• Login
  • Register
Minggu, 8 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Atur Pengeras Suara Demi Kenyamanan dan Toleransi

Saat ini, dengan perkembangan teknologi yang ada, sebetulnya akses bagi umat muslim untuk mendapatkan pengingat waktu shalat sudah semakin mudah

Irma Khairani Irma Khairani
02/11/2022
in Publik
0
Atur Pengeras Suara Demi Kenyamanan dan Toleransi

Atur Pengeras Suara Demi Kenyamanan dan Toleransi

124
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Setelah sebelumnya jagat maya dihebohkan dengan tweet marah-marah netizen yang kesal karena saat ia memesan makanan dan meminta untuk tidak diberikan sendok plastik dalam pesanannya, tetapi si penjual tetap menaruh sendok plastik dalam pesanan tersebut, dan netizen lainnya yang marah-marah karena kesal diminta untuk memastikan apakah pada handphone canggihnya terdapat pulsa saat sedang mengurus m-banking di salah satu bank.  Artikel ini akan membahas atur pengeras suara demi kenyamanan dan toleransi.

Atur Pengeras Suara Demi Kenyamanan

Saat ini, netizen sedang heboh dan kepanasan karena video penjelasan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengenai peraturan yang baru saja dikeluarkan mengenai besar volume suara toa masjid atau mushala, dianggap tak pantas. Peraturan tersebut tertuang dalam Surat Edaran No. SE 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.

Dalam video, Menteri Yaqut menjelaskan tentang volume suara toa masjid atau mushala yang jika berlantun bersamaan dengan suara yang keras berpotensi untuk mengganggu, dan ia membandingkannya dengan suara gonggongan anjing yang bersamaan di suatu komplek. Keduanya sama-sama akan mengganggu ketenangan masyarakat sekitar.

Menteri Yaqut menyampaikan penjelasan mengenai aturan yang sedang dibahas dengan menggunakan metafora. Metafora merupakan pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan.

Sontak, respons masyarakat tak begitu baik terhadap penjelasan yang disampaikan. Masyarakat saat ini sepertinya begitu mudah untuk “take it personal” (baca: baper) dengan segala sesuatu yang ada dan muncul, tanpa terlebih dahulu memahami dengan baik apa substansi yang ingin disampaikan dengan pikiran rasional yang mereka miliki.

Baca Juga:

Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

Pentingnya Menanamkan Moderasi Beragama Sejak Dini Ala Gus Dur

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, Menteri Yaqut sebenarnya menggunakan metafora untuk menjelaskan gangguan yang dapat dirasakan oleh masyarakat akibat adanya suara yang menyebabkan kebisingan.

Berbicara mengenai peraturan yang baru saja diedarkan, di sana diatur mengenai fungsi dan tujuan dari pengeras suara dan tata cara penggunaannya, yang mana salah satunya mengatur besar volume pengeras suara yang mesti sesuai dengan kebutuhan dengan besar maksimal volumenya 100 dB (seratus desibel).

Peraturan tersebut bukan tanpa alasan. Mengutip Tirto.id yang menyampaikan bahwa Badan Keselamatan kerja Amerika Serikat, National Institute for Occupational Safety and Health (NIOS) dan Occupational Safety and Health Associaton (OSHA) menetapkan batas aman paparan suara berada di level 85dB. Maka, jika telinga kita terpapar suara lebih dari 85 dB secara terus-menerus ada potensi merusak telinga. Semakin tinggi ukuran disebel, maka semakin berpotensi untuk merusak telinga dan kita dapat kehilangan fungsi pendengaran.

Tak hanya alasan kesehatan. Aturan tersebut juga dibuat untuk meningkatkan toleransi antar umat beragama secara khusus dan masyarakat secara umum. Merujuk pada infografis yang dipublish oleh shebuildpeace.id, ada beberapa alasan diterbitkannya SE Menag mengenai Pengeras Suara Masjid ini. Pertama, Indonesia beragam, dalam satu komunitas terdapat banyak agama, bukan hanya orang Islam. Kedua, orang yang sedang sakit membutuhkan suasana yang tenang.

