Mubadalah.id – Tepat satu Minggu yang lalu (10/05/2022) berita disalah satu portal online mengabarkan kasus kekerasan (pemerkosaan) yang dilakukan oleh seorang bapak pada anak kandungnya, yang terjadi di kabupaten tempat saya tinggal. Berita ini seakan menambah daftar rape culture. Informasi yang saya ketahui, setelah salah seorang teman mengirimkan link berita dan bertanya, kok bisa ya, ada kasus seperti ini di kabupaten kecil? Padahal baru aja ada angin segar UU TPKS ditanda tangani, malah muncul berita panas seperti ini. Kasus-kasus kekerasan seksual terlebih pemerkosaan, sering menjadi headline yang kerap kali muncul di portal berita.
Mengutip dari postingan instagram KEMENPPPA pada 5 April 2022, terdapat kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh ayah korban. Seperti kasus 2018 di Lampung yang dilakukan pada anak dengan keterbelakangan mental oleh ayah kandung, kakak kandung, dan adik kandung. Begitu pula kasus di tahun 2022 yang terjadi di Semarang, Solo, dan Balaraja yang dilakukan oleh ayah kandung kepada anaknya. Selain itu, kasus yang sempat viral di media sosial terkait pemerkosaan salah satu mahasiswi yang berakhir meninggal dunia, juga dilakukan oleh orang terdekatnya (pacar). Data-data tersebut menyiratkan jika rape culture memang ada di sekitar kita.
Maraknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang-orang terdekat entah itu oleh orang tua (kandung atau tiri) pada anaknya, guru pada muridnya, saudara, bahkan teman disebabkan karena masyarakat masih melakukan normalisasi rape culture. Bahkan tak jarang, tindakan pemerkosaan yang dilakukan disalah-artikan sebagai bentuk edukasi seksual bagi anak yang tidak normal secara norma masyarakat.
Fenomena Normalisasi Rape Culture
Sejak tahun 1970-an feminis gelombang kedua dari Amerika mempopulerkan istilah rape culture atau budaya pemerkosaan ini. Meski sudah populer sejak lama, tidak serta-merta menghapuskan permasalahan kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi. Karena masyarakat sudah lebih dulu memvalidasi dan menormalisasi tindakan kekerasan dan pelecehan seksual, yang mereka temui melalui berbagai hal di lingkungan, mulai dari bahasa, peraturan, budaya, hukum, dan masih banyak lagi lainnya.
Kondisi masyarakat yang mengira bahwa terminologi rape culture hanya membahas tentang pemerkosaan dan mengurangi kasus pemerkosaan, mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia darurat edukasi rape culture. Karena pada dasarnya ada kompleksitas antara dinamika hubungan, budaya, dan sistem sosial yang ada di masyarakat merupakan hal yang mendorong masih langgengnya beragam tindakan kekerasan seksual dan pelecehan seksual, bahkan dilakukan oleh orang terdekat korban.
Bahkan lebih jauh, orang-orang yang dianggap tidak sesuai dengan standart masyarakat secara seksualitas maka boleh untuk diperkosa, atau yang diistilahkan dengan corrective rape. Tujuannya adalah untuk memberikan hukuman atas tindakan yang dianggap “abnormal” oleh masyarakat agar orang tersebut lurus kembali sesuai dengan norma-norma yang ada di masyarakat.
Dalam kasus ini pula, pelaku sering kali adalah orang-orang terdekat korban, seperti halnya kasus Elliot (transgender) yang kehilangan rasa bangga pada dirinya sendiri, dan akhirnya diperkosa oleh ayah kandungnya. Ada pula kasus Juli (42 tahun) yang diperkosa oleh pamannya dengan dalih untuk menjadikannya ‘perempuan yang benar-benar perempuan’. Dan tentu masih banyak kasus di luar sana yang tidak terdokumentasikan, sebab lagi-lagi fenomena rape culture ini dianggap suatu hal yang normal di masyarakat.
Upaya Mengurangi Fenomena Rape Culture di Masyarakat
Tidak ada toleransi dan normalisasi untuk tindakan pelecehan dan kekerasan seksual. Hal utama yang harus dilakukan adalah dengan memutus mata rantai toleransi pada segala bentuk tindak kekerasan. Pada dasarnya rape culture yang dinormalisasi di masyarakat berasal dari bagaimana respon yang diberikan ketika ada tindak kekerasan dan pelecehan seksual. Sehingga, perlu untuk tidak lagi menganggap tindakan-tindakan tersebut sebagai bentuk candaan atau hal yang diwajarkan, akan tetapi segala bentuk tindak kekerasan adalah bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
- Hentikan siklus victim blamming yang justru memperburuk trauma korban. Langkah selanjutnya, setelah menghindari dan memutus rantai normalisasi maka perlu kemudian kita memiliki pemikiran dan perspektif yang berpihak pada korban. Seperti apapun kasus dan kronologi yang dialami, pengalaman dan perasaan yang dirasakan oleh korban adalah suatu hal yang valid, dan jangan sampai kemudian dihakimi sepihak dengan menyalahkan korban.
- Mendefinisikan kembali makna maskulinitas bagi laki-laki, hal ini dikarenakan rape culture yang terjadi disebabkan oleh masih tingginya ekspektasi masyarakat terhadap maskulinitas laki-laki. Sehingga, ketika terjadi tindak kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki dianggap suatu hal yang wajar. Mendefinisikan kembali maskulinitas adalah langkah yang tepat, agar pemahaman terkait posisi laki-laki dan perempuan adalah setara sebagai manusia, ketika salah satu menjadi korban maka harus diperjuangkan hak-haknya.
- Meluaskan edukasi dan pemahaman terkait rape culture, langkah ini diambil untuk mengurangi darurat edukasi pada generasi-generasi muda. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kompleksitas dari rape culture mengharuskan pemahaman masyarakat secara mendalam. Dengan demikian, ke depan tindakan-tindakan kekerasan dan pelecehan seksual tidak lagi dianggap sebagai suatu hal yang wajar, akan tetapi memiliki dampak yang besar bagi kehidupan korban. Edukasi di sini juga bertujuan untuk menguatkan pemahaman dalam menghadapi kondisi saat harus mendampingi korban kekerasan di lingkungannya.
- Menggunakan pendekatan interseksionalitas untuk melihat realitas yang ada di masyarakat. Telah disebutkan sebelumnya, kompleksitas dari Rape culture mencakup kaitannya dengan budaya dan dinamika sosial masyarakat. Sehingga pendekatan interseksionalitas sangat diperlukan, terlebih ketika menghadapi kasus Corrective Rape yang juga sering terjadi pada korban yang memiliki kerentanan lebih tinggi. Hal ini bersumber dari krisis kemanusiaan yang masih rendah dan berdampak pada diskriminasi pada kelompok rentan yang berujung tindakan kekerasan dan pelecehan seksual yang diwajarkan.
Langkah-langkah tersebut dapat menjadi pijakan awal, untuk mengurangi normalisasi rape culture yang masih menjamur di masyarakat kita. Kuatnya sistem patriarki tentu menjadi sebab peliknya proses untuk mengurangi dampaknya bagi masyarakat. Akan tetapi setidaknya langkah-langkah kecil yang kita ambil bisa dimulai dari diri kita sendiri, dan dapat menjadi langkah awal yang semoga mampu mengurangi dampak yang terjadi, salah satunya dengan menghentikan normalisasi rape culture di masyarakat. []