• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

5 Hal yang Dapat Dilakukan untuk Mengurangi Normalisasi Rape Culture

Kondisi masyarakat yang mengira bahwa terminologi rape culture hanya membahas tentang pemerkosaan dan mengurangi kasus pemerkosaan, mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia darurat edukasi rape culture

Nuril Qomariyah Nuril Qomariyah
18/05/2022
in Personal
0
Rape Culture

Rape Culture

239
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Tepat satu Minggu yang lalu (10/05/2022) berita disalah satu portal online mengabarkan kasus kekerasan (pemerkosaan) yang dilakukan oleh seorang bapak pada anak kandungnya, yang terjadi di kabupaten tempat saya tinggal. Berita ini seakan menambah daftar rape culture. Informasi yang saya ketahui, setelah salah seorang teman mengirimkan link berita dan bertanya, kok bisa ya, ada kasus seperti ini di kabupaten kecil? Padahal baru aja ada angin segar UU TPKS ditanda tangani, malah muncul berita panas seperti ini.  Kasus-kasus kekerasan seksual terlebih pemerkosaan, sering menjadi headline yang kerap kali muncul di portal berita.

Mengutip dari postingan instagram KEMENPPPA pada 5 April 2022, terdapat kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh ayah korban. Seperti kasus 2018 di Lampung yang dilakukan pada anak dengan keterbelakangan mental oleh ayah kandung, kakak kandung, dan adik kandung. Begitu pula kasus di tahun 2022 yang terjadi di Semarang, Solo, dan Balaraja yang dilakukan oleh ayah kandung kepada anaknya. Selain itu, kasus yang sempat viral di media sosial terkait pemerkosaan salah satu mahasiswi yang berakhir meninggal dunia, juga dilakukan oleh orang terdekatnya (pacar). Data-data tersebut menyiratkan jika rape culture memang ada di sekitar kita.

Maraknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang-orang terdekat entah itu oleh orang tua (kandung atau tiri) pada anaknya, guru pada muridnya, saudara, bahkan teman disebabkan karena masyarakat masih melakukan normalisasi rape culture. Bahkan tak jarang, tindakan pemerkosaan yang dilakukan disalah-artikan sebagai bentuk edukasi seksual bagi anak yang tidak normal secara norma masyarakat.

Fenomena Normalisasi Rape Culture

Sejak tahun 1970-an feminis gelombang kedua dari Amerika mempopulerkan istilah rape culture atau budaya pemerkosaan ini. Meski sudah populer sejak lama, tidak serta-merta menghapuskan permasalahan kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi. Karena masyarakat sudah lebih dulu memvalidasi dan menormalisasi tindakan kekerasan dan pelecehan seksual, yang mereka temui melalui berbagai hal di lingkungan, mulai dari bahasa, peraturan, budaya, hukum, dan masih banyak lagi lainnya.

Kondisi masyarakat yang mengira bahwa terminologi rape culture hanya membahas tentang pemerkosaan dan mengurangi kasus pemerkosaan, mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia darurat edukasi rape culture. Karena pada dasarnya ada kompleksitas antara dinamika hubungan, budaya, dan sistem sosial yang ada di masyarakat merupakan hal yang mendorong masih langgengnya beragam tindakan kekerasan seksual dan pelecehan seksual, bahkan dilakukan oleh orang terdekat korban.

Baca Juga:

Kekerasan Seksual Bisa Dicegah Kalau Islam dan Freud Ngobrol Bareng

Korban KBGO Butuh Dipulihkan Bukan Diintimidasi

Difabel dan Kekerasan Seksual: Luka yang Sering Tak Dianggap

Dr. Nur Rofiah Tegaskan Pentingnya Mengubah Cara Pandang untuk Hentikan Kekerasan Seksual pada Anak

Bahkan lebih jauh, orang-orang yang dianggap tidak sesuai dengan standart masyarakat secara seksualitas maka boleh untuk diperkosa, atau yang diistilahkan dengan corrective rape. Tujuannya adalah untuk memberikan hukuman atas tindakan yang dianggap “abnormal” oleh masyarakat agar orang tersebut lurus kembali sesuai dengan norma-norma yang ada di masyarakat.

Dalam kasus ini pula, pelaku sering kali adalah orang-orang terdekat korban, seperti halnya kasus Elliot (transgender) yang kehilangan rasa bangga pada dirinya sendiri, dan akhirnya diperkosa oleh ayah kandungnya. Ada pula kasus Juli (42 tahun) yang diperkosa oleh pamannya dengan dalih untuk menjadikannya ‘perempuan yang benar-benar perempuan’. Dan tentu masih banyak kasus di luar sana yang tidak terdokumentasikan, sebab lagi-lagi fenomena rape culture ini dianggap suatu hal yang normal di masyarakat.

