• Login
  • Register
Senin, 2 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Teologi Cinta Ibnu Sina: Semua Bermula dari Cinta

Cinta menurut Ibnu Sina adalah apa yang menjadi sebab keberadaan sesuatu di alam semesta ini.

Rasyida Rifa'ati Husna Rasyida Rifa'ati Husna
20/02/2025
in Hikmah
0
Teologi Cinta

Teologi Cinta

2.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Ibnu Sina yang dikenal sebagai Avicenna di dunia Barat adalah seorang filsuf dan ilmuwan terkemuka di masa keemasan Islam. Dalam karya-karyanya, ia tidak hanya membahas aspek-aspek ilmiah dan filosofis yang hanya berdasarkan prinsip rasional- empirik. Tetapi ia juga memberikan perhatian mendalam terhadap pemikirin sufistik dengan menggunakan pendekatan tasawuf falsafi.

Pemikiran sufistik Ibnu Sina ini kita bisa melihatnya dalam bukunya yang berjudul Risalah fi Mahiyyah al-’Ishq. Dalam kitab ini secara spesifik membahas tentang teologi cinta yang merupakan salah satu maqamat dan juga menjadi topik inti dalam khazanah ilmu tasawuf Islam pada umumnya.

Menurut Ibnu Sina, cinta merupakan salah satu kekuatan paling mendasar yang menggerakkan manusia menuju kebaikan dan kesempurnaan. Ia mendefinisikan cinta sebagai sebuah dorongan jiwa yang mendorong individu untuk bersatu dengan objek cinta mereka. Baik itu dalam konteks hubungan antar manusia maupun dalam pencarian spiritual kepada Tuhan.

Cinta: Hadiah dari Tuhan

Ibnu Sina menerangkan bahwa tidak ada satupun makhluk yang ada di semesta ini yang tidak terliputi oleh cinta, bahkan benda tak bernyawa sekalipun. Hal tersebut sebab pada dasarnya cinta berasal dari hadiah Tuhan (al-Khair wa al-Kamal al-Mutlaq). Ibnu Sina menjelaskan bahwa semesta ini tercipta karena cinta.

Dalam pengertian ini, posisi Tuhan adalah sebagai Subjek Cinta (al-‘Ashiq). Tuhan bukan lagi hanya sebatas memikirkan diri-Nya sendiri, melainkan ia Mencintai diri-Nya. Kemudian menjadikan entitas makhluk secara gradual yang meliputi tiga alam. Yaitu alam akal (‘alam al-jabarut), alam jiwa (‘alam al-malakut) dan alam fisik (‘alam al-jismiyah).

Baca Juga:

Menilik Peran KUPI Muda dalam Momen Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Islam adalah Agama Kasih: Refleksi dari Buku Toleransi dalam Islam

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence Pada Ayat-ayat Shirah Nabawiyah (Part 2)

Meneladani Noble Silence dalam Kisah Bunda Maria dan Sayyida Maryam menurut Al-Kitab dan Al-Qur’an

Cinta menurut Ibnu Sina adalah apa yang menjadi sebab keberadaan sesuatu di alam semesta ini. Maknanya Tuhan adalah Sang Pecinta (al-‘Ashiq) yang atas manifestasi-Nya segala sesuatu itu mewujud menjadi ada di semesta raya.

Manifestasi Cinta Tuhan

Keberadaan alam semesta ini merupakan akibat dari wujud cinta Tuhan. Semisal teori emanasi (al-faid) yang Ibnu Sina gagas, bahwa semesta raya ini merupakan hasil kreasi dari ‘Tuhan yang Berfikir’. Maka dalam konteks ini, semesta raya merupakan hasil dari manifestasi atau luapan cinta yang paling murni yang berasal Tuhan.

Pendapat ini juga kemudian terungkap oleh Jalaluddin Rumi, bahwa alam semesta ini adalah bentuk dari tajallinya Sang Maha Cinta. Meski cinta dalam pengertian hasrat dan kebutuhan tak layak kita nisbatkan kepada Tuhan. Namun pada prinsipnya, cinta Tuhan mengejewantahkan pembendaharaan yang tersembunyi menjadi sesuatu yang nampak dan nyata.

Cinta Tuhan akan mengalir ke seluruh urat nadi alam semesta. Semua perbuatan dan gerakan berasal dari Cinta. Karenanya, segenap bentuk dan entitas semesta raya ini tiada lain adalah pantulan dan luapan dari keunikan realitas-Nya.

Menurut Ibnu Sina, Tuhan sebagai al–Khair al-Awwal secara esensial menampakkan diri secara nyata kepada semua makhluk-Nya, tanpa terkecuali. Namun, jika di antara makhluknya ada yang tak dapat menyaksikan manifestasi Tuhan karena terhalang oleh suatu hal. Maka hal tersebut karena sesuatu itu memiliki kekurangan atau kelemahan sehingga ia tak dapat menyempurnakan dirinya.

Ketidaksempurnaan diri menjadi penyebab atas terhambat atau terhalangnya penglihatan untuk dapat menyaksikan kehadiran Tuhan. Maka darinya, Ibn Sina menyebut bahwa hanya jiwa-jiwa yang bersih, suci dan sempurna lah yang dapat menangkap kehadiran Tuhan secara nyata.

Cinta Itu Menggerakkan

Setiap makhluk yang ada di alam semesta memiliki keinginan untuk selalu bergerak ke arah yang lebih baik dan sempurna. Hasrat kerinduan tersebut hadir secara alamiah dalam diri setiap makhluk. Keinginan tersebut terekspresikan dalam bentuk cinta untuk menuju kesempurnaan.

