Mubadalah.id – Kehadiran perempuan dalam Muktamar NU ke-34 di Lampung, 22-24 Desember 2021 lalu menorehkan sejarah baru. Perempuan tak hanya di pinggiran, tapi hadir dalam empat dimensi: sebagai subyek, isu/tema, perspektif dan kelompok/organisasi.
Sebagai subyek perempuan hadir di Muktamar sebagai SC maupun OC dan terlibat dalam penyelenggaraan Muktamar, penyiapan draf-draf keputusan, mempresentasikannya hingga memimpin Sidang Komisi dan Pleno. Alissa Wahid memimpin Sidang Komisi dan Pleno Rekomendasi. Ida Fauziyah menyampaikan presentasi di Komisi Program Kerja, Yenny Wahid di Komisi Bahtsul Masail Maudhu’iyyah dan Badriyah Fayumi di Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah. Perempuan juga hadir di setiap sidang komisi dan aktif bersuara sebagai peserta. Notulis perempuan hadir di banyak komisi.
Isu dan tema perempuan juga hadir dengan jelas dan tegas. Komisi Rekomendasi mendesak pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), juga mendukung inisiatif RUU tentang kesejahteraan keluarga, ibu dan anak. Keluarga maslahah menjadi tema besar yang memayungi hidmah NU di berbagai bidang.
Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah menyepakati urgensi pengesahan RUU PPRT disertai usulan norma dan pasal berdasarkan argumen dan dalil keagamaan. Fatayat NU, dipimpin Ketua Umum Anggia Ermarini dan Sekum Margareth AM menggalang dukungan massif untuk pengesahan RUU TPKS.
Forum Ngopi (Ngobrol Pintar) yang diinisiasi oleh Luluk Nur Hamidah dan diorganisir oleh PMII dan KOPRI menghadirkan Maria Ulfah Anshor, Nur Rofiah, Badriyah Fayumi, dan Ida Fauziyah yang bicara berurutan tentang pentingnya pengesahan RUU TPKS dan PPRT. Merespon hal ini Wakil Ketua DPR A.Muhaimin Iskandar yang juga hadir menjamin RUU TPKS akan dibahas pada Januari 2022.
Silatnas Bu Nyai Nusantara yang dihadiri lebih dari 500 perempuan pengasuh pesantren merekomendasikan PBNU untuk membangun sistem pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di pesantren. Rumah Perempuan dan Anak menggelar Launching Hotline Layanan Pengaduan. RMI Putri Jateng menggelar Ngaji Bareng Keluarga Maslahah. Kekerasan seksual telah menjadi tema bersama, dan keluarga Maslahah an-Nahdhiyyah merupakan konsep besar yang ditawarkan menjadi salah satu solusinya, selain Undang-Undang.
Sebagai perspektif, kemaslahatan hakiki bagi lagi-laki dan perempuan yang meniscayakan adanya perspektif gender di dalamnya menjadi cara pandang yang menjiwai keputusan-keputusan komisi, khususnya program, rekomendasi dan bahtsul masail. Perspektif gender telah diintegrasikan dalam beragam tema besar, semisal kemandirian NU, hidmah NU untuk dunia, keberpihakan kepada kelompok mustadh’afin, usulan RUU Perubahan Iklim, pendidikan, pemberdayaan masyarakat, demokrasi, radikalisme, dll. Perspektif ini dikawal secara serius di setiap Komisi.
Sebagai organisasi/kelompok, Badan-badan otonom perempuan NU sebagai organisasi struktural NU dan forum-forum perempuan NU sebagai komunitas kultural hadir di Muktamar untuk bersilaturrahim sekaligus konsolidasi pemikiran dan gerakan. Forum Ngobrol Pintar menyuarakan pentingnya keterwakilan perempuan dalam struktur NU sebagai organisasi induk di semua tingkatan.
Silatnas Bu Nyai Nusantara merekomendasikan perlunya wadah khusus bagi pesantren putri dalam struktur NU, menguatkan RMI (organisasi pondok pesantren NU) yang sudah ada. Gagasan keterwakilan perempuan di struktur NU kali ini menguatkan gagasan yang sudah muncul sejak Muktamar ke-30 di Lirboyo tahun 1999.
Proses Panjang yang Perlu Dikokohkan
Apa yang terjadi dalam Muktamar NU ke-34 ini adalah hasil dari proses panjang yang sudah dirintis sejak era kepemimpinan Kyai Ilyas Ruchiyat–KH Abdurrahman Wahid dan terus berlangsung di era KH Sahal Mahfudh-KH Hasyim Muzadi. Gus Dur membuka ruang yang luas bagi perempuan. Sejak Muktamar Lirboyo perempuan NU selalu menginisasi forum-forum di luar forum resmi.
Pada periode KH Ma’ruf Amin-KH Miftachul Akhyar dan KH Said Aqil Siradj, 2015-2021, perempuan banyak masuk dalam kepengurusan Tanfidziyah PBNU, khususnya lembaga-lembaga, sebagai pimpinan dan anggota. Bahkan Ketua dan Sekretaris LKK PBNU adalah perempuan. Ini menjadi jalan bagi integrasi pemikiran dan gerakan ke dalam struktur inti NU, sekaligus menyambungkan aspirasi dan hidmah perempuan di badan-badan otonom khusus perempuan seperti Muslimat NU, Fatayat NU, IPPNU dan KOPRI yang sudah eksis dan berhidmah selama puluhan tahun.
Hadirnya perempuan yang tak lagi di pinggiran dalam Muktamar NU ke-34 ini tak lepas dari dialektika positif dua sisi, antara perempuan NU dan para kyai dan pengurus NU. Di satu sisi perempuan NU aktif mendialogkan pandangannya ke berbagai pihak, khususnya para kyai NU. Badan otonom dan lembaga NU yang dimotori perempuan berhasil menjalankan program-program yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Peran, prestasi dan kepemimpinan perempuan NU di berbagai bidang, di ranah negara maupun masyarakat, diterima dan diakui, mulai tingkat lokal hingga internasional. Di sisi lain kyai dan pengurus NU bersikap moderat, toleran, terbuka dan bijaksana, didukung oleh luasnya khazanah keilmuan Islam yang dimiliki. Dialektika positif ini berperan mendorong terjadinya pengarusutamaan gender di tubuh NU, sehingga perempuan bisa hadir dalam empat dimensi di forum permusyawaratan tertinggi NU.
Capaian ini diharapkan bisa ditindaklanjuti dan diperkokoh PBNU periode 2021-2026 di bawah kepemimpinan KH Miftachul Akhyar dan KH Yahya C.Staquf. Tidak hanya di Syuriyah yang sudah ada ulama perempuannya sejak era Nyai Khoiriyah Hasyim, meski sempat vacuum beberapa periode, perempuan juga diharapkan masuk dalam struktur inti Tanfidziyah semua tingkatan.
Kehadiran perempuan dalam struktur inti NU sebagai organisasi induk merupakan perwujudan dari prinsip tawazun (berkeseimbangan) yang dimiliki NU, agar hidmah NU untuk agama, bangsa dan dunia (lebih) membawa kemaslahatan hakiki bagi perempuan dan laki-laki. Lebih dari itu laki-laki dan perempuan adalah dua sayap peradaban yang harus sama-sama mengepak jika NU ingin terbang tinggi secara seimbang untuk membangun peradaban. []