Mubadalah.id – Merujuk pada Bulugh al-Maram karya Imam Ibn Hajar al-‘Asqallini (w. 852 H) tentang Hadis-Hadis pernikahan, teks pertama yang disebut adalah: “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian sudah mampu menikah, menikahlah, karena menikah itu bisa menundukkan mata dan melindungi syahwat. Barang siapa yang tidak mampu, berpuasalah, karena berpuasa itu bisa mengendalikannya (mata dan syahwat itu)” (Shahih al-Bukhari, no. 5120).
Hadis ini cukup populer dan sering digunakan dalam berbagai acara dakwah dan ceramah. Dalam perspektif mubadalah, langkah pertama yang harus ditemukan adalah makna dasar yang terkandung di dalamnya.
Langkah keduanya memastikan semua makna dasar itu menyapa laki-laki dan perempuan, sebagai subjek yang sama-sama penting dan bermartabat (martabah), untuk memperoleh kebaikan dasar (mashlahah) dari makna tersebut, dengan mempertimbangkan prinsip keadilan (adalah) dengan menuntut yang paling berkapasitas bertanggung jawab memberdayakan yang tidak (kurang) berkapasitas.
Jika kita lihat sepintas dari terjemahan teks Hadis di atas, ada tiga makna dasar yang bermuara pada kemampuan dan manfaat menikah.
Pertama, bahwa orang yang ingin menikah itu baik, tetapi harus melihat dulu kemampuan (al-ba’ah).
Kedua, bahwa di antara kebaikan menikah adalah dapat menundukkan mata dan melindungi syahwat. Sehingga dengan menikah, seseorang tidak lagi melihat lawan jenis secara liar, karena sudah bisa memandang pasangannya, dan syahwatnya terlindungi karena sudah terpuaskan melalui pasangan tersebut. Ketiga, jika seseorang tidak memiliki kemampuan, maka Islam menganjurkan untuk berpuasa.
Kemampuan Menikah
Merujuk perspektif mubadalah, kemampuan menikah adalah syarat yang harus menyapa laki-laki dan perempuan. Artinya, berbicara kemampuan menikah tidak bisa hanya merujuk kepada laki-laki sebagai calon suami. Tetapi juga harus membicarakan kemampuan perempuan sebagai calon istri.
Dalam perspektif mubadalah, perempuan menjadi subjek utuh dalam relasi pernikahan. Sejak inisiasi, perempuan harus kita pastikan kemampuan dan kemauannya.
Perempuan harus dipandang sebagai pribadi yang mulia dan bermartabat (martabah). Sehingga tidak bisa “dilangkahi” begitu saja, tidak dilihat kemampuannya, tidak dipertimbangkan kemauannya, dan tidak diperhitungkan kerelaannya.
Semua tindakan yang tidak mempertimbangkan kemuliaan harkat dan martabat perempuan, dalam hal inisiasi pernikahan, adalah haram. Ia bertentangan dengan makna dasar (alba’ah) yang terkandung di dalam teks Hadis tersebut.
Lebih dari itu, ia melawan visi dasar Islam yang rahmat li al-‘alamin dan akhlak karimah. Karena semua tindakan tersebut sama sekali tidak rahmah dan tidak menjadi anugerah bagi perempuan sebagai insan yang mulia dan bermartabat. Tindakan tersebut juga melanggar asas-asas akhlak mulia dalam Islam. []