Ibnu Sina menamai keinginan ini dengan istilah ‘ishq atau cinta. Itulah yang seperti apa yang Ibn Sina katakan bahwa dengan cinta makhluk atau dalam hal ini manusia bergerak aktif untuk dapat menyempurnakan dirinya.

Dengan cinta, manusia dapat mengubah sisi tergelap dalam dirinya menjadi insan mulia.Allah sebagai al-Khair wa al-Kamal al-Mutlaq (Maha Baik dan Maha Sempurna yang sejati). Selain sebagai subjek cinta— juga menjadi objek cinta (Ma’shuq).

Kata Ibn Sina: “Bahwasanya Allah adalah yang dicinta dan sang pecinta. Dan bahwa merupakan suatu bentuk kenikmatan ketika manusia dapat menangkap (idrak) suatu kebaikan yang cocok atau sesuai dengannya.”

Karena Allah adalah Kebaikan Tertinggi (al-Khair al-A’la), maka setiap makhluk akan bergerak mengarah kepada-Nya. Namun demikian, kata Ibnu Sina, tidak semua makhluk dapat menyatu dengan-Nya, hanya Ia yang memiliki bentuk cinta sejati, dapat membersihkan dan menyempurnakan jiwanya melalui kesempurnaan ilmu dan amal—yang dapat terhubung dengan-Nya.

Cinta yang Hakiki dan Karakter Pecinta Sejati

Dalam Isyarat wa at-Tanbihat, Ibnu Sina menyatakan cinta hakiki adalah hadirnya kenikmatan atau kebahagiaan yang terasa oleh seseorang yang karena hadirnya merupakan bentuk dari esensi dzat di dalam dirinya (al-ibtihaj bi tasawwuri hadirati dzat maa)— bukan karena sesuatu yang lain.

Kebahagiaan tersebut akan menjadi sempurna saat kerinduan bergerak ke arah objek yang kita cintai. Kemudian Ia sampai dan terhubung dengannya. Bahwa siapa yang mampu menggapai kebahagiaan tertinggi itu adalah Ia yang telah berhasil melalui proses penyucian jiwa, baik secara teoretis maupun praktis— serta mendapatkan pancaran cahaya Ilahi.

Ibnu Sina menyebutnya dengan sang ‘arif, sebagaimana penjelasannya ketika seseorang sudah berada di maqam tertinggi melalui keterhubungan cinta yang ia miliki terhadap Allah, tidak lantas menjadikan dia tercerabut dari akar kehidupannya di dunia ini. Namun yang nampak pada dirinya sifat-sifat ilahiyah.

Kualitas akhlaknya adalah manifestasi dari akhlaknya Tuhan (takhluqan bi akhlaq Allah). Ia berinteraksi kepada manusia lainnya dengan sikap penuh kelembutan dan menunjukkan kebaikan. Dengan demikian seorang tersebut meniru kualitas moral Tuhan.

Merenungkan Peran Cinta

Ibnu Sina mengatakan beberapa sifat atau karakter yang melekat pada pecinta sejati (sang ‘arif), seperti Ia  murah senyum kepada sesama. Dengan ketawadhuannya ia menghormati sesama, baik kepada orang kecil maupun orang besar di atasnya. Ia adalah sosok yang egaliter; tidak teralihkan perhatiannya oleh kemarahan ketika menyaksikan kemungkaran. Sebagaimana Ia tidak tertelanjangi oleh rasa kasih sayang, karena Ia diperlihatkan rahasia Allah di dalam al-Qadar.

Jika mengajak amar makruf, maka Ia menyampaikan secara halus dengan penuh nasihat tidak secara keras dan mempersalahkan. Ia berani, bagaimana tidak, Ia sudah terlepas dari rasa takut atas kematian. Lalu, Ia pemaaf, karena jiwanya jauh lebih besar dari manusia lain—yang menyakiti dan melukainya. Ia akan cenderung mengabaikan para pendengki, betapa tidak. Sementara ingatannya disibukkan dengan Yang Maha Benar. Ia murah hati, karena telah terlepas dari cinta yang palsu.

Demikian, melalui pandangannya yang mendalam tentang cinta, Ibnu Sina mengajak kita untuk merenungkan peran cinta dalam kehidupan kita sehari-hari. Selain itu bagaimana cinta dapat menjadi landasan untuk mencapai kebahagiaan dan kedamaian sejati. Wallah a’lam. []

Tags: Ibnu SinaislamperadabansejarahtasawufTeologi Cinta
Rasyida Rifa'ati Husna

Rasyida Rifa'ati Husna

Terkait Posts

Perempuan Memakai Jilbab

Mengapa dan Untuk Apa Perempuan Memakai Jilbab?

2 Juni 2025
Jilbab Menurut Ahli Tafsir

Jilbab Menurut Ahli Tafsir

2 Juni 2025
Surah Al-Ankabut Ayat 60

Refleksi Surah Al-Ankabut Ayat 60: Menepis Kekhawatiran Rezeki

28 Mei 2025
Etika Sosial Perempuan 'Iddah

Etika Sosial Perempuan dalam Masa ‘Iddah

28 Mei 2025
Kehidupan

Fondasi Kehidupan Rumah Tangga

27 Mei 2025
Sharing Properti

Sharing Properti: Gagasan yang Berikan Pemihakan Kepada Perempuan

27 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Teknologi Asistif

    Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kurban Sapi atau Kambing? Tahun Ini Masih Kurban Perasaan! Refleksi atas Perjalanan Spiritual Hari Raya Iduladha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Makna Hijab Menurut Pandangan Ahli Fiqh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jilbab Menurut Ahli Tafsir

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis
  • Mengapa dan Untuk Apa Perempuan Memakai Jilbab?
  • Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar
  • Jilbab Menurut Ahli Tafsir
  • Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID