Mubadalah.id – Dalam isu pelayanan seksual dalam rumah tangga, ijtihad fikih semestinya tampil lebih tegas dan berpihak pada nilai-nilai empati serta perlindungan terhadap perempuan. Sebab, tidak sedikit persoalan seksual dalam rumah tangga yang berujung pada kekerasan fatal dari pemaksaan, pemukulan, perceraian, poligami, hingga pembunuhan.
Di banyak masyarakat, pernikahan masih dipahami secara keliru sebagai tiket kepemilikan tubuh perempuan oleh laki-laki. Maka, ketika harapan kenikmatan hubungan seksual tidak terpenuhi, sebagian suami merasa berhak berbuat semena-mena terhadap istri.
Kesalahpahaman ini kerap disokong oleh tafsir tekstual atas ayat-ayat suci, salah satunya adalah QS. an-Nisa ayat 34 yang memuat tentang kebolehan memukul istri. Ayat ini sering dijadikan justifikasi untuk melakukan kekerasan, terutama saat istri dianggap tidak memenuhi kebutuhan suami.
Padahal, sejumlah ulama seperti Imam ‘Atha dan Syekh Thahir ibn ‘Ashur telah mengoreksi cara pandang tersebut. Mereka menegaskan bahwa ayat tersebut tidak boleh mereka gunakan sebagai alat pembenaran tindakan kekerasan yang justru bertentangan dengan nilai-nilai luhur al-Qur’an.
Ijtihad fikih harus terus kita perbarui, tidak berhenti pada narasi hukum klasik yang tak lagi relevan dengan realitas zaman. Fikih harus peka terhadap ketimpangan dan kekerasan yang perempuan alami. Serta mampu menjadi alat transformasi sosial untuk menghapus praktik-praktik yang merendahkan martabat manusia.
Karena itu, fikih harus mendorong kesadaran penuh dalam memilih pasangan, termasuk memberi ruang bagi perempuan untuk menentukan pernikahannya tanpa paksaan.
Lebih dari itu, seluruh aspek dalam kehidupan pernikahan seharusnya untuk menciptakan relasi yang damai dan penuh kasih. Sebagaimana ideal Islam tentang rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Pernikahan bukan ruang perbudakan yang melegitimasi pengekangan, pelecehan, dan kekerasan terhadap perempuan. Islam sebagai agama rahmat menolak segala bentuk kekerasan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Nabi Muhammad Saw dengan tegas mengingatkan:
“Diharamkan melakukan kerusakan, baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Barang siapa mencelakakan orang lain, maka ia akan dicelakakan Allah; barang siapa yang mempersempit (membuat susah) orang lain, maka ia akan dipersempit oleh Allah.” (HR. al-Hakim, al-Mustadrak, Juz II, hal. 57).
Sebaliknya, Nabi juga mengajarkan pentingnya kasih sayang dalam relasi sosial, termasuk dalam keluarga:
“Tidak termasuk golongan umatku, mereka yang (tua) tidak menyayangi yang muda, dan yang (muda) tidak menghormati yang tua.” (HR. at-Turmudzi, No. 1842).
Maka dari itu, sudah saatnya fikih berkembang seiring semangat zaman berpihak pada kemaslahatan, mencegah kerusakan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kasih sayang serta keadilan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam ranah paling privat hubungan suami-istri. []
Sumber: Buku Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir.