Sabtu, 8 November 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Disabilitas

    Di UNIK Cipasung, Zahra Amin: Jadikan Media Digital Ruang Advokasi bagi Penyandang Disabilitas

    Bagi Disabilitas

    Rektor Abdul Chobir: Kampus Harus Berani Melahirkan Gagasan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

    Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    4 Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah bagi

    Fiqh al-Murunah: Menakar Azimah dan Rukhsah dari Pengalaman Difabel

    Fiqh al-Murunah yang

    Fiqh Al-Murunah: Fiqh yang Lentur, Partisipatif, dan Memberdayakan

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah, Gagasan Baru yang Terinspirasi dari Dua Tokoh NU dan Muhammadiyah

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Menempatkan Penyandang Disabilitas sebagai Subjek Penuh (Fā‘il Kāmil)

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Terobosan KUPI untuk Menempatkan Difabel sebagai Subjek Penuh dalam Hukum Islam

    Fiqh al-Murunah yang

    Dr. Faqihuddin Abdul Kodir: Fiqh al-Murūnah, Paradigma Baru Keislaman Inklusif bagi Disabilitas

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    istihadhah yang

    Istihadhah: Saat Fiqh Perlu Lebih Empatik pada Perempuan

    Rumah Ibadah

    Rumah Ibadah Belum Memberikan Ruang Aman untuk Perempuan

    istihadhah

    Ketika Fiqh Tak Ramah Perempuan: Meninjau Ulang Hukum Istihadhah

    Nostra Aetate

    Nostra Aetate: Refleksi Hubungan Katolik dan Agama Lain

    Memudahkan

    Fiqh Haid yang Memudahkan, Bukan Menyulitkan Perempuan

    Pesantren Inklusif

    Pesantren Inklusif untuk Penyandang Disabilitas

    Haid yang

    Fiqh Haid yang Kehilangan Empati terhadap Perempuan

    Menikah

    Menikah: Saling Mengadaptasi Keterasingan

    Haid yang

    Fiqh Haid: Rumitnya Hukum yang Tak Terjangkau Perempuan

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Disabilitas

    Di UNIK Cipasung, Zahra Amin: Jadikan Media Digital Ruang Advokasi bagi Penyandang Disabilitas

    Bagi Disabilitas

    Rektor Abdul Chobir: Kampus Harus Berani Melahirkan Gagasan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

    Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    4 Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah bagi

    Fiqh al-Murunah: Menakar Azimah dan Rukhsah dari Pengalaman Difabel

    Fiqh al-Murunah yang

    Fiqh Al-Murunah: Fiqh yang Lentur, Partisipatif, dan Memberdayakan

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah, Gagasan Baru yang Terinspirasi dari Dua Tokoh NU dan Muhammadiyah

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Menempatkan Penyandang Disabilitas sebagai Subjek Penuh (Fā‘il Kāmil)

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Terobosan KUPI untuk Menempatkan Difabel sebagai Subjek Penuh dalam Hukum Islam

    Fiqh al-Murunah yang

    Dr. Faqihuddin Abdul Kodir: Fiqh al-Murūnah, Paradigma Baru Keislaman Inklusif bagi Disabilitas

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    istihadhah yang

    Istihadhah: Saat Fiqh Perlu Lebih Empatik pada Perempuan

    Rumah Ibadah

    Rumah Ibadah Belum Memberikan Ruang Aman untuk Perempuan

    istihadhah

    Ketika Fiqh Tak Ramah Perempuan: Meninjau Ulang Hukum Istihadhah

    Nostra Aetate

    Nostra Aetate: Refleksi Hubungan Katolik dan Agama Lain

    Memudahkan

    Fiqh Haid yang Memudahkan, Bukan Menyulitkan Perempuan

    Pesantren Inklusif

    Pesantren Inklusif untuk Penyandang Disabilitas

    Haid yang

    Fiqh Haid yang Kehilangan Empati terhadap Perempuan

    Menikah

    Menikah: Saling Mengadaptasi Keterasingan

    Haid yang

    Fiqh Haid: Rumitnya Hukum yang Tak Terjangkau Perempuan

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Teladan Toleransi Suami Istri Islami, Kisah Nabi Ayyub as. dan Siti Rahmah

Kisah ini akan terus abadi sepanjang masa, sebagai pelajaran kepada siapapun, bahwa dalam nama besar sang Nabi juga ada kerja keras jasmani dan rohani sang istri yang kerap tidak disuarakan

