir pada tahun 1250 M. Ia memakai gelar kehormatan al-Malikah Ismat al-Din Umm Khalil Shajarat al-Durr. Uang koin tercetak atas namanya dan khutbah Jum’at terbacakan dengan menyebut gelarnya, menandakan pengakuan resmi atas kekuasaannya.
Namun, kekuasaannya tidak berjalan mulus. Khalifah Abbasiyah di Baghdad menolak mengakui kepemimpinannya dengan alasan bahwa Islam melarang perempuan menjadi kepala negara. Penolakan ini tidak memiliki dasar yang kuat karena lebih berakar pada tafsir patriarkis ketimbang teks syariat. Syajarat al-Durr telah membuktikan kapasitasnya dalam kepemimpinan politik dan militer.
Karena tekanan politik dan kebutuhan legitimasi formal, ia akhirnya menikah dengan panglima Mamluk, Izzuddin Aybak. Dari sinilah lahir Dinasti Mamluk, yang kelak memimpin Mesir lebih dari dua abad dan menjadi benteng utama dunia Islam menghadapi invasi Mongol serta kelanjutan Perang Salib. Dengan demikian, Syajarat al-Durr dapat kita sebut sebagai peletak dasar kekuasaan Mamluk, sebuah capaian besar yang jarang terakui dalam sejarah Islam klasik.
Tragisnya, kekuasaan yang ia bangun berakhir dengan konflik internal. Ketegangan politik antara Syajarat al-Durr dan Aybak meningkat karena perebutan kekuasaan di kalangan Mamluk. Dalam beberapa catatan sejarah, Syajarat al-Durr diduga terlibat dalam pembunuhan Aybak, yang berujung pada eksekusinya pada tahun 1257.
Meski kisah hidupnya berakhir tragis, warisannya tetap monumental. Ia kita kenang sebagai perempuan pertama yang memerintah Mesir secara sah dan independen, serta menjadi simbol kepemimpinan perempuan dalam sejarah Islam.
Bukti Kepemimpinan dalam Sejarah Islam
Kisah Syajarat al-Durr menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan ada dalam sejarah Islam. Di tengah konflik politik, ia mampu mengambil keputusan cepat dan strategis, menggerakkan pasukan, serta memulihkan stabilitas politik Mesir.
Dalam menjalankan kekuasaan, Syajarat al-Durr tidak bekerja sendirian. Ia bekerjasama dengan para panglima Mamluk laki-laki dalam merancang strategi perang dan mengatur pemerintahan. Kemenangan yang diraih Mesir bukan hasil dari kekuatan satu pihak, melainkan dari kerja sama yang saling menghargai dan mempercayai. Inilah yang menjadi ruh ajaran Islam bahwa laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang sama untuk menjaga kehidupan dan memperjuangkan kebaikan bersama.
Pemikiran dan kepemimpinan Syajarat al-Durr menunjukkan bahwa amanah publik tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan oleh kemampuan dan tanggung jawab moral. Dalam masyarakat yang masih sering mengabaikan potensi perempuan, kisahnya menjadi inspirasi bahwa Islam sejatinya mengakui kapasitas perempuan untuk berperan aktif dalam membangun peradaban.
Dengan meneladani semangat Syajarat al-Durr, kita belajar bahwa kepemimpinan dalam Islam sejatinya adalah bentuk tanggung jawab bersama. Jika prinsip ini kita jalankan, maka kepemimpinan tidak lagi menjadi persoalan apakah harus laki-laki atau perempuan, melainkan jalan menuju masyarakat yang adil, damai, dan berperadaban, sebagaimana cita-cita Islam. []