Mubadalah.Id– Berikut penjelasan teologi pembebasan perempuan. Jauh sebelum Islam datang, umat manusia sudah mempunyai beberapa peradaban besar. Seperti peradaban Yunani Kuno, Romawi, Yahudi, Arab pra Islam dan peradaban lainya.
Peradaban Yunani kuno yang terkenal dengan pencipta para filosof, namun masih abai terhadap hak dan kewajiban perempuan, hanya dikalangan elit saja para perempuan ditempatkan dalam istana. Berbeda dengan nasib perempuan kelas bawah, perempuan menjadi komoditi yang dapat dijualbelikan dan tidak memiliki hak waris.
Peradaban Romawi pun demikian, setelah menikah, kekuasaan seorang perempuan sepenuhnya di tangan suami. Termasuk ketika istri melakukan kesalahan, maka suami bebas memberikan hukuman apa saja. Keberadaan sosok perempuan pada zaman itu dianggap tidak ada, hal ini muncul karena perempuan dianggap lebih rendah dari pada laki-laki.
Di kalangan masyarakat Kristen dahulu, perempuan kerap kali mengalami penindasan. Mereka beranggapan bahwa perempuan adalah derita manusia, perempuan harus menjalani hukuman selama hidupnya, sesuai dengan kutukan yang dibawanya ke dunia.
Dalam peradaban India, perempuan dianggap sebagai sumber dosa dan sumber dari kerusakan akhlak dan agama, dari sinilah hak waris hanya diturunkan kepada kaum laki-laki saja tidak pada perempuan. Bahkan seorang istri terbiasa memanggil suaminya dengan sebutan yang mulia atau tuan.
Begitu juga dengan masyarakat Yahudi, mereka memandang perempuan sebagai mahluk yang lebih rendah dari laki-laki, bahkan lebih rendah dibawah seorang pembantu laki-laki. Selain tidak mendapatkan hak waris, perempuan tidak mempunyai hak untuk membela dirinya, dari berbagai tindak kekerasan, sekalipun itu berasal dari suaminya.
Di kalangan masyarakat Persia, sebelum datangnya Islam. Perempuan dilarang menikah dengan laki-laki yang tidak memiliki berbagai macam baju besi. Bahkan dalam kondisi haid, perempuan dilarang berada di tempatnya dan harus hijrah ke tempat yang jauh, dan tidak boleh dijenguk kecuali yang memberi makanan saja.
Begitupun para perempuan di masa Arab pra Islam atau sering disebut Arab Jahiliyah, juga dipandang rendah. Bahkan mereka beranggapan mempunyai anak perempuan adalah aib besar pada waktu itu. Sehingga apabila melahirkan seorang anak perempuan wajib dikubur hidup-hidup.
Sejatinya tradisi Arab pra Islam, mempunyai dua cara dalam menerima kehadiran seorang perempuan. Mayoritas mereka mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka, dan yang lainnya tetap membesarkannya.
Sebelum datangnya Islam, kedudukan perempuan di beberapa peradaban hampir sama, yakni tidak terlalu banyak mempunyai gerak yang bebas di ruang publik. Jangankan di ruang publik, di dalam rumah pun, gerak perempuan dipaksa harus mengikuti kemauan sang suami. Istilah Jawa “tidak lepas dari dapur kasur dan sumur”.
Islam datang di jazirah Arab pada abad ketujuh, salah satu misi besarnya sebagai agama pembebasan, terutama pembebasan terhadap kaum perempuan. Bisa dibayangkan, bagaimana masyarakat Arab yang misoginis dan dikenal sering membunuh anak perempuan, tiba-tiba diperintah untuk melakukan pesta syukuran (‘aqiqah) atas kelahiran anak perempuan, meskipun baru sebatas seekor kambing untuk anak perempuan dan dua ekor kambing bagi anak laki-laki.
Bagaimana suatu masyarakat yang tidak mengenal konsep ahli waris dan saksi perempuan tiba-tiba diberi hak waris dan hak persaksian, meskipun baru sebatas satu berbanding dua untuk laki-laki.
Bagaimana perempuan yang tadinya dimitoskan sebagai “pelengkap” keinginan laki-laki, tiba-tiba diakui setara di depan Allah dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai penghuni syurga (Q.S.al-Baqarah, 2:35).
Islam adalah agama ketuhanan sekaligus agama kemanusiaan dan kemasyarakatan (Q.S.Ali‘Imran,3:112). Islam memerintahkan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan, baik sesama umat manusia maupun dengan lingkunganya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan gender dalam masyarakat. Hanya dengan demikian manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah.
Islam memberikan jaminan terhadap hak perempuan, memberikan kesempatan dan kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam mencapai kemuliaan di sisi Allah SWT, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Ahzab ayat 35, Ali Imran ayat 195, dan an-Nahl ayat 79.
Ayat-ayat tersebut dengan jelas menerangkan kepada kita semua, bahwa laki-laki dan perempuan yang bertakwa memperoleh ampunan dan pahala dari Allah SWT. Tidak membedakan hamba-Nya berdasarkan jenis kelamin, untuk memperoleh kedudukan mulia di sisi Sang Pencipta.
Dengan mengkaji secara mendetil tentang nilai-nilai yang dibawa oleh agama Islam, maka akan memberi kesadaran bahwa Islam juga memberikan toleransi atas hak-hak untuk berpolitik bagi kaum perempuan.
Demikian penjelasan terkait teologi pembebasan perempuan. Semoga bermanfaat. [Baca juga: Gender Tidak Bisa Dilepaskan dari Kajian Teologis]