Upaya Mengurangi Fenomena Rape Culture di Masyarakat

Tidak ada toleransi dan normalisasi untuk tindakan pelecehan dan kekerasan seksual. Hal utama yang harus dilakukan adalah dengan memutus mata rantai toleransi pada segala bentuk tindak kekerasan. Pada dasarnya rape culture yang dinormalisasi di masyarakat berasal dari bagaimana respon yang diberikan ketika ada tindak kekerasan dan pelecehan seksual. Sehingga, perlu untuk tidak lagi menganggap tindakan-tindakan tersebut sebagai bentuk candaan atau hal yang diwajarkan, akan  tetapi segala bentuk tindak kekerasan adalah bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang bertentangan dengan ajaran Islam.

  1. Hentikan siklus victim blamming yang justru memperburuk trauma korban. Langkah selanjutnya, setelah menghindari dan memutus rantai normalisasi maka perlu kemudian kita memiliki pemikiran dan perspektif yang berpihak pada korban. Seperti apapun kasus dan kronologi yang dialami, pengalaman dan perasaan yang dirasakan oleh korban adalah suatu hal yang valid, dan jangan sampai kemudian dihakimi sepihak dengan menyalahkan korban.
  2. Mendefinisikan kembali makna maskulinitas bagi laki-laki, hal ini dikarenakan rape culture yang terjadi disebabkan oleh masih tingginya ekspektasi masyarakat terhadap maskulinitas laki-laki. Sehingga, ketika terjadi tindak kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki dianggap suatu hal yang wajar. Mendefinisikan kembali maskulinitas adalah langkah yang tepat, agar pemahaman terkait posisi laki-laki dan perempuan adalah setara sebagai manusia, ketika salah satu menjadi korban maka harus diperjuangkan hak-haknya.
  3. Meluaskan edukasi dan pemahaman terkait rape culture, langkah ini diambil untuk mengurangi darurat edukasi pada generasi-generasi muda. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kompleksitas dari rape culture mengharuskan pemahaman masyarakat secara mendalam. Dengan demikian, ke depan tindakan-tindakan kekerasan dan pelecehan seksual tidak lagi dianggap sebagai suatu hal yang wajar, akan tetapi memiliki dampak yang besar bagi kehidupan korban. Edukasi di sini juga bertujuan untuk menguatkan pemahaman dalam menghadapi kondisi saat harus mendampingi korban kekerasan di lingkungannya.
  4. Menggunakan pendekatan interseksionalitas untuk melihat realitas yang ada di masyarakat. Telah disebutkan sebelumnya, kompleksitas dari Rape culture mencakup kaitannya dengan budaya dan dinamika sosial masyarakat. Sehingga pendekatan interseksionalitas sangat diperlukan, terlebih ketika menghadapi kasus Corrective Rape yang juga sering terjadi pada korban yang memiliki kerentanan lebih tinggi. Hal ini bersumber dari krisis kemanusiaan yang masih rendah dan berdampak pada diskriminasi pada kelompok rentan yang berujung tindakan kekerasan dan pelecehan seksual yang diwajarkan.

Langkah-langkah tersebut dapat menjadi pijakan awal, untuk mengurangi normalisasi rape culture yang masih menjamur di masyarakat kita. Kuatnya sistem patriarki tentu menjadi sebab peliknya proses untuk mengurangi dampaknya bagi masyarakat. Akan tetapi setidaknya langkah-langkah kecil yang kita ambil bisa dimulai dari diri kita sendiri, dan dapat menjadi langkah awal yang semoga mampu mengurangi dampak yang terjadi, salah satunya dengan menghentikan normalisasi rape culture di masyarakat. []

 

Tags: Darurat Kekerasan SesksualKekerasan seksualPerlindungan KorbanRape CultureUU TPKS
Nuril Qomariyah

Nuril Qomariyah

Alumni WWC Mubadalah 2019. Saat ini beraktifitas di bidang Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak di Kabupaten Bondowoso. Menulis untuk kebermanfaatan dan keabadian

Terkait Posts

Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Humor Seksis

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

26 Juni 2025
Kekerasan Seksual

Kekerasan Seksual Bisa Dicegah Kalau Islam dan Freud Ngobrol Bareng

26 Juni 2025
Menemani Laki-laki dari Nol

Bagaimana Mubadalah Memandang Fenomena Perempuan yang Menemani Laki-laki dari Nol?

25 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID