Mubadalah.id – Pada tulisan sebelumnya, saya menulis tentang “Membincang Dekolonisasi Feminisme.” Dilanjut kemudian dengan pemaparan Mba Lies yang mengangkat data-data sejarah yang dapat mematahkan kemutlakan hasil sebuah pembacaan.
Sebagian feminis dengan ‘frame’ Amerika-Eropa modern menilai, dunia Islam secara umum memiliki praktik penindasan akut terhadap perempuan, dengan bukti-bukti tradisi yang berjalan, cara berpakaian maupun ajaran-ajaran yang disakralkan. Data-data sejarah dari kawasan yang berbeda dari asal ‘frame ‘ terbentuk, ini membuat hasil pembacaannya perlu diperiksa ulang.
Mba Lies menyebutkan tokoh Fatimah al Fihri, pendiri universitas pertama dan tertua di dunia, yaitu universitas al Qawariyyin di kota Fez Maroko pada awal abad 9. Pada masa itu, seorang perempuan muslim dengan semua tradisi dan penampilannya, ternyata dapat mengelola hartanya sendiri untuk tujuan mengembangkan peradaban yang dilakukan dengan strategis.
Sebagai pembanding, hukum positif Belanda di wilayah jajahan hingga abad 19 (seribu tahun kemudian dari masa Fatimah al Fihri ) perempuan bahkan masih diwakilkan ketika mendapatkan warisan. Mba Nursyahbani Kacasungkana yang turut memberi komentar dalam diskusi itu, menambahkan, dalam Hukum Keluarga di masa kolonial, untuk urusan perdata, perempuan belum mempunyai posisi sebagai subyek hukum, sementara Khadijah istri nabi kala itu sudah aktif berdagang.
Berkaitan dengan kepemimpinan politik, di nusantara pun sudah ada sultanah-sultanah atau raja perempuan di kerajaan Aceh Darussalam, pada saat para perempuan Eropa dan Amerika baru memiliki hak memilih di abad 20.
Sebagai catatan, ada 4 Sultanah yang berkuasa di Aceh Darusalam. Sultanah Safiatudin (memerintah tahun 1641-1675) memiliki gelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul ‘alam Syah Johan berdaulan Zillu llahi fil ‘alam binti al marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah.
Kedua, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah (memerintah 1675-1677), Ketiga, Sultanah Inayah Zakiyatuddin (memerintah tahun 1677-1688) dan Keempat, Sultanah Kamal Zakiyatuddin Syah (1688-1699). Kerajaan ini juga pernah memiliki panglima armada laut perempuan Malahayati dan pejuang penggerak Cut Nyak Dien, Cut Meutia dll.
Data-data sejarah ini mempertegas keragaman sosial-budaya di dunia yang mengingatkan pentingnya masyarakat dalam tiap kebudayaan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri secara merdeka, dan menggunakan cara pikir yang paling relevan dengan konteks mereka tersebut saat menanggapi suatu masalah, agar substansi kesetaraan, keadilan dan kedamaian dalam tiap masyarakat yang beragam tersebut tercapai.
- Kesadaran pentingnya mengonstruksi pengetahuan secara merdeka.
Mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman dan budaya masyarakat sendiri adalah bagian penting dari pemerdekaan berfikir, realisasi nilai kesetaraan untuk keadilan dan perdamaian. Mengapa pengetahuan yang dikonstruksi sendiri dan tidak memaksakan menggunakan pengetahuan dari budaya yang berbeda sangat penting, ada 6 hal yang menurut Mba Lies penting diperhatikan;
Pertama, konsep pembebasan dalam feminis Barat, adalah pembebasan dari ketertindasan semata antarmanusia, sehingga yang disorot pada pola relasinya. Pada feminisme Islam, pembebasan bersifat holistik, tidak berhenti pada pembebasan dalam relasi antarmanusia yang timpang, namun pembebasan atas kondisi yang ditimbulkan oleh adanya praktik mempertuhan dari selain Allah; baik mempertuhan harta, kedudukan sosial, anak suami, penguasa dsb.
Kedua, kesetaraan dalam feminisme adalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan saja. Sementara feminisme dalam Islam, Hindu, Buddha maupun teologi oikomene di dunia Kristiani, adalah kesetaraan sebagai buah dari sikap hidup hanya mempertuhan Tuhan, sementara semua ciptaan adalah setara. Karena itu eksploitasi sumberdaya yang merusak lingkungan misalnya, juga menjadi bagian dari perjuangan para feminis di negara-negara Selatan.
Ketiga, konsep adil dalam Islam bersifat diskursif atau berada dalam proses. Misalnya soal poligami, waris, saksi, yang tertera dalam teks-teks suci harus dipahami secara utuh, tidak dibaca sepotong-sepotong. Teks-teks tersebut menggambarkan proses yang beranjak dari pernyataan yang mengacu pada konteks situasi masyarakat, kemudian didorong secara gradual menuju perubahan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan sebagai hal yang paling dekat dengan takwa.
Keempat, dalam Islam (dan banyak budaya di Timur lainnya) tidak ada pembagian ruang publik dan privat untuk laki-laki dan perempuan yang ketat. Para penjajahlah yang telah membuat aturan aturan merumahkan para perempuan, termasuk untuk masyarakat jajahan mereka .
Kelima, dalam hal seksualitas, para penjajah juga menanamkan konsep binner. Di Islam dan beberapa agama dikenal ada jenis kelamin ketiga. Ini terkait dengan pandangan tentang manusia yang bukan sekedar mahluk ketubuhan, melainkan juga mahluk ruhani.
Keenam, demikian pula dalam soal pembagian kerja produksi dan reproduksi, dalam Islam terdapat kelenturan di mana para laki-laki muslim dalam masyarakat Islam sebagaimana di bayak tradisi di Timur juga melakukan pekerjaan belanja, memasak dan pekerjaan-pekerjaan lain yang dapat dipertukarkan dengan perempuan.
Kritik ini sangat berguna dalam dinamika pembaharuan gerakan yang perlu terus dilakukan seiring mekarnya kesadaran tentang keragaman budaya, dan perubahan yang juga makin memperkaya keragaman manusiawi. Agar tidak ada cara pikir yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh feminisme sendiri, maka dekolonisasi feminisme ini menjadi suatu kebutuhan.
Tullisan kecil semoga bisa mewakilii hadiah ulang tahun Mba Lies Marcoes pada 17 Februari 2022 lalu, semoga sehat selalu, panjang umur dan terus menginspirasi. []