Mubadalah.id – Dalam ajaran Islam, suami dan istri perlu menyadari bahwa rumah tangga bukanlah tempat kerja yang ikatanya formal, atmosfirnya mengejar target dengan job-desciption yang ketat.
Rumah tangga adalah ikatan pasutri yang terhubung oleh kesepakatan hati nurani untuk merasa dan meraba apa yang dipikirkan dan diinginkan pasangan sebagai manusia yang ingin disayangi, diperhatikan, dihormati dan dihargai.
Kekurangsiapan adaptasi di tempat kerja dan di rumah tangga seringkali menjadi faktor pemicu ketegangan, bahkan kekerasaan dalam rumah tangga lantaran istri atau suami yang berkedudukan tinggi di tempat kerja memperlakukan pasangannya di rumah sebagai bawahan.
Di sisi lain, sikap posesif suami yang merasa sebagai kepala rumah tangga dan tidak mau tahu beban yang dipikul istrinya di luar, menjadikan istri tak tahan.
Jika lebih mengedepankan egoisme, dominasi, dan keinginan menguasai daripada empati, kasih sayang dan rasa hormat. Maka sudah pasti keluarga jauh dari sakinah, mawaddah dan rahmah.
Ketahanan Keluarga
Jika pasutri selalu kembali pada niat awal perkawinan, berbagai ujian perkawinan berupa kesuksesan karir, dan pangkat. Serta keberlimpahan ekonomi bukan menjadi bencana bagi keutuhan keluarga.
Demikian pula situasi di luar rumah, teman kerja dan relasi yang lebih daripada pasangan yang di rumah, insya Allah tidak akan menjadikan seseorang tergelincir dalam godaan perselingkuhan.
Ketahanan keluarga adalah benteng rumah tangga dari ancaman perceraian. Pembakuan peran pasutri, suami di luar, istri di rumah, bukanlah solusi menekan perceraian.
Perceraian bisa pasutri hindari jika hati mereka penuh dengan cinta kasih, kesetiaan, empati dan penghormatan pada pasangannya. Bahkan perceraian bisa dihindari jika pola pikir dan pola perilaku pasutri terus bisa beradaptasi dengan berbagai keadaan yang terus berubah. Termasuk susah dan senang maupun sukses dan gagal.
Perkawinan akan langgeng jika kedua pasutri memiliki niat, pola pikir dan kesungguhan bertindak yang sama untuk mempertahankan keluarga. Serta menjadikan pernikahan sebagai janji suci yang kokoh (mitsaqan ghalizhan). []