Mubadalah.id – Gerakan awal Fahmina dimulai dengan menyuarakan gagasannya melalui artikel-artikel yang dikirim ke Radar Cirebon dan Mitra Dialog. Lalu, sejak 2001, Fahmina menerbitkan sendiri di media komunitas bernama Warkah al-Basyar, sebuah buletin Jumat empat halaman yang dicetak 10.000–15.000 eksemplar setiap pekan.
Dari hanya beredar di masjid-masjid Kota Cirebon, kini jangkauannya meluas ke wilayah tiga Cirebon: Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan. Selain ke masjid, Warkah juga menyapa Majelis Taklim dan jaringan pengajian pesantren.
Melalui Warkah al-Basyar, Fahmina mengajak pembacanya menengok kembali ketimpangan sosial yang sering luput dari perhatian.
Di sana membahas juga bagaimana nasib buruh migran, perempuan yang mengalami kekerasan, pedagang kecil, nelayan, petani, kaum minoritas. Hingga kelompok difabel yang haknya kerap terpinggirkan. Tulisan-tulisan ini menjadi semacam alarm kolektif, pengingat bahwa masih banyak warga yang perlu kita bela.
Dari media kecil itu, jejaring Fahmina semakin meluas. Mereka bertemu lebih banyak kiai, nyai, ustadz, santri senior, akademisi, mahasiswa, hingga para penggerak masyarakat.
Banyak dari mereka kemudian ikut menulis: menuangkan pengalaman, kegelisahan, dan pemikiran. Warkah al-Basyar pelan-pelan menjadi media komunitas—bukan hanya bacaan, tetapi jembatan perjumpaan.
Yang menarik, kehadiran Warkah memantik lahirnya buletin serupa di berbagai komunitas. Fahmina membantu beberapa di antaranya: Forum Komunikasi Khatib dan Imam Masjid Indramayu, Bulletin asy-Syaqiqah PSG STAIN Cirebon, Bannati dari LSM Bannati, Tekai dari FKBMI Indramayu. Hingga Bulletin Nalar PMII Cirebon.
Semua bergerak dengan semangat untuk menyebarkan ilmu, menumbuhkan kesadaran, dan memperkuat keberpihakan.
Dari kajian kitab kuning hingga jejaring sosial, dari ruang diskusi kecil hingga buletin yang sampai pada ribuan jamaah, perjalanan Fahmina menunjukkan bahwa ilmu selalu menemukan jalannya untuk bekerja bagi kemanusiaan.
Dan ketika ilmu itu dibawa oleh orang-orang yang tulus, ia tidak berhenti menjadi wacana, tapi ia menjadi gerakan. []








































