Selalu saja ada pertanyaan: adakah Nabi perempuan? Mengapa Allah Swt tidak mengutus nabi perempuan? Yang lebih tendensius lagi: bukankah ketiadaan nabi perempuan menandakan laki-laki lebih unggul dari perempuan di mata Allah Swt?
Ini ada 5 pengetahuan keislaman yang bisa menjadi dasar pembicaraan mengenai hakikat Nabi perempuan.
- Yang paling tahu adakah nabi perempuan, siapakah, berapakah, dan dimana sajakah mereka, tentu saja hanya Allah swt. Kita hanya membaca petunjuk dan tanda-tanda saja. Bagi umat Islam, petunjuk utama kita adalah Qur’an dan Hadits, melalui tafsir para ulama salaf rahimahullah.
- Mayoritas ulama mengatakan tidak ada nabi perempuan. Salah satu argumenya, bahwa ayat yang berkisah kenabian masa lalu menggunakan kata “rijal” yang berarti laki-laki (misal, QS 12: 109). Tetapi al-Quran sendiri menggunakan kata ini, sering juga untuk manusia secara umum, tidak ekslusif laki-laki, tetapi juga perempuan (misal QS 33: 23). Sehingga, ada kemungkinan nabi nabi yang “rijal” itu artinya manusia, untuk menegaskan bahwa mereka manusia, bukan malaikat. Artinya, QS 12: 109 tidak berbicara tentang kelelakian para nabi, tetapi lebih pada kemanusiaan mereka.
- Beberapa ulama, seperti Imam Abu al Hasan al Asy’ari (w. 324/936) berpendapat ada nabi perempuan. Beliau adalah pendiri dan tokoh utama Mazhab Asy’ariyah yang dianut mayoritas umat Islam Indonesia. Juga Imam Abu Bakr al-Qabri (w. 406/1015) dan Imam Ibn Hazm az Zahiri (w. 456/1064). Keduanya adalah ulama tersohor Andalusia pada masanya.
- Salah satu argumen kenabian perempuan adalah ayat at Tahrim (66: 10-12) yang berkisah tentang puncak spiritualitas dua orang perempuan, Asiah istri Firaun as dan Maryam binti Imran as. Di samping hadits Sahih Bukhari (no. 3447) yang juga bicara tentang beberapa perempuan telah mencapai puncak spiritualitas, dan puncak itu ditafsiri ulama sebagai kenabian. Jika sudah disinggung ayat dan hadits, maka keberadaan nabi perempuan adalah absah.
- Jikapun, kita menerima pendapat mayoritas ulama yang menafikan kenabian perempuan, kenabian laki-laki di sini, sama sekali tidak menunjukkan keunggulannya dari perempuan. Tetapi labih pada efektifitas dakwah saja, dimana pada masyarakat patriarkhi, yang bisa diterima adalah otoritas laki-laki. Islam sendiri, dalam berbagai teks ayat dan hadits, menegaskan keunggulan itu basisnya adalah keimanan, ketakwaan, dan amal shalih, bukan jenis kelamin.
Wallahu a’lam bish shawab.
*) Pembahasan lebih lengkap dengan berbagai ayat dan hadits terkait, serta tafsir ulama dan argumentasi mubadalah, bisa ditemukan di topik “perempuan, kenabian dan keulamaan” dalam buku Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam, di bab V (hal. 439-528), terbit Februari 2019.