Mubadalah.id – Betapa pentingngya ihwal pernikahan, sehingga Islam mengaturnya secara luas sekaligus rinci. Kiai Hasyim Asy’ari ketika mengarang kitab Dha’ul Misbah Fi Bayani Ahkami an-Nikah termotivasi dari banyaknya praktik pernikahan yang tidak sesuai dengan aturan syari’at. Karenanya, Kiai Hasyim menyusun kitab agar masyarakat dapat memahami dan melaksanakan pernikahan tanpa adanya kekeliruan dengan aturan-aturan Islam.
Dalam kitab tersebut, Kiai Hasyim tidak hanya menjelaskan pernikahan dari sisi hukum normatifnya belaka. Namun juga menyentuh ihwal etika pernikahan yang hendak kaum Muslimin jalani. Salah satu etika yang Kiai Hasyim anjurkan adalah seyogianya di antara calon pengantin untuk saling mengetahui. Karena menurut Kiai Hasyim: “ada sesuatu di antara keduanya, calon laki-laki dan perempuan, yang dapat menjadikan keduanya saling mencintai.”
Ungkapan demikian, juga selaras dengan apa yang Umar Bin Khathab sampaikan ketika berpesan kepada seseorang yang hendak menikahkan anaknya. Menurut Umar. “Janganlah kalian menikahkan putri-putrimu dengan laki-laki yang buruk. Karena bahwasanya ada sesuatu di antara keduanya untuk saling menyukai.” (Dha’ul Misbah, hlm, 6).
Dari ungkapan yang Kiai Hasyim dan Sahabat Umar, setidaknya mengisyaratkan, bahwa pernikahan yang hendak berlangsung harus mendapat persetujuan dari kedua calon pengantin. Karena bagaimanapun, persetujuan inilah yang akan menentukan arah gerak bahtera rumah tangga keduanya.
Ketika pernikahan yang berlangsung tidak memperhatikan pesan dan kehendak dari kedua calon pengantin, maka apapun tendensinya, pernikahan tersebut akan sukar untuk mereka jalani. Sulit menentukan arah gerak rumah tangga. Bahkan berujung pada tindakan kriminal dan perceraian.
Tentu saja, tidak semua pernikahan yang berlangsung tanpa persetujuan dari kedua calon mempelai akan berakhir demikian. Tapi setidaknya, masa pengenalan dan adanya persetujuan dari pihak yang akan menjalani pernikahan tersebut, adalah bentuk kewaspadaan orangtua atau walinya. Terutama dalam memberikan amanah pernikahan, sehingga pernikahan yang akan berlangsung dapat terpenuhi dengan nuansa keluarga yang sakinah, mawadah, dan rahmah, sebagaimana mestinya.
Perjodohan dan Simbol Penolakan
Akhir-akhir ini, kita digemparkan kembali terkait berita yang membeberkan ihwal perjodohan. Pasalnya, perjodohan yang mereka lakukan tidak mendapatkan persetujuan dari salah satu calon pengantin. Akhirnya, pesta pernikahan berlangsung dengan susana yang begitu menegangkan. Di mana pengantin perempuan melepaskan hijabnya sebagai simbol penolakan dari langkah perjodohan tersebut.
Ironisnya, perjodohan tersebut dilakukan oleh sosok yang terkenal sebagai tokoh agama. Di mana dalam asumsi masyarakat kita adalah sebagai sosok yang dianggap pemangku otoritas dalam menentukan sebuah ajaran agama. Dalam hal ini, tokoh agama seyogianya memberikan kesan terhadap apa-apa yang berkaitan erat dengan ajaran agama adalah kesan yang baik dan membahagiakan, bukan malah sebaliknya.
Karena bagaimanapun, tindak lampah sosok yang sudah kadung dianggap sebagai tokoh agama, akan menjadi fatwa di dalam tubuh masyarakat akar rumput. Karena asumsi yang berkelindan di dalam pikiran masyarakat adalah, ia merupakan sosok yang memiliki pemahaman agama yang sangat luas. Maka halal-haram pun akan berdasarkan pada tingkah lakunya.
