Mubadalah.id – Video ceramah seorang muballigh perempuan berdurasi tak kurang dari dua menit baru-baru ini viral dan menjadi perbincangan. Cuplikan tersebut berasal dari sesi pengajian 2 tahun lalu di Masjid Al-Muhajirin, Magelang. Menyusul kontroversi yang mengiringinya, versi lebih lengkap. Meski tidak penuh dari awal hingga akhir, diunggah (ulang) dengan judul “Jangan Ceritakan Aib Pasangan di Sosmed” tak beberapa lama kemudian.
Lepas dari fakta bahwa video tersebut dipotong dan adanya klarifikasi susulan dari si muballigh melalui berbagai platform media sosialnya, kejadian ini tak pelak membuat wacana soal KDRT menguak kembali. Padahal, sebagai praktik yang menjadi concern publik, regulasi tentang perilaku ini terbilang sudah selesai melalui Pasal 44 KUHP dan UU no 3 tahun 2004.
Hal penting yang tidak boleh kita lupakan dari kejadian ini adalah konteks ketika narasi tersebut tersampaikan. Forum tampak tergelar di sebuah masjid dengan audience perempuan. Sampai di sini, dapat kita maklumi jika yang disasar dalam narasi-narasinya adalah perempuan. Mulai dari cerita dengan setting Jeddah, yang masuk dalam potongan video, hingga dua isteri Isma’il ketika berinteraksi dengan Ibrahim.
Alih-alih sebagai topik utama, KDRT sebenarnya adalah cerita pelengkap. Tema utamanya justru perihal rahasia (aib) rumah tangga yang ia anjurkan agar tidak dibocorkan pada orang lain. Termasuk orang tua dan teman terdekat. Orang tua dikhawatirkan terbebani secara psikologis sementara teman terdekat anggapannya sulit menjaga rahasia. Karena setiap orang memiliki teman dekat untuk berbagi, termasuk rahasia rumah tangga orang lain.
Kekerasan tetaplah Kekerasan
Namun begitu, kekerasan tetap kekerasan. Ada relasi kuasa yang sangat mungkin menjadi sebab sekaligus alasan di baliknya. Jika cerita tersebut menggambarkan suami sebagai pelaku pemukulan, ini sangat mungkin terjadi karena ia memiliki posisi dominan sehingga merasa berhak atau sah-sah saja melakukan KDRT.
Posisi demikian bisa terjadi karena ia menjadi pencari nafkah tunggal keluarga sehingga istri—dan terutama anak-anak—memiliki ketergantungan penuh. Jika tidak demikian, kondisi kulturlah yang melegalkan atau paling tidak mendukung tindakan tersebut.
***
Di beberapa masyarakat, termasuk di Madura, narasi perihal KDRT masih menjadi semacam wacana yang mengawang-awang. KDRT seperti hanya ada di konten infotainment, reportase, pemberitaan media ataupun kisah perceraian di pengadilan sementara di akar rumput, KDRT dianggap nyaris tidak ada. Pada konteks suami sebagai pelaku KDRT seperti cerita yang dikutip dalam video tersebut, KDRT seringkali justru dianggap sebagai instrument pendidikan, privilege, bahkan konsekuensi transaksional.
Instrumen Pendidikan
Pertama, sebagai instrumen pendidikan, KDRT dalam arti kekerasan fisik seperti memukul, menampar, dan lain sebagainya sering dianggap sebagai cara mendidik. Relasi kuasa jelas sangat bermain di sini. Ketika suami diposisikan sebagai pihak yang dalam kondisi apapun, berkewajiban mendidik isteri. Karena itu ia bisa memilih metode pendidikan sesukanya, termasuk dengan KDRT.
Narasi pertama ini terlegitimasi beberapa asumsi yang cenderung mensimplifikasi persoalan dan bukan tidak kita ketahui fallacy-nya. Namun tetap dipertahankan dari waktu ke waktu. Asumsi-asumsi tersebut di antaranya adalah perihal perempuan yang tercipta dari tulang rusuk. Sehingga harus suami luruskan, dan suami yang mendapatkan ‘peralihan’ tanggung jawab dari ayah mertuanya, hingga mitos superioritas lelaki dalam hal agama, intelektual, maupun emosional.
Asumsi-asumsi yang sangat bias karena hanya menyasar satu pihak—padahal kesalahan bisa siapapun yang melakukannya. Ini umumnya berakar dari penafsiran teks keagamaan (utamanya QS 4: 34) yang miopik dan disokong oleh pola pikir patriarkhi. Dua hal tersebut berkolaborasi secara mutualistik untuk saling menguatkan dan melanggengkan tanpa membuka celah untuk variable lain semisal hak asasi manusia, perlindungan perempuan, kesetaraan keduanya dalam hak serta kewajiban dan peran sebagai khalifah di muka bumi, dan sebagainya.
