Mubadalah.id – Dalam Fiqh Indonesia, dan hampir seluruh negara Muslim saat ini, poligami dipandang sebagai pernikahan beresiko dan bermasalah. Banyak para cendikiawan yang menolak poligami.
Beberapa fakta menyebutkan, poligami selalu mendatangkan persoalan, bahkan kekerasan. Terutama bagi anak-anak dan perempuan. Menolak poligami seharusnya sudah menjadi keniscayaan.
Sesuatu yang potensial mendatangkan kekerasan itu, menurut Founder Mubadalah, Faqihuddin Abdul Kodir, harus diperketat, bahkan bisa dilarang menurut kaidah sadd dzarai, sebagaimana disarankan Syekh Muhammad Abduh.
Di dalam aturan Islam, pria yang kerap disapa Kang Faqih, menyampaikan, yang utama justru perilaku baik, menghadirkan kebaikan, dan menjauhkan keburukan dari keluarga. Ini adalah prinsip, sementara poligami bukan bagian dari prinsip Islam.
Pilar pernikahan dan berkeluarga dalam Islam, kata Kang Faqih, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an ada empat.
Pertama, pernikahan adalah suatu ikatan kuat (mitsaqan ghalidzan, an-Nisa/ 4: 21) yang harus dijaga bersama.
Kedua, pernikahan adalah berpasangan (zawaj, al-Baqarah/ 2: 187) dimana yang satu terhadap yang lain harus berpikir kesalingan dalam segala hal.
Ketiga, berpasangan harus berperilaku saling berbuat baik (mu’asyarah bil ma’ruf, an-Nisa/ 4: 19) dalam segala aspek keluarga.
Keempat, satu sama lain harus selalu berembug dan musyawarah (tashawurin wa taradhin) untuk mencari yang terbaik bagi keluarga (al-Baqarah, 2: 233).
“Poligami jauh dari keempat pilar ini. Sehingga suami, dibanding berpikir poligami, sebaiknya memperbaiki relasi, komunikasi, dan perilaku. Istri juga punya kewajiban yang sama untuk menghadirkan segala kebaikan dalam hal relasi, komunikasi dan perilaku,” jelasnya. (Rul)