Memang sorga menjadi tanggung jawab ibu, untuk diberikan kepada anak dalam bentuk penyiapan kepribadian pengetahuan dan sikap yang memunculkan kebahagiannya dalam hidup di dunia.” (Abdurrahman Wahid, 1989)
Mubadalah.id – Suami saya menceritakan isi telponnya dengan ibu yang kini telah berusia lanjut. Mendengarkan dengan sabar aduan ibu yang bertengkar dengan bapak. Secara khusus, ia mengucapkan “Selamat Pagi” paling pertama, mengirimi lagu-lagu lawas atau video lucu untuk tertawa bersama.
Sahabat saya menempuh puluhan kilometer di akhir pekan untuk menemui ibunya. Memastikannya sehat dan gembira, terlebih di masa pandemi ini. Hal yang tentu tidak sebanding dengan perjuangan dan doa ibu atas mereka. Namun, bagi saya tetaplah mengharukan menyaksikan upaya mereka untuk berbakti pada ibu.
Berbakti dan taat kepada ibu menjadi salah satu bentuk pelaksanaan nilai-nilai termasuk ajaran agama. Ungkapan “surga di bawah telapak kaki ibu” (Al-jannatu taḥta aqdām al-Ummahāti) menjadi petuah bahwa seorang anak harus patuh, berbakti dan tidak boleh menyakiti ibunya. Dengan berlaku demikian, surga menjadi jaminannya.
Sebaliknya, jika anak tidak memenuhi harapan itu maka akan disebut sebagai anak durhaka. Tidak akan ada surga untuk anak. Sebaliknya, kita tidak mendapati istilah ibu durhaka sekalipun melakukan kekerasan terhadap anaknya. Pertanyaannya untuk kualitas ibu seperti apakah yang ada surga dibawah telapak kakinya?
Gus Dur Memaknai Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu
Saya menemukan tulisan singkat Gus Dur berjudul “Sorga Ada di Dunia Ini” dimuat di Harian Umum Pelita dan diterbitkan oleh Pustaka Kartini bersama dengan kumpulan tulisan lainnya. (Badjuri,1989). Gus Dur mendekontrusikan bahwa surga di bawah telapak kaki ibu adalah tanggungjawab ibu atas anaknya bukan kewajiban anak atas ibunya.
Pemaknaan ini dinyatakan bukanlah dalam konteks kehidupan akhirat tapi dunia, juga bukan dalam konteks menolak tafsir yang telah ada, namun memberikan penafsiran yang sesuai dengan perkembangan zaman. Bagi Gus Dur, surga di bawah telapak kaki ibu bermakna Ibu sebagai penentu masa depan anak, baik secara fisik maupun mental, duniawi dan rohani.
Gus Dur memberikan gambaran bagaimana tanggungjawab ibu atas anaknya. Begini:
Pelaksanaan tanggungjawab itu dilaksanakan dengan mempersiapkan diri sebaik-baiknya pada masa kehamilam. Gizi harus cukup, vitamin bagi kandungan ada dalam jumlah seimbang, suntikan pencegahan penyakit diberikan sesuai kebutuhan. Suasana rumah tangga juga dijaga sebaik-baiknya, baik suasana psikologis maupun lain-lainnya. Dipelihara suasana kasih sayang dan kecintaan antara sesama anggota keluarga, sehingga suasana itu turut mengisi masa persiapan datangnya sang bayi. Suasana keagamaan dikembangkan begitu rupa, sehingga membawa berkah bagi perjalananan kandungan.”
Begitu anak lahir, ia diasuh dengan kasih sayang, dipelihara dengan penuh kecintaan. Disediakan kebutuhan maksimalnya semasa umur balita. Diasuh lebih berhati-hati lagi bila telah masanya memperoleh pendidikan formal. Diberi keteladanan baik oleh kedua orangtuanya. Dibesarkan dalam lingkungan sosial yang akan membawa dampak positif secara optimal bagi anak itu.
