Mubadalah.id – Dalam lanskap pemikiran keagamaan kontemporer, ‘Daughters of Abraham: Feminist Thought in Judaism, Christianity, and Islam’ hadir bukan hanya sebagai kompilasi karya akademis. Tetapi juga sebuah catatan pergulatan intelektual dan spiritual untuk meninjau kembali fondasi pemahaman kita tentang peran perempuan dalam tiga agama Abrahamik. Para editor, seperti Yvonne Yazbeck Haddad dan John L. Esposito, berhasil menghimpun suara-suara kritis yang mempertanyakan bagaimana tradisi kerap menjadi arena marginalisasi.
Karen Armstrong, dalam pengantarnya, langsung menyodorkan kita dengan sebuah paradoks. Ketiga agama-agama Abrahamik, yang pada tataran idealnya menentang penundukan dan mewajibkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, dalam praktik kesejarahannya justru seringkali menjadi instrumen pelanggengan inferioritas perempuan.
Armstrong menyebutkan bahwa meskipun figur-figur sentral seperti Yesus dan Nabi Muhammad menunjukkan penghormatan mereka terhadap perempuan, generasi setelahnya justru membangun “hegemoni patriarkal” yang tak jarang tergelincir ke dalam kubangan misoginis.
Esposito kemudian menarik gagasan ini lebih lanjut bahwa warisan yang diterima oleh “putri-putri Abraham”—Sarah dan Hagar—sejatinya adalah produk dialektika antara wahyu dan interpretasi manusia. Dan interpretasi ini, secara historis, didominasi oleh laki-laki yang hidup dan bernapas dalam struktur sosial patriarkal. Akibatnya, citra perempuan dalam agama seringkali hanya menjadi bahan olahan ide-ide patriarki, alih-alih refleksi murni wahyu.
Esposito melihat gelombang modernisme agama serta gerakan feminisme sebagai katalisator bagi upaya-upaya untuk melakukan reinterpretasi dan rekonstruksi tafsir-tafsir keagamaan sejak dekade 1960-an dan 1970-an. Perempuan, tak lagi pasif, kini menuntut ruang gema dan tafsirnya sendiri di sinagoga, gereja, dan masjid.
Yudaisme
Masuk ke wilayah Yudaisme, Amy-Jill Levine melalui tulisannya yang bertajuk ‘Settling at Beer-lahai-roi’ mengajak kita menelisik ulang narasi Sarah dan Hagar. Sebuah cerita yang kerap terjebak dalam dualisme simplistis. Sarah sebagai “perempuan sah,” dan Hagar sebagai “liyan”.
Levine menyoroti bagaimana para penafsir feminis kiwari berupaya untuk menjungkir balikkan ide ini. Bahkan sampai pada titik di mana Sarah dan Abraham dipandang sebagai penindas. Levine mengingatkan agar tak terjebak dalam polaritas baru semacam itu. Namun begitu, ia mengapresiasi kompleksitas dan keberanian para kritikus untuk menyerang figur-figur suci sekalipun.
Masih di Yudaisme, Leila Gal Berner dalam ‘Hearing Hannah’s Voice’ menyoroti ritual agama sebagai medan peperangan. Kisah Hana, yang berdoa secara personal, menjadi antitesis dari ritual keagamaan maskulinis yang kaku.
Bagi Berner, generasi baru feminis Yahudi tak lagi menginginkan “sepotong kue.” Melainkan ingin “membuat kue baru” yang merombak struktur Yudaisme dari akarnya. Ini artinya Berner mendorong penciptaan ritus-ritus yang mampu menampung pengalaman khas perempuan—sesuatu yang selama ini dibungkam oleh tradisi ritual yang didesain khusus untuk laki-laki.
Kristen
Bergeser ke Kekristenan, Alice L. Laffey dalam ‘The Influence of Feminism on Christianity’ menunjukkan bagaimana keterbukaan akses perempuan ke pendidikan teologi menjadi “momen pencerahan” yang memicu dekonstruksi dan rekonstruksi wacana.
Jika figur seperti Mary Daly memilih jalan radikal dengan meninggalkan gereja, banyak feminis lain yang memilih jalur moderat. Menguliti lapisan demi lapisan patriarki dalam kitab suci dan tradisi untuk merajut kembali teologi pembebasan. Laffey mencontohkan pembacaan ulang Kitab Ester tentang cerita Ratu Wasti. Bukan sebagai figur minor, tetapi sebagai simbol perlawanan—atau kisah keledai Bileam sebagai kritik eko-feminis atas antroposentrisme.
Rosemary Radford Ruether, salah satu begawan teologi feminis Kristen, dalam ‘Christian Feminist Theology: History and Future’ menegaskan bahwa teologi feminis adalah sebuah proyek korektif atas distorsi patriarkal.
Ia menguraikan bagaimana “kesunyian historis” perempuan dalam perumusan doktrin Kekristenan menyebabkan maskulinitas menjadi norma universal. Bahkan dalam penggambaran Tuhan dan konsep keselamatan. Teologi feminis, dalam pandangan Ruether, berupaya merebut kembali simbol-simbol keimanan (bahasa Tuhan, Kristologi, dosa, keselamatan) dan menghadirkannya dalam kerangka pembebasan.
Islam
Akhirnya, kita diajak menyelami pemikiran feminisme Islam. Hibba Abugideiri melalui ‘Hagar: A Historical Model for Gender Jihad’ mengangkat figur Hagar, yang dalam Islam memiliki signifikansi sebagai ibu bagi orang-orang Mukmin dan simbol taqwa serta aktivisme.
Abugideiri memperkenalkan konsep “jihad gender”. Perjuangan kesetaraan gender berbasis Al-Qur’an—dan menyoroti karya Amina Wadud, Amira Sonbol, dan Sharifa Alkhateeb sebagai feminis-feminis kontemporer yang menggugat norma maskulinitas dan mereformasi Islam dari dalam melalui isu-isu perempuan.
Amira El-Azhary Sonbol dalam ‘Rethinking Women and Islam’ dengan berani menantang pandangan bahwa hukum Islam (Syariah) itu statis dan inheren. Ini dianggap merugikan perempuan.
Dengan penelitian yang ia lakukan terhadap arsip-arsip Ottoman dan Mesir, ia menunjukkan bukti historis keterlibatan perempuan dalam perumusan Hukum Islam dan agensi mereka di pengadilan. Ia, seperti Wadud, mendorong pembacaan Al-Qur’an yang lebih dinamis dan inklusif.
***
Secara keseluruhan, ‘Daughters of Abraham’ menghimpun pemikiran-pemikiran feminisme transnasional dan lintas-agama. Ada benang merah yang mengikat para pemikir ini terlepas dari latar belakang mereka. Gugatan terhadap monopoli tafsir maskulin dan upaya untuk merebut kembali otoritas spiritual dan intelektual perempuan.
Karen Armstrong, dalam penutupnya, mengingatkan kita agar perjuangan ini tidak meniru eksklusivisme atau chauvinisme lama. Kisah Sarah dan Hagar adalah contoh pahit bagaimana patriarki merusak relasi antarperempuan. Tantangannya, kini, adalah bagaimana tafsir pembebasan ini dapat melahirkan empati lintas-iman dan memperkaya, bukan memecah-belah, warisan Ibrahim. []