“Ini istrimu. Tolong jaga dia. Sekarang ia menjadi tanggung jawabmu. Jangan sampai engkau memukulnya,” pesan Abdul lirih kepada laki-laki yang bertaut 46 tahun dengan putrinya.
Mubadalah.id – Ia mengulumkan senyum pahit, tapi ia tak memiliki pilihan lain. Dengan menikahkan anak perempuannya yang masih berusia sembilan tahun dengan kakek beristri itu, keluarga Abdul akan mendapatkan kompensasi uang, domba, dan sebidang tanah. Harta yang ia dapat, menurutnya akan cukup untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarganya yang lain yang berjumlah tujuh orang.
Sejatinya, dalam hukum Afghanistan, menikahkan anak di bawah 15 tahun adalah tindakan illegal. Namun krisis pangan, angka pengangguran yang terus meningkat memaksa banyak orangtua, terutama di wilayah pedesaan ‘menjual’ anak perempuan mereka atas nama pernikahan.
Yang miris, keputusan menikahkan tersebut dilakukan secara sepihak. Anak perempuan seperti Parwana, tak pernah ditanya terlebih dulu. Yang ia tahu, saat sedang asyik bermain, tiba-tiba ayahnya meminta untuk pulang. Dan tak lama kemudian, ia dihadapkan pada pria tua yang akan menikahinya.
Masih belum usai keterkejutannya, laki-laki yang lebih cocok dipanggil kakek itu lalu membawanya masuk ke dalam mobil dan membawanya pulang. Penolakannya tak berarti apa-apa karena kekuatan fisiknya jauh lebih lemah dibandingkan desakan si bapak tua.
Kasus yang dialami gadis malang seperti Parwana sudah menjadi fenomena umum di negeri yang mengalami konflik berkepanjangan ini, terlebih ketika Taliban berkuasa kembali. Banyak keluarga yang khawatir akan keselamatan anak perempuan mereka jika kembali ke sekolah, akhirnya memilih menikahkan mereka demi kompensasi kebutuhan pokok keluarga besar. Sebab, bagi banyak orangtua di sana, ketika masa mengenyam pendidikan berakhir, sudah waktunya perempuan untuk menjadi istri, dan fokus pada pekerjaan domestik.
Di ibukota provinsi Badghis sendiri, ada orangtua lain yang menjual dua anak perempuannya sekaligus. Seorang berusia 6 tahun, satu lagi berumur 18 bulan. Ibu mereka, Fahima (25 tahun), menuturkan sembari menangis bahwa mereka terpaksa melakukannya.
Mereka tak lagi punya uang dan pekerjaan. Di satu sisi, utang mereka terus menumpuk tak terbayar. Ia menambahkan, suaminya mengatakan bahwa jika tak menikahkan anak mereka sedini mungkin, mereka bisa mati kelaparan. Dan ia hanya bisa mengangguk ketakutan dan pasrah.
Dampak pernikahan terlalu awal ini semakin mendorong kesejahteraan perempuan dan anak semakin rendah yang mengakibatkan tingginya kematian ibu dan bayi, hingga malnutrisi. Terhitung, sejumlah 3 juta anak Afghanistan menderita stunting. Namun di saat yang sama, harga makanan pokok terus meroket yang membuat banyak keluarga harus menderita kelaparan. Dari seluruh bayi yang baru lahir di Afghanistan, hanya 41% saja yang menerima inisiasi ASI dari sang ibu, yang lain dikabarkan hanya menerima air seadanya yang tersedia di sekitar mereka.
Meski tak semua orangtua menjual anaknya demi bertahan hidup, krisis ekonomi yang tak tentu di negara Asia Selatan ini tetaplah membahayakan kehidupan para perempuan di sana. Hal ini lah yang ditakutkan oleh seorang anak perempuan bernama Magul yang berdomisili di Provinsi Ghor. Meski ia yakin bahwa orangtuanya bersikeras tak ingin menikahkan dirinya, namun ia khawatir bahwa pemberi hutang keluarganya akan memaksa dan menjemputnya jika sang ayah tak segera melunasi tanggung jawabnya.
Dengan tangis yang ditahan Magul berkata, “aku benar-benar tidak menginginkannya (menikah dengan laki-laki tua). Jika mereka membuatku pergi, aku akan bunuh diri. Aku tidak ingin meninggalkan orang tuaku.”
Keluarga Magul tak sendiri. Mayoritas tetangganya mengalami masalah sama. Seorang keluarga yang ayahnya mengalami disabilitas, berpikir bahwa menikahkan Zaitun, anaknya yang masih berusia 4 tahun dengan ganti kompensasi uang adalah satu-satunya solusinya. Pergerakan terbatasnya akibat cacat fisik semakin menyulitkan ia mencari pekerjaan, terutama ketika lowongan pekerjaan semakin langka di wilayah nan tandus tersebut.
Reportase dari CNN tadi mengenai maraknya penjualan anak dengan kedok pernikahan mengukuhkan fakta bahwa krisis kemanusiaan di Afghanistan kian parah. Ketika Taliban tiba-tiba berkuasa pada Agustus lalu, para donor global, termasuk pemerintah Amerika Serikat memutuskan akses Afghanistan ke pendanaan internasional dan membekukan aset bank sentral Afghanistan sekitar $10 miliar yang disimpan di luar negeri, dalam upaya untuk menghentikan kelompok Islam garis keras mengakses uang itu. Kondisi tersebut sontak meruntuhkan keuangan publik, dan banyak pekerja berhenti menerima gaji, yang memperpanjang tekanan pada sistem perbankan negara.
Melihat kondisi Afghanistan yang terpuruk, akhirnya PBB mulai meluncurkan kembali bantuan kepada warga lokal melalui bantuan UMKM dan proyek infrastruktur mikro yang harapannya dapat membantu memulihkan ekonomi. Sayangnya, hal ini justru ditanggapi dengan sentimen negatif oleh Taliban. Mereka melarang transaksi dengan mata uang asing yang justru meningkatkan perluasan krisis di Afghanistan.
Apabila Taliban tak melunakkan kebijakan, dan pihak donor tidak membuka dialog, bisa dipastikan ekonomi Afghanistan akan sulit bangkit, dan kondisi malang yang dialami oleh Parwana dan Zaitun akan terus mengular ke anak-anak perempuan lain yang harus dikorbankan demi kelangsungan hidup keluarga.
Padahal anak-anak perempuan seperti mereka tak pernah meminta untuk dilahirkan. Ketika sudah lahir dan tumbuh besar, alih-alih menikmati kehidupan dengan keleluasan dan memperoleh pendidikan, mereka justru tak diberikan perlindungan. Kesempitan hidup memaksa mereka untuk dijual oleh orangtua yang seharusnya menjadi tempat kembali dan meluapkan kasih sayang. Seakan-akan mereka hanya barang yang dengan leluasa dipindahtangankan.
Kalau sudah begini, bukankah kita justru kembali ke zaman Jahiliyah? Teladan mana dari Rasul yang dengan mudahnya menikahkan anak demi harta benda? Prinsip dari Islam mana yang Taliban contoh dalam perlindungan anak perempuan? Jika kita semua tak menemukan jawabannya, bisa dipastikan tujuan mempraktikkan Islam yang Taliban tunjukkan hanyalah omong kosong tak berkesudahan. []