Mubadalah.id – Berbagai negara telah lama menyatakan komitmen untuk melindungi segala bentuk praktik berbahaya yang merugikan perempuan dan anak perempuan. Salah satu praktik tersebut adalah sunat perempuan atau female genital mutilation/cutting (FGM/C).
Komitmen internasional untuk mengakhiri FGM/C dimotori oleh berbagai lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dengan dasar kuat pada Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child).
Dalam pasal 24 ayat (3), disebutkan dengan tegas bahwa “Negara-negara peserta akan mengambil semua langkah yang efektif dan tepat untuk menghapuskan kebiasaan-kebiasaan tradisional yang merugikan kesehatan anak.”
Prinsip dasar ini sebagaimana pandangan Maria Ulfah Anshor dalam Kupipedia.id, menegaskan bahwa melindungi tubuh anak, termasuk anak perempuan, adalah kewajiban moral dan hukum negara.
Langkah-Langkah Global Menghapus FGM/C
Sebagai tindak lanjut dari komitmen tersebut, World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 mengesahkan resolusi WHA 61.16 yang berisi seruan global untuk menghapus mutilasi alat kelamin perempuan.
WHO menegaskan perlunya tindakan lintas sektor tidak hanya dari dunia kesehatan. Tetapi juga dari bidang pendidikan, keuangan, keadilan, dan urusan perempuan.
Hal ini menandakan bahwa FGM/C bukan sekadar isu medis, tetapi juga persoalan sosial dan hak asasi manusia.
Dua tahun kemudian, pada 2010, WHO bersama berbagai badan PBB dan organisasi profesi medis mengeluarkan Strategi Global untuk Menghentikan Medikalisasi FGM/C.
Strategi ini secara tegas menolak keterlibatan tenaga kesehatan dalam praktik sunat perempuan. Karena sering kali dibenarkan atas nama kebersihan atau keamanan medis.
WHO menegaskan bahwa tidak ada bentuk FGM/C yang aman. Karena tindakan ini pada dasarnya adalah pelanggaran terhadap integritas tubuh perempuan dan anak perempuan.
Komitmen ini terus mereka perkuat. Pada tahun 2012, Majelis Umum PBB mengesahkan Resolusi 67/146, yang menyerukan penghapusan total FGM/C sebagai praktik tradisional yang melanggar hak asasi manusia dan hak perempuan.
Di tahun yang sama, PBB juga menetapkan 6 Februari sebagai Hari Internasional Zero Tolerance terhadap FGM/C. Hal ini menjadi simbol perjuangan global melawan kekerasan terhadap tubuh perempuan.
Komitmen tersebut kemudian terintegrasi dalam berbagai dokumen global, termasuk Beijing+20 (UN Women, 2015) dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
Secara khusus, Target 5.3 SDGs menegaskan komitmen dunia untuk “menghapus semua praktik berbahaya terhadap perempuan dan anak-anak perempuan. Termasuk mutilasi alat kelamin perempuan dan perkawinan anak.”
Artinya, mengakhiri sunat perempuan bukan hanya persoalan kesehatan atau tradisi. Tetapi bagian penting dari perjuangan global menuju kesetaraan gender dan keadilan sosial. []









