Hak Istimewa Laki-laki
Kedua, sebagai privilige atau hak istimewa laki-laki selaku pihak yang ia sebut-sebut ‘menentukan’ nasib istrinya kelak di akhirat. Narasi perihal rida (kerelaan) suami terhadap istri yang hingga saat ini belum kita imbangi pola pikir yang resiprokal. Misalnya bahwa kerelaan istri terhadap suami juga sangat krusial, adalah apologi yang sering kali mereka gunakan untuk melegitimasi KDRT.
KDRT kemudian dianggap wajar suami lakukan jika dengan demikian ia dapat rida terhadap isterinya. Padahal, bagaimana mungkin seseorang yang secara moral tidak legitimate dapat memberi legitimasi turunan kepada orang lain?
Pandangan semacam ini lagi-lagi berakar kuat dari pembacaan yang bias terhadap teks-teks keagamaan. Seperti dalam cerita yang disitir dalam potongan video tersebut, sosok istri salehah justru tergambarkan sebagai mereka yang berkomitmen kepada suami. Dalam keadaan apapun, dan bagaimanapun karakter moral suaminya.
Ini tampak setali dengan riwayat yang diketahui dha’if (lemah dan karenanya tidak bisa dijadikan hujjah) tentang seorang istri pada zaman Rasulullah yang bahkan tidak mau keluar rumah untuk menjumpai ayahnya yang sakit, lalu meninggal dunia karena mempertahankan janji pada sang suami untuk tidak ke mana-mana.
Dalam suasana di Jazirah Arab 14 abad yang lalu, konteks demikian barangkali cukup beralasan. Namun demikian, dalam konteks Indonesia hari ini ketika perempuan sudah bisa dan terbiasa mengakses fasilitas umum, berkendara, berjejaring, dan berperan baik dalam ranah domestik dan publik, janji demikian menjadi tidak relevan dan ngawur.
Prinsip yang kita pegang teguh seharusnya bukanlah pada person atau dalam hal ini suami, tetapi spirit atau nilai yang mendasarinya. Jika spirit-nya adalah melindungi istri, maka nilai untuk birru al-walidayn bisa menjadi pembanding untuk lebih bijak mengambil keputusan.
Konsekuensi Transaksional
Ketiga, konsekuensi transaksional. Hingga hari ini, tidak sedikit yang masih berpandangan bahwa mas kawin dan atau nafkah yang notabene merupakan kewajiban suami memungkinkannya untuk menuntut apapun terhadap istri. Termasuk merelakan diri menjadi sasaran KDRT.
Ini mau tak mau menempatkan isteri pada posisi simalakama sekaligus jatuh dan masih tertimpa tangga. Jika speak up, ia harus siap dengan berbagai rundungan dan tuduhan yang memojokkan. Sementara jika diam, ia sangat berpotensi semakin menderita secara fisik maupun mental.
Sayangnya lagi, ancaman fisik maupun psikis semacam ini tak banyak kita sadari. Sehingga korban KDRT cenderung diam dan justru sabar serta nrimo tanpa mencari solusi berarti. Ada yang bahkan menyamakan sikap ini dengan bakti kepada suami yang ia percaya sebagai kewajiban mutlak istri. Label sebagai istri sabar nan salehah serta calon penghuni surga justru tersematkan pada istri yang mengambil pilihan ini seperti dalam narasi di video.
Sebaliknya, antitesis seperti pembangkang, pemberontak, dan semacamnya menjadi label pada mereka yang berani speak up. Tak jarang bahkan mereka dituduh sebagai biang masalah yang tanpa ulah atau tindakannya, suami dipercaya tidak akan melakukan KDRT.
Kritis dan Berimbang
Excuse berlapis terhadap perilaku KDRT suami menjadikannya seperti kebal hukum. Lalu bebas dari kesalahan sementara isteri justru mereka hujani berbagai tuduhan karena keberaniannya. Padahal, mengumpulkan keberanian untuk speak up kita akui tidak hanya membutuhkan banyak waktu, tetapi juga emosi, energi dan support system.
Pembacaan kritis, dan berimbang terhadap teks-teks keagamaan yang relevan. Lalu kajian ulang terhadap konstruksi kultur terkait KDRT, menjadikan speak up sebagai satu-satunya pilihan yang mutlak harus korban ambil. Selain memutus rantai KDRT dalam kehidupan bermasyarakat hingga berbangsa, ini akan lebih terasa dampaknya di lingkungan keluarga.
Bagaimanapun, perilaku KDRT dan pendiaman atas perilaku tersebut sangat mungkin kita wariskan pada anak dari keluarga KDRT sebagai pelaku dan atau korban. Pelaporan kasus KDRT pada pihak yang tepat tidak hanya akan memberi efek jera pada pelaku. Tetapi juga mental support yang berarti bagi korban dalam proses kesembuhannya. []