Mubaadalahnews.com,- Prinsip-prinsip Islam menolak segala ekspresi yang dikategorikan sebagai ujaran kebencian (hate speech) karena sifatnya yang destruktif. Di antara prinsip yang dengan jelas menolak ujaran kebencian adalah ajaran tauhid dan prinsip saling menghormati antar sesama manusia.
“Aku bukan bonekamu, bisa kau suruh-suruh dengan seenak maumu,
Aku bukan bonekamu, bisa kau rayu-rayu, kalau kau bosan, pergi dan menghilang,
Keke bukan boneka boneka boneka.”
(Rahmawati Kekeyi Putri Cantika)
Berada di peringkat nomor satu pada laman Youtube Indonesia dan kemudian dihapus, menjadikan lagu “Keke Bukan Boneka” yang memiliki 18 juta penonton menjadi bahan pembicaraan netizen +62. Komentarnya pun beragam, ada yang menjatuhkan dan ada pula yang membangkitkan.
Tidak berhenti pada kolom komentar saja, pembicaraan lagu ini bahkan mendapat perhatian khusus dari para musisi dan pakar musik Indonesia. Hal ini disebabkan adanya persamaan antara lagu tersebut dengan lagu “Aku Bukan Boneka” ciptaan Novi Umar yang dinyanyikan oleh Rini Idol pada tahun 2007 silam.
Terlepas dari kontroversi yang ada, ada hal menarik yang perlu diperhatikan dari perkara ini. Dalam pembicaraan antara Anji dan Kekeyi yang terdapat dalam akun Youtube Dunia Manji, Kekeyi mengungkap bahwa lirik tersebut merupakan ungkapan dan curhatan hatinya atas kisah cintanya yang kandas bersama mantan kekasihnya, Rio Ramadan. Kekeyi juga menambahkan, ia tidak tahu-menahu jika lagunya memiliki kesamaan dengan lagu yang dinanyikan Rini Wulandari.
Dalam video tersebut juga Keke memohon maaf jika lagunya pada akhirnya menimbulkan konflik, dan apa yang ia lakukan adalah murni untuk menghibur para fansnya. Dengan menangis ia menanggapi orang-orang yang berkomentar buruk tentangnya, terutama mengenai fisiknya.
“Aku tahu mereka ngatain apalah, aku jelek, apalah, oke lah, gak masalah lah ya, aku juga jujur, aku memang dari sananya kayak gitu. Tapi aku mau membuktikan walaupun aku jelek aku harus bisa berkreasi. Aku jelak, aku pendek, aku gemuk, aku gak bisa apa-apa, tapi aku harus berkreasi. Aku harus membuat mereka tahu ini lho aku, kayak gitu. Walaupun mereka jijiklah istilahnya, atau gimanalah dengan karya yang aku ciptakan, okelah, terserah gitu, ya tetep aku fikir, ya tetep aku masukin ke hati dan aku jadiin itu motivasi, supaya aku maju gitu lho. Aku mau membuktikan kalau aku ‘gak sekedar jelek doang lho, aku ‘gak sekedar gemuk doang lho, aku ‘gak sekedar menjijikkan doang lho, tapi istilahnya aku ada karya yang kalian juga menikmati, aku niatnya itu doang.”
Cezzzzz, mendengar kalimat ini telinga dan seluruh badan serasa dijewer, ngaca sama diri sendiri ternyata belum banyak berbuat untuk kebahagiaan dan memaksimalkan potensi diri. Jadi teringat dengan postingan Mbak Zahra Amin, Pemimpin Redaksi Mubaadalah, di akun Instagramnya tentang inferior yang kemudian diakhiri dengan penekanan terhadap rasa syukur dan cara bagaimana kita mencintai diri sendiri, menerima kelebihan dan kekurangan diri, serta bermanfaat bagi sesama.
Disadari atau tidak, masih banyak di antara kita yang sulit untuk bangkit, bahkan menyerah dengan keadaan, sehingga kondisi justru semakin terpuruk dan tidak merubah apapun. Padahal, tidak ada yang lebih mengenal diri sendiri dan dapat memenuhi segala hal yang menjadi kebutuhan, selain diri sendiri yang bersangkutan.
Apa yang dilakukan Keke terhadap lagu ciptaannya merupakan salah satu ekspresi untuk bangkit dari kondisi dan keterpurukan yang dialami olehnya. Keke berhasil menunjukkan kepada khalayak umum, bahwa ia juga manusia, ia layak berkarya, ia juga layak mendapat pujian, rasa cinta dan dukungan dari sesama.
Jika meminjam teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow, Keke mencoba untuk memenuhi lima tingkatan kebutuhan dasar dalam hidupnya, yakni kebutuhan fisiologi, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan rasa kasih sayang, kebutuhan mendapatkan penghargaan, dan aktualisasi diri.
Tidak tanggung-tanggung, ia mampu untuk mengekspresikan diri dengan seluruh kemampuannya untuk menjadi apa yang ia inginkan. Makanya tidak aneh ketika ia merasa cacian dan hinaan untuknya itu tidaklah menjadi sesuatu yang harus dipermasalahkan, melainkan menjadi motivasi positif untuk mengembangkan potensi diri.
Jauh sebelum Abraham Maslow menyampaikan teori tersebut, intelektual Muslim juga telah mengkaji hal serupa, khususnya para pakar Psikologi Islam (Tasawuf). Sebut saja Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi al-Naisaburi, atau lebih dikenal dengan sebutan Imam Qusyairi, di antara sekian konsep Tasawuf yang dibahas, konsep syukur merupakan konsep yang cocok dalam pembahasan kali ini. Perihal syukur, Imam Qusyairi mengutip QS. Ibrahim ayat 7:
واذ تأذن ربكم لئن شكرتم لأزيدنكم ولئن كفرتم ان عذابي لشديد
“Jika kamu sekalian bersyukur, maka Aku (Allah) akan memberikan tambahan nikmat kepada kamu sekalian.”
Menafsiri ayat ini, Imam Qusyairi mengatakan bahwa perbuatan baik hamba adalah taat kepada Allah, sedangkan perbuatan baik Allah adalah memberikan kenikmatan dengan memberikan pertolongan sebagai tanda syukur.
Hakikat dari syukur bagi hamba ialah ucapan lisan dan pengakuan hati terhadap kenikmatan yang telah diberikan oleh Tuhan. Lantas bagaimana kita dapat bersyukur sedangkan yang Ia berikan bukanlah suatu kenikmatan?
Perlu digaris bawahi, bersyukur itu tidak selalu tentang apa yang menurut indera kita dikategorikan sebagai kenikmatan, melainkan juga pada hal sebaliknya. Berdasarkan hal ini maka kemudian muncullah term berbeda mengenai orang-orang yang bersyukur.
Pertama, syakir, ialah orang yang mensyukuri sesuatu yang ada, atau dengan kata lain mensyukuri pemberian. Kedua, syakur, ialah orang yang mensyukuri sesuatu yang tidak ada, mensyukuri penolakan, dan mensyukuri cobaan.
Ketika makhluk mampu bersyukur seperti yang dijelaskan di atas, maka hal tersebut akan memberikan pengaruh kepada keadaan rohaninya, sehingga yang bersangkutan tidak akan merasakan keterpurukan, rendah diri, ataupun tidak berguna bagi sesama. Dengan cara demikian, secara tidak langsung ia akan mendapatkan ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan juga bagi orang-orang yang berada di sekelilingnya. []