Dalam keadaan seperti itu, ia akan berkembang menjadi manusia yang sanggup mencapai cita-cita dan mampu memikul tanggungjawab terhadap kehidupan. Bukankah dengan demikian ia akan mencapai ‘sorganya’ sendiri di dunia ini, sebelum ia nantinya memperoleh ‘sorganya di akhirat kelak. Memang sorga menjadi tanggungjawab ibu, untuk diberikan kepada anak dalam bentuk penyiapan kepribadian pengetahuan dan sikap yang memunculkan kebahagiannya dalam hidup di dunia.”
Dengan demikian, untuk menjadi ibu yang mampu menghadirkan surga untuk anaknya, diperlukan prasyarat: perempuan yang berkualitas, rumah tangga yang sehat, dan pemenuhan kewajiban konstitusional negara terhadap perempuan. Seorang perempuan yang memilih menjadi ibu haruslah siap secara fisik dan mental. Ini berarti perempuan haruslah menikah di usia yang cukup, bukan usia anak. Perempuan yang menikah di atas 21 tahun, organ reproduksinya lebih siap dibandingkan anak perempuan. Selain fisik, perempuan yang terdidik akan lebih mumpuni untuk menjadi pendidik pertama dan utama.
Begitupun peran suami berkontribusi dalam pemenuhan tanggungjawab ibu. Kehamilan bukanlah semata-mata tanggungjawab isteri karena ia memiliki rahim. Suami harus menjalankan peran baik di wilayah produktif, domestik maupun sosial. Seperti pembagian kerja, melalui setiap tahapan kehamilan bersama-sama, kesiapan finansial dan pembagian dalam pendidikan dan pengasuhan anak.
Peran dan dukungan suami memberikan dampak positif terhadap penurunan kecemasan, meningkatkan kepercayaan diri dan kesiapan perempuan untuk menjalankan tanggungjawab sebagai ibu. Ini berarti rumah tangga dibangun secara setara, mengetahui hak kesehatan reproduksi diri dan pasangannya, juga nirkekerasan. Hanya dengan demikian kehidupan rumah tangga dapat mencapai sakinah, mawaddah, warahmah.
Kewajiban Negara
Apa yang dilakukan orang tua khususnya ibu terhadap anak-anaknya, tidak akan tercapai jika negara tidak memenuhi kewajiban konstitusionalnya. Diantaranya menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI), pendewasaan usia perkawinan, penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan mencegah putus sekolah.
Bank Dunia mencatat AKI di Indonesia masih 177 kematian per 100 ribu kelahiran hidup pada 2017. Kondisi ini mengindikasikan kondisi kesehatan ibu hamil atau melahirkan yang masih kekurangan vitamin atau mempunyai status gizi yang rendah. AKI ini juga mengindikasikan tidak meratanya layanan kesehatan untuk perempuan, baik tenaga medis maupun sarana prasarananya.
Untuk mencegah perkawinan anak, Pemerintah telah menaikan usia perkawinan menjadi 19 tahun. Namun, Catahu 2021 Komnas Perempuan melaporkan terjadi peningkatan tiga kali lipat untuk dispensasi kawin (perkawinan anak). Yaitu 23.126 kasus pada 2019, naik menjadi 64.211 kasus di tahun 2020. Padahal perkawinan anak akan meningkatkan putus sekolah, stunting, AKI dan anak, meningkatnya pekerja anak, upah rendah, dan kemiskinan. Secara khusus, perempuan dapat masuk dalam KDRT. Hal ini dikuatkan pula dengan masih terjadinya Kekerasan terhadap Perempuan (KTP) termasuk KDRT yang selalu menempati urutan pertama dari keseluruhan jumlah kasus yang diadukan.
Walau tulisan Gus Dur sudah 31 tahun, saya pikir masih relevan untuk didorong, dan dilaksanakan. Bahwa mengantarkan anak untuk menemukan sorganya adalah kewajiban ibu yang didukung oleh suami, lingkungan sosial dan negara. Kita bisa mulai dengan Pendidikan yang setara, pendewasaan usia dan perkawinan yang setara serta kehamilan itu direncanakan. Agar anak yang kita lahirkan “berkembang menjadi manusia yang sanggup mencapai cita-cita dan mampu memikul tanggung jawab terhadap kehidupan”. []
*)Tulisan adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili lembaga