“Rum ini seperti kamu”, cerita seorang teman, saat saya memintanya menspoiler sedikit isi novel DUR. Auto ngakak dong saya mendengarnya, tapi juga penasaran mana ada novel yang tokoh utamanya seperti saya. Biasanya kan tokoh utama novel orangnya nyaris perfect. Dan akhirnya saya memutuskan untuk membaca novel DUR.
Setelah khatam novel setebal 506 halaman itu, ternyata benar kata teman saya, kalo Rum dan saya memiliki beberapa kesamaan. Sama-sama tertarik isu kemanusiaan, ingin jadi penulis, tidak pernah mondok, ngeyel, dan parahnya susah bangun pagi dan tidak bisa memasak. Semoga besok jodoh saya juga mirip dengan sosok Gus Asy yang support system dan pengertian dengan keterbatasan saya. hehehe..
Novel karangan ning Nisaul Kamilah ini berbeda dengan kebanyakan novel yang pernah saya baca. Alur romansanya tidak terlalu greget tapi saya suka wejangan-wejangan yang terkandung di dalamnya. Membuka wawasan baru bagi saya tentang pewayangan, kisah habaib dan pelajaran ilmiah yang dikaitkan dengan sejarah Islam.
Diary Ungu Rumaysha ini pemberian dari Alfaraby, seorang muslim Tionghoa dan cinta pertama Rum. Namun, kisah cinta mereka kandas terhalang restu Bune (Ibu Rum). Takdir justru melabuhkan hati Rum kepada Gus Asy, tunangan Salma (kakak Rum) yang meninggal 1 bulan sebelum acara pernikahan sebab kecelakaan.
Tidak ingin mengecewakan kedua orang tua, Gus Asy dan Rum menyetujui wasiat Salma untuk menjadi badal pengantin. Meskipun berlangsungnya pernikahan berawal dari tidak adanya rasa suka diantara keduanya. Tetapi, baik Rum maupun Gus Asy sama-sama saling berusaha melupakan masa lalu dan mulai bersama-sama membangun keluarga sakinah mawaddah warohmah.
Dalam novel DUR, ning Nisaul Kamilah banyak menuturkan petuah kehidupan berumah tangga, salah satunya ialah Pepali Pitu (tujuh dasar ajaran) Sunan Drajat. Tujuh falsafah yang dijadikan pijakan dalam kehidupan yang seyogyanya dimiliki setiap orang, termasuk pasangan suami istri. Tujuh diantaranya ialah:
Pepali pertama, Memangun resep tyasing sasama (Kita selalu membuat senang hati orang lain). Dalam rumah tangga sudah seharusnya memiliki perasaan saling ingin menyenangkan hati pasangan. Jangan egois dengan hanya menyenangkan diri sendiri saja.
Pepali kedua, Jroning suka kudu eling lan waspodo (Dalam suasana gembira hendaknya selalu ingat Tuhan dan selalu waspada). Terkadang saat sedang bahagia seseorang akan lupa untuk bersyukur kepada Allah. Termasuk pengantin baru, jangan lupa banyak berdzikir dan bersedekah untuk mensyukuri nikmat pernikahan.
Pepali ketiga, Laksitaning subrata lan nyipta marang pringga bayaning lampah (Dalam upaya menggapai cita-cita luhur jangan menghiraukan halangan dan rintangan). Jadi suami istri seharusnya saling berikhtiar menggapai visi bersama yang sudah dicanangkan.
Keempat, Meper hardaning pancadriya (Senantiasa berjuang menekan gejolak-gejolak nafsu duniawi). Karena pernikahan adalah ibadah terlama, tentu godaannya sangat banyak. Maka, suami istri harus saling menahan diri dari nafsu yang menyebabkan mereka terjerembab dosa.
Kelima, Heneng, hening hanung (Di dalam diam akan dicapai keheningan dan di dalam keheningan akan mencapai jalan kebebasan mulia). Dalam perjalanan berumah tangga harus mendahulukan kebijaksanaan dan pemikiran matang. Jangan asal ceplas-ceplos yang akan menyebabkan sakit hati nantinya. Karena ketika setiap laku dan kata yang tercipta direnungkan terlebih dahulu, maka kebahagiaan akan mudah didapatkan.
Keenam, Mulya guna panca waktu (Pencapaian kemuliaan lahir batin dicapai dengan salat lima waktu). Salat adalah tiang agama, ketika manusia sudah berani meninggalkan salat wajib, maka kehidupannya akan mulai oleng. Begitupun dengan biduk rumah tangga jadikan iman dan Islam sebagai pondasi dalam segala hal.
Ketujuh, Menehono teken marang wong kang wuto. Menehono mangan marang wong kang luwe. Menehono busana marang wong kang wuda. Menehono pangiyupan marang wong kang kudanan (Berikan tongkat pada orang yang buta, berikan makan pada orang yang lapar, berikan pakaian pada orang yang telanjang, berikan tempat berteduh pada orang yang kehujanan).
Ini menjadi pengingat bahwa selayaknya manusia termasuk suami istri untuk bersosialisasi dengan baik bersama masyarakat, semrawung dan senang menolong orang lain sesuai dengan yang mereka butuhkan.
Ketujuh falsafah Sunan Drajat inilah yang dapat dijadikan prinsip dalam menjalani bahtera rumah tangga. Sebab, ajaran tersebut mengandung nilai dan semangat kemitraan, kerja sama dan timbal balik saat berelasi dengan manusia. Sehingga akan membawa pada kesalingan dan dapat menciptakan relasi yang bermartabat dan penuh maslahat. []