Aspiyah Kasdini RA Aspiyah Kasdini RA
13 November 2022
in Keluarga, Rekomendasi
0
Toleransi Suami Istri

Toleransi Suami Istri

360
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Semua pasangan suami istri yang telah menikah pasti memiliki sejarah masing-masing atas pasang-surut dinamika dalam rumah-tangga (seperti masalah perasaan, kesetiaan, ekonomi, sosial, dan lain-lain). Entah itu pada usia pernikahan yang masih relatif baru, maupun yang sudah berpuluh-puluh tahun, suka-duka yang dihadapi bersama tentu dirasakan berkali-kali.

Hal-hal yang terjadi dalam ikatan perkawinan adalah suatu keniscayaan, karena ikatan ini adalah ikatan kerja-sama yang dijalin oleh dua manusia yang tentunya memiliki cara hidup, cara pandang, dan cara mengambil keputusan yang berbeda. Perbedaan ini terbentuk berdasarkan banyak hal yang terjadi sebelum perkawinan terjadi, akan tetapi, perbedaan yang ada adalah alat agar tujuan bersama dapat diwujudkan.

Pada kenyataannya, menghadapi perbedaan ini tidaklah mudah. Dibutuhkan toleransi suami istri, dengan hati yang lapang, telinga yang tidak lelah mendengar, rasa rela yang luas, dan mengerti yang dalam, supaya relasi sepanjang hayat ini dapat langgeng dan penuh cinta.

Sebagaimana yang dikisahkan dalam Alquran, kisah sepasang suami-istri yang menjadi role model yang langsung dicontohkan oleh Allah Swt. melalui ayat-ayat sucinya, yakni kisah inspiratif dari Nabi Ayyub as. dan istri tangguhnya, Siti Rahmah. Perjuangan mereka bersama melalui cobaan-cobaan hidup diceritakan dalam Alquran surah: Al-Nisa’: 163, Al-An’am: 84, Al-Anbiyaa’: 83-84, dan Al-Shaad: 42-44.

Sebagaimana fungsinya, Alquran berisikan kisah-kisah inspiratif dari tokoh-tokoh besar adalah sebagai bukti kebesaran-Nya, bahwa Alquran itu berlaku sepanjang zaman, bagi siapapun yang mengimaninya dalam menemukan jalan kebenaran (HR. Turmudzi).

Belajar Toleransi Suami Istri dari Kisah Nabi Ayyub

Termasuk kisah pasangan dalam judul ini, mereka menjadi istimewa bukan saja karena ketabahan sang Nabi Ayyub dalam bersabar menghadapi ujian selama 18 tahun, melainkan juga karena peran tangguh sang istri yang mendampingi dan bersabar membersamainya dalam menghadapi ujian ini. Apa saja peran sang istri dalam mengarungi mahligai pernikahan yang membesarkan nama sang suami, dan diabadikan dalam Alquran? Berikut di antaranya:

Pertama, selalu menjadi support system dalam berbagai kondisi. Kalau kita sering mendengar “Ada uang Abang disayang, nggak ada uang Abang ditendang,” sejatinya pernyataan ini sangatlah tidak islami, karena Alquran sendiri mengajak pembacanya untuk selalu mendampingi pasangan kita dalam kondisi apapun, suka maupun duka.

Ketika Nabi Ayyub mendapat ujian berupa penyakit kulit yang ‘tak kunjung sembuh, harta dan anak-anaknya juga diambil Yang Kuasa, masyarakat menjauhinya, Siti Rahmah adalah satu-satunya orang yang tetap ada di sisinya, menemaninya, menyemangatinya dan juga melayaninya.

Kedua, perempuan menjadi tulang punggung keluarga adalah keniscayaan. Ketika Nabi Ayyub as. menderita penyakit kulit selama 18 tahun, sulit baginya untuk keluar mencari penghidupan sehari-hari, sehingga Siti Rahmah-lah yang berperan sebagai pencari nafkah saat itu.

Siti Rahmah bekerja sebagai pembantu, ia menjual jasa tenaganya pada orang-orang yang membutuhkan. Penghasilan dari pekerjaan ini ia gunakan untuk membeli makanan dan obat-obatan yang diperlukan oleh suami dan dirinya sehari-hari. Namun, saat mengetahui bahwa ia adalah istri Nabi Ayyub, orang-orang tidak berkenan kembali menggunakan jasanya.