Ketiga, memperhatikan kebutuhan khas perempuan saat melahirkan dan menyusui yang membutuhkan suasana tenang. Keempat, memperhatikan kebutuhan anak-anak khususnya bayi yang harus beristirahat dalam suasana tenang. Kelima, memperhatikan kebutuhan pekerja yang harus bekerja di suasana yang tenang. Seperti voice recording, content creator, pekerja yang sedang rapat atau lainnya. Inti dari semua alasan tersebut yaitu, aturan yang diterbitkan bertujuan untuk kebaikan semua orang.

Kumandang adzan yang disiarkan melalui pengeras suara memiliki sejarahnya sendiri. Awalnya, ketika Islam mulai disebarkan dan berekspansi dari wilayah padang pasir menuju wilayah dengan topografi perbukitan dan berudara lembab, saat itulah diperlukan suara yang cukup keras agar kumandang adzan dapat terdengar jauh. Maka, dibangunlah bangunan tinggi yang disebut menara sebagai tempat untuk adzan.

Jauh setelah itu, cara-cara mengingatkan umat Islam untuk shalat semakin berkembang. Di Indonesia, mengutip Historia.id, pada tahun 1960-an toa (alat pengeras suara) masuk ke Indonesia. Namun, seorang pengkaji Islam di Indoesia yaitu G.F. Pijper menyaksikan kehadiran pengeras suara di masjid Indonesia jauh sebelum 1960-an. Disampaikan pula, perdebatan dan polemik mengenai penggunaan pengeras suara sebagai sarana mengumandangkan adzan telah ada sejak jaman kolonial.

Saat ini, dengan perkembangan teknologi yang ada, sebetulnya akses bagi umat muslim untuk mendapatkan pengingat waktu shalat sudah semakin mudah. Telah banyak aplikasi dalam gawai yang menyediakan fitur pengingat waktu shalat. Jadi, cara-cara kuno yang sekiranya memiliki dampak kurang baik bagi masyarakat dapat dikurangi atau bahkan ditinggalkan, dan kita dapat beralih ke cara-cara yang lebih mudah dan kekinian.

Aturan yang disebarkan mengenai Pengeras Suara Masjid ini merupakan aturan yang biasa-biasa saja, ketika memang kita umat Islam sebagai agama mayoritas telah memiliki rasa toleransi yang tinggi. Apalagi, dengan perkembangan teknologi yang ada, kita sudah semakin mudah untuk mendapatkan pengingat waktu shalat sehingga kita dapat meminimalisir hal yang sebenarnya selama ini mengganggu banyak orang, tetapi mereka tak memiliki keberanian untuk menggugat karena harus berhadapan dengan mayoritas.

Dengan menerima aturan ini, kita ikut menerima bahwa memang ada yang terganggu atau bahkan diri kita sendiri yang mungkin tak jarang juga terganggu dengan adanya suara adzan yang terlalu keras dan bising, dan kita dapat meningkatkan rasa toleransi terhadap sesama warga negara. Yuk, jangan mudah terbawa amarah dan mulai menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang mengarah pada kebaikan. []

Tags: KeberagamaanModerasi BeragamaPerdamaianToa Masjidtoleransi
Irma Khairani

Irma Khairani

Irma telah rampung menamatkan studi sarjana Ilmu Politik di Universitas Nasional. Isu gender, pendidikan, dan politik adalah minatnya, saat ini aktif di komunitas Puan Menulis.

Terkait Posts

Jam Masuk Sekolah

Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

7 Juni 2025
Iduladha

Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban

7 Juni 2025
Masyarakat Adat

Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

7 Juni 2025
Toleransi di Bali

Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

7 Juni 2025
Siti Hajar

Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

7 Juni 2025
Relasi Kuasa

Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

7 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Jam Masuk Sekolah

    Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • 7 Langkah yang Dapat Dilakukan Ketika Anda Menjadi Korban KDRT
  • Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan
  • Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID