Mubadalah.id – Semua pasangan suami istri yang telah menikah pasti memiliki sejarah masing-masing atas pasang-surut dinamika dalam rumah-tangga (seperti masalah perasaan, kesetiaan, ekonomi, sosial, dan lain-lain). Entah itu pada usia pernikahan yang masih relatif baru, maupun yang sudah berpuluh-puluh tahun, suka-duka yang dihadapi bersama tentu dirasakan berkali-kali.
Hal-hal yang terjadi dalam ikatan perkawinan adalah suatu keniscayaan, karena ikatan ini adalah ikatan kerja-sama yang dijalin oleh dua manusia yang tentunya memiliki cara hidup, cara pandang, dan cara mengambil keputusan yang berbeda. Perbedaan ini terbentuk berdasarkan banyak hal yang terjadi sebelum perkawinan terjadi, akan tetapi, perbedaan yang ada adalah alat agar tujuan bersama dapat diwujudkan.
Pada kenyataannya, menghadapi perbedaan ini tidaklah mudah. Dibutuhkan toleransi suami istri, dengan hati yang lapang, telinga yang tidak lelah mendengar, rasa rela yang luas, dan mengerti yang dalam, supaya relasi sepanjang hayat ini dapat langgeng dan penuh cinta.
Sebagaimana yang dikisahkan dalam Alquran, kisah sepasang suami-istri yang menjadi role model yang langsung dicontohkan oleh Allah Swt. melalui ayat-ayat sucinya, yakni kisah inspiratif dari Nabi Ayyub as. dan istri tangguhnya, Siti Rahmah. Perjuangan mereka bersama melalui cobaan-cobaan hidup diceritakan dalam Alquran surah: Al-Nisa’: 163, Al-An’am: 84, Al-Anbiyaa’: 83-84, dan Al-Shaad: 42-44.
Sebagaimana fungsinya, Alquran berisikan kisah-kisah inspiratif dari tokoh-tokoh besar adalah sebagai bukti kebesaran-Nya, bahwa Alquran itu berlaku sepanjang zaman, bagi siapapun yang mengimaninya dalam menemukan jalan kebenaran (HR. Turmudzi).
Belajar Toleransi Suami Istri dari Kisah Nabi Ayyub
Termasuk kisah pasangan dalam judul ini, mereka menjadi istimewa bukan saja karena ketabahan sang Nabi Ayyub dalam bersabar menghadapi ujian selama 18 tahun, melainkan juga karena peran tangguh sang istri yang mendampingi dan bersabar membersamainya dalam menghadapi ujian ini. Apa saja peran sang istri dalam mengarungi mahligai pernikahan yang membesarkan nama sang suami, dan diabadikan dalam Alquran? Berikut di antaranya:
Pertama, selalu menjadi support system dalam berbagai kondisi. Kalau kita sering mendengar “Ada uang Abang disayang, nggak ada uang Abang ditendang,” sejatinya pernyataan ini sangatlah tidak islami, karena Alquran sendiri mengajak pembacanya untuk selalu mendampingi pasangan kita dalam kondisi apapun, suka maupun duka.
Ketika Nabi Ayyub mendapat ujian berupa penyakit kulit yang ‘tak kunjung sembuh, harta dan anak-anaknya juga diambil Yang Kuasa, masyarakat menjauhinya, Siti Rahmah adalah satu-satunya orang yang tetap ada di sisinya, menemaninya, menyemangatinya dan juga melayaninya.
Kedua, perempuan menjadi tulang punggung keluarga adalah keniscayaan. Ketika Nabi Ayyub as. menderita penyakit kulit selama 18 tahun, sulit baginya untuk keluar mencari penghidupan sehari-hari, sehingga Siti Rahmah-lah yang berperan sebagai pencari nafkah saat itu.
Siti Rahmah bekerja sebagai pembantu, ia menjual jasa tenaganya pada orang-orang yang membutuhkan. Penghasilan dari pekerjaan ini ia gunakan untuk membeli makanan dan obat-obatan yang diperlukan oleh suami dan dirinya sehari-hari. Namun, saat mengetahui bahwa ia adalah istri Nabi Ayyub, orang-orang tidak berkenan kembali menggunakan jasanya.
Namun Siti Rahmah tidak kehabisan akal, ia menjual sebagian rambutnya sedikit demi sedikit hingga tidak tersisa. Hasil penjualan rambutnya ini kemudian ia gunakan untuk memenuhi hajat hidup dirinya dan suaminya. Tentunya saat mengetahui hal ini membuat Nabi Ayyub murka hingga berjanji akan memukul sang istri sebanyak 100 kali cambukan saat ia sembuh nanti.
Berdasarkan perjuangan Siti Rahmah ini kita tahu, bahwa dalam memenuhi kebutuhan bersama, istripun dapat memiliki peran di dalamnya. Tidak ada pembatasan secara spesifik bahwa perempuan hanya mengerjakan tugas domestik, dan mencari nafkah adalah pekerjaan suami, tidak demikian, melainkan siapa saja yang mampu maka bukanlah suatu aib untuk melakukannya.
Perempuan pencari nafkah bahkan diapresiasi oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw. (kisah Rithah, istri Abdullah bin Mas’ud, ketika menyampaikan bahwasanya ia adalah seorang istri pencari nafkah dan direspon oleh Rasulullah, “Kamu memperoleh pahala dari apa yang kamu nafkahkan kepada keluargamu.” (Thabaqat Ibn Sa’d)
Seperti halnya Siti Rahmah, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, apakah pasangan atau diri kita dapat terus mencari nafkah untuk keluarga? Oleh karena itu, baik perempuan maupun laki-laki berkewajiban untuk berdaya, karena jika dihadapi dengan kondisi yang demikian, kita tidak akan mengeluh dan bermurung durja, melainkan telah memiliki problem solving yang dibutuhkan oleh keluarga.
Jika Alquran saja telah mendobrak stigma patriarki, lantas kenapa sebagai kaum yang mengimaninya kita masih saja menolaknya?
Ketiga, perempuan harus berdaya dan memiliki keterampilan. Seperti yang kita tahu, Siti Rahmah tidak hanya bekerja untuk mencari nafkah, dia juga berperan sebagai tabib, psikolog, suster, asisten rumah tangga, dan juga seorang istri. Bukan lagi menyandang beban ganda, namun beban berkali-kali lipat dari yang dibayangkan.
Penyakit yang dialami Nabi Ayyub membuatnya tidak dapat melakukan apa-apa, sehingga segala sesuatu harus dilakukan oleh sang istri. Dengan keterampilan yang dimiliki, perempuan dapat memenuhi kebutuhan keluarganya dengan sangat baik, tentunya hal ini dilakukan juga oleh pasangan.
Adanya komunikasi dan ruang bagi masing-masing pasutri, menjadikan pasutri ini dapat saling mengisi, menguatkan dan bersama mewujudkan tujuan perkawinan yang didambakan. Sebagaimana yang sering disampaikan Buya Hussein, bahwasanya perempuan itu harus berdaya dalam berbagai aspek, karena menjadikan perempuan berdaya adalah salah satu cara mencapai nilai universal kesetaraan dan keadilan yang Islami.
Keempat, Siti Rahmah adalah bukti bahwa perempuan tidak layak mengalami KDRT. Seperti yang telah dituliskan di atas, Nabi Ayyub murka saat mengetahui sang istri menjual rambutnya untuk mendapatkan uang, dan ia berjanji akan merajamnya 100 kali saat ia sembuh. Akan tetapi, ketika ia sembuh dan akan melaksanakan nazarnya tersebut, Allah Swt. berkata kepadanya sebagaimana dalam QS. Al-Shaad, yakni dengan menggunakan 100 helai rumput yang diikat menjadi satu dengan pukulan yang lembut.
Sungguh, Allah Swt. adalah Maha Penyayang, tidak sedikitpun Dia rela makhluknya tersakiti, khususnya perempuan atas kemarahan sang suami (begitu pula sebaliknya). Lagi-lagi, jika Alquran saja berkata demikian, lantas mengapa KDRT kerap diperbolehkan oleh sebagian kalangan, terlebih dengan dalih agama, sungguh tidak berhati-nurani.
Almarhum Ayah saya sering mengatakan, marahnya orang yang sayang tetap nampak sayangnya, seperti Nabi Ayyub ini, ia tidak akan menyakiti lahir dan batin orang yang disayangnya, berbeda jika seseorang tidak memiliki rasa sayang, mudah baginya untuk menyakiti orang lain, baik melalui perkataan maupun perbuatan.
Untuk mengetahui isi hati pasangan sangatlah mudah, hanya melihat dari perilakunya saja kita dapat mengetahui bagaimana perasaannya pada diri ini, sebagaimana perkataan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. “Dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging, jika baik daging itu, maka baik pula seluruh tubuhnya, dan jika buruk daging itu, buruk pula seluruh tubuhnya, daging itu adalah qalbu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jelas sudah, bahwa Nabi Ayyub dan Siti Rahmah adalah contoh dalam mewujudkan toleransi berumah-tangga. Bagaimana mereka saling menghargai dan menghormati tidak sekedar klise, melainkan direalisasikan dalam biduk rumah-tangga yang dijalani, baik itu dari Nabi Ayyub as. kepada sang istri, maupun dari Siti Rahmah kepada sang suami.
Toleransi dalam kisah ini adalah toleransi tingkat tinggi, sehingga untuk belajar dan mempraktikkan toleransi tidaklah jauh, melainkan dalam keluarga itu sendiri. Nabi Ayub dan Siti Rahmah dapat pula dikatakan sebagai tokoh feminis, ini Alquran yang berbicara lho! Feminis dalam pernikahan bukan berarti tidak saling bergantung, akan tetapi ketergantungan itu hanya mereka tautkan pada Allah Swt.
Adapun di antara keduanya, yang mereka lakukan bukanlah saling bergantung, melainkan saling mengisi dan bekerja sama demi tujuan bersama, karena pernikahan itu dijalin antara dua orang, bukan hanya satu orang saja. Sehingga, dalam mewujudkan pernikahan yang demikian setiap pasutri haruslah ber-mubadalah, pernikahan yang didamba tidak dapat terwujud jika masing-masing ingin menonjol sendiri atau ingin menjatuhkan yang lain, melainkan BERSAMA.
Kisah ini akan terus abadi sepanjang masa, sebagai pelajaran kepada siapapun, bahwa dalam nama besar sang Nabi juga ada kerja keras jasmani dan rohani sang istri yang kerap tidak disuarakan, ini adalah kisah cinta dan perjuangan mereka berdua, bukan perjuangan sang Nabi seorang diri. []