Terlepas dari hukum fikih pernikahan yang berlandaskan tradisi perjodohan, yang paling mendasar dalam hal ini adalah sisi etiknya. Melihat betapa pentingnya sisi etik dalam ihwal pernikahan, Kiai Faqihuddin Abdul Kodir, bahkan menyusun sebuah buku yang berjudul Fiqh al-Usrah: Fondasi Akhlak Mulia dalam Hukum Keluarga Islam (2025). Di mana di dalamnya membahas persoalan keluarga dengan menggunakan pendekatan Akhlak al-Karimah sebagai basis hukum keluarga Islam yang tidak hanya berhenti pada persoalan normatifnya saja, melainkan juga etiknya.
Menggugat Hak Wali Ijbar
Memang, dalam konteks Wali Ijbar, hak menikahkan perempuan yang di bawah tanggungannya (Wali) telah menjadi pendapat yang menjadi arus utama dalam kajian fikih klasik. Di mana otoritas menikahkan perempuan yang masih gadis dimiliki sepenuhnya oleh Wali Mujbirnya. Tanpa memandang sisi kerelaannya.
Namun, pendapat tersebut seringkali menjadi alat hegemoni Wali Mujbir perempuan kepada putrinya. Dalam beberapa kasus, seperti kisah yang Kahlil Gibran tuliskan dalam novelnya yang berjudul Sayap-Sayap Patah (Mizan, 2021) adalah salah satu contoh ihwal perjodohan dapat kita pelajari, bahwa ajaran agama seringkali disalahgunakan oleh pemegang otoritasnya. Tidak peduli di baliknya ada perempuan yang terluka dan mati harapannya.
Meskipun yang Kahlil Gibran tuliskan adalah sebuah karya yang beromansa fiksi, hal yang sama pun sering terjadi di dunia nyata. Sayangnya hal itu dikuatkan dengan bersandarkan pada tradisi dan ajaran agama. Seakan lupa, bahwa agama tidak sedikitpun melegitimasi sesuatu yang merampas hak-hak kemanusiaan.
Yang tersampaikan tulisan ini, sama sekali bukan bermaksud untuk menegasikan hak Ijbar yang seorang Wali nikah miliki, di mana ia berhak untuk menikahkan putrinya. Namun yang harus menjadi perhatian lebih, adalah bagaimana hak Ijbar itu kita daya-gunakan untuk kemaslahatan dan kebahagian yang lahir karena pernikahan yang terpenuhi dengan nuansa sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Kesalingan dan Kompromi
Dan itu akan terwujud, ketika pernikahan disetujui oleh kedua mempelai. Sehingga, hal yang harus kita hadirkan dalam mewujudkan pernikahan tersebut, adalah proses kesalingan dalam kompromi di antara pihak-pihak yang terlibat. Baik itu dari pengantin perempuan, laki-laki, maupun kedua pihak orangtua dari keduanya.
Jika hal itu, masih saja tidak menghasilkan persetujuan dari salah satu pihak, maka di antara pihak-pihak yang lain tidak seyogianya untuk memaksa dengan tendensi apa pun.
Sebab menurut Kiai Hasyim sendiri—dengan mengutip pendapat as-Syairozi—bahwa nikah tidaklah wajib hukumnya yang tergambarkan dengan memakai pakaian yang bagus dan makanan enak.
Namun nikah akan terhukumi sunnah bagi mereka yang sudah membutuhkannya secara biologis. Pada saat yang sama ia mampu untuk membayar mahar dan menafkahi calon isterinya, jika tidak berpuasa adalah jalan untuk mengalihkannya.
Karena bagaimanapun, ajaran Islam selalu menghindarkan segala sesuatu yang dapat melahirkan kesengsaraan. Sebaliknya, ajarn Islam selalu berusaha untuk menghadirkan segala bentuk yang dapat menghadirkan kemaslahatan yang kolektif. Dengan demikian, kiranya tradisi perjodohan yang berpotensi melahirkan sebuah penderitaan untuk kita akhiri. []












