Namun Siti Rahmah tidak kehabisan akal, ia menjual sebagian rambutnya sedikit demi sedikit hingga tidak tersisa. Hasil penjualan rambutnya ini kemudian ia gunakan untuk memenuhi hajat hidup dirinya dan suaminya. Tentunya saat mengetahui hal ini membuat Nabi Ayyub murka hingga berjanji akan memukul sang istri sebanyak 100 kali cambukan saat ia sembuh nanti.

Berdasarkan perjuangan Siti Rahmah ini kita tahu, bahwa dalam memenuhi kebutuhan bersama, istripun dapat memiliki peran di dalamnya. Tidak ada pembatasan secara spesifik bahwa perempuan hanya mengerjakan tugas domestik, dan mencari nafkah adalah pekerjaan suami, tidak demikian, melainkan siapa saja yang mampu maka bukanlah suatu aib untuk melakukannya.

Perempuan pencari nafkah bahkan diapresiasi oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw. (kisah Rithah, istri Abdullah bin Mas’ud, ketika menyampaikan bahwasanya ia adalah seorang istri pencari nafkah dan direspon oleh Rasulullah, “Kamu memperoleh pahala dari apa yang kamu nafkahkan kepada keluargamu.” (Thabaqat Ibn Sa’d)

Seperti halnya Siti Rahmah, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, apakah pasangan atau diri kita dapat terus mencari nafkah untuk keluarga? Oleh karena itu, baik perempuan maupun laki-laki berkewajiban untuk berdaya, karena jika dihadapi dengan kondisi yang demikian, kita tidak akan mengeluh dan bermurung durja, melainkan telah memiliki problem solving yang dibutuhkan oleh keluarga.

Jika Alquran saja telah mendobrak stigma patriarki, lantas kenapa sebagai kaum yang mengimaninya kita masih saja menolaknya?

Ketiga, perempuan harus berdaya dan memiliki keterampilan. Seperti yang kita tahu, Siti Rahmah tidak hanya bekerja untuk mencari nafkah, dia juga berperan sebagai tabib, psikolog, suster, asisten rumah tangga, dan juga seorang istri. Bukan lagi menyandang beban ganda, namun beban berkali-kali lipat dari yang dibayangkan.

Penyakit yang dialami Nabi Ayyub membuatnya tidak dapat melakukan apa-apa, sehingga segala sesuatu harus dilakukan oleh sang istri. Dengan keterampilan yang dimiliki, perempuan dapat memenuhi kebutuhan keluarganya dengan sangat baik, tentunya hal ini dilakukan juga oleh pasangan.

Adanya komunikasi dan ruang bagi masing-masing pasutri, menjadikan pasutri ini dapat saling mengisi, menguatkan dan bersama mewujudkan tujuan perkawinan yang didambakan. Sebagaimana yang sering disampaikan Buya Hussein, bahwasanya perempuan itu harus berdaya dalam berbagai aspek, karena menjadikan perempuan berdaya adalah salah satu cara mencapai nilai universal kesetaraan dan keadilan yang Islami.

Keempat, Siti Rahmah adalah bukti bahwa perempuan tidak layak mengalami KDRT. Seperti yang telah dituliskan di atas, Nabi Ayyub murka saat mengetahui sang istri menjual rambutnya untuk mendapatkan uang, dan ia berjanji akan merajamnya 100 kali saat ia sembuh. Akan tetapi, ketika ia sembuh dan akan melaksanakan nazarnya tersebut, Allah Swt. berkata kepadanya sebagaimana dalam QS. Al-Shaad, yakni dengan menggunakan 100 helai rumput yang diikat menjadi satu dengan pukulan yang lembut.

Sungguh, Allah Swt. adalah Maha Penyayang, tidak sedikitpun Dia rela makhluknya tersakiti, khususnya perempuan atas kemarahan sang suami (begitu pula sebaliknya). Lagi-lagi, jika Alquran saja berkata demikian, lantas mengapa KDRT kerap diperbolehkan oleh sebagian kalangan, terlebih dengan dalih agama, sungguh tidak berhati-nurani.

