Pada saat ini kita sedang berada di bulan Rajab, salah satu bulan mulia bagi umat semesta alam. Bulan Rajab juga disebut sebagai syahrullah, sebagaimana Sya’ban sebagai Syahrunnabi dan Ramadan sebagai Syahr ummah an-Nabi. Disebut sebagai Syahrullah karena bulan ini adalah bulan penuh ampunan dari Allah Swt. kepada hamba-hambanya.
Pada bulan ini pula Allah Swt. mengangkat Nuh as. ke atas kapal; ditolongnya para waliyullah dari gangguan para musuh; diangkatnya para nabi; dan tentunya diperjalankannya Nabi Muhammad untuk mendapat risalah salat oleh Allah Swt. Bulan ini memiliki banyak keutamaan seperti yang tertulis dalam kitab ulama muslim klasik, salah satunya adalah kitab Al-Ghunyah karya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Di dalamnya dituliskan berdasarkan dalil yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw., bahwa bulan Rajab yang penuh ampunan ini memiliki banyak fadhilah bagi mereka yang melakukan pengabdian kepada Allah Swt., terutama dengan salat dan berpuasa.
Di antara keutamaan untuk mereka yang berpuasa: mendapatkan ridla Allah yang besar dan ditempatkan di dalam surga Firdaus; mendapatkan pahala dua kali lipat, yang tiap lipatannya seberat gunung-gunung di dunia; dibuatkan parit pemisah antara dirinya dan neraka, jaraknya sejauh satu tahun perjalanan; disehatkan dari berbagai penyakit, seperti ketidakwarasan, lepra, penyakit sopak.
Kemudian fitnah Dajjal (mengingatkan pada diri sendiri bahwa bulan mulia ini akan segera berakhir, kekhawatiran dan ketakutan akan virus Corona mudah-mudahan dapat dijauhkan dengan berpuasa dan memperbaiki ibadah diri); dilindungi dari azab kubur; bangkit dari kubur dengan wajah yang lebih terang daripada bulan purnama; ditutupnya pintu neraka Jahanam untuknya; dibukakan delapan pintu surga; perlindungan atas sisa umur; keselamatan atas rasa haus pada hari kiamat; sebagai teman saat melewati malam pertama di alam kubur; dapat memberikan syafaat pada 700 orang dari keluarga dan anak cucunya kelak di hari akhir; dan masih banyak lagi.
Rajab menjadi bulan mulia memiliki banyak peristiwa penting di dalamnya, salah satunya yakni diberikannya risalah salat fardlu kepada Nabi Muhammad Saw. atau kita lebih mengenalnya dengan peristiwa Isra’ Mi’raj. Diperjalankannya Nabi