Almarhum Ayah saya sering mengatakan, marahnya orang yang sayang tetap nampak sayangnya, seperti Nabi Ayyub ini, ia tidak akan menyakiti lahir dan batin orang yang disayangnya, berbeda jika seseorang tidak memiliki rasa sayang, mudah baginya untuk menyakiti orang lain, baik melalui perkataan maupun perbuatan.

Untuk mengetahui isi hati pasangan sangatlah mudah, hanya melihat dari perilakunya saja kita dapat mengetahui bagaimana perasaannya pada diri ini, sebagaimana perkataan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. “Dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging, jika baik daging itu, maka baik pula seluruh tubuhnya, dan jika buruk daging itu, buruk pula seluruh tubuhnya, daging itu adalah qalbu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jelas sudah, bahwa Nabi Ayyub dan Siti Rahmah adalah contoh dalam mewujudkan toleransi berumah-tangga. Bagaimana mereka saling menghargai dan menghormati tidak sekedar klise, melainkan direalisasikan dalam biduk rumah-tangga yang dijalani, baik itu dari Nabi Ayyub as. kepada sang istri, maupun dari Siti Rahmah kepada sang suami.

Toleransi dalam kisah ini adalah toleransi tingkat tinggi, sehingga untuk belajar dan mempraktikkan toleransi tidaklah jauh, melainkan dalam keluarga itu sendiri. Nabi Ayub dan Siti Rahmah dapat pula dikatakan sebagai tokoh feminis, ini Alquran yang berbicara lho! Feminis dalam pernikahan bukan berarti tidak saling bergantung, akan tetapi ketergantungan itu hanya mereka tautkan pada Allah Swt.

Adapun di antara keduanya, yang mereka lakukan bukanlah saling bergantung, melainkan saling mengisi dan bekerja sama demi tujuan bersama, karena pernikahan itu dijalin antara dua orang, bukan hanya satu orang saja. Sehingga, dalam mewujudkan pernikahan yang demikian setiap pasutri haruslah ber-mubadalah, pernikahan yang didamba tidak dapat terwujud jika masing-masing ingin menonjol sendiri atau ingin menjatuhkan yang lain, melainkan BERSAMA.

Kisah ini akan terus abadi sepanjang masa, sebagai pelajaran kepada siapapun, bahwa dalam nama besar sang Nabi juga ada kerja keras jasmani dan rohani sang istri yang kerap tidak disuarakan, ini adalah kisah cinta dan perjuangan mereka berdua, bukan perjuangan sang Nabi seorang diri. []

Tags: islamkeluargaKisah Nabi Ayyubsejarahtoleransi
Aspiyah Kasdini RA

Aspiyah Kasdini RA

Alumni Women Writers Conference Mubadalah tahun 2019

Terkait Posts

Menikah
Personal

Menikah: Saling Mengadaptasi Keterasingan

6 November 2025
Digital Parent
Keluarga

Digital Parent: Anak Dalam Bayangan Kekerasan Online

6 November 2025
Disabilitas
Publik

Memperjuangkan Kontestasi Makna: Mengapa ‘Disabilitas’ Lebih Manusiawi dari ‘Cacat’

6 November 2025
Hak Anak
Keluarga

Hak Anak atas Tubuhnya: Belajar Menghargai Batasan Sejak Dini

5 November 2025
Perempuan Haid yang
Keluarga

Saatnya Umat Islam Mengakhiri Stigma terhadap Perempuan Haid

5 November 2025
Perempuan Haid bukan
Keluarga

Islam Memuliakan Perempuan Haid, Bukan Mengasingkannya

4 November 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Rumah Ibadah

    Rumah Ibadah Belum Memberikan Ruang Aman untuk Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Fiqh Tak Ramah Perempuan: Meninjau Ulang Hukum Istihadhah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pesantren Inklusif untuk Penyandang Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nostra Aetate: Refleksi Hubungan Katolik dan Agama Lain

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fiqh Haid yang Memudahkan, Bukan Menyulitkan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Perempuan dalam Luka Sejarah: Membaca Novel Dendam Karya Gunawan Budi Susanto
  • Istihadhah: Saat Fiqh Perlu Lebih Empatik pada Perempuan
  • Rumah Ibadah Belum Memberikan Ruang Aman untuk Perempuan
  • Ketika Fiqh Tak Ramah Perempuan: Meninjau Ulang Hukum Istihadhah
  • Nostra Aetate: Refleksi Hubungan Katolik dan Agama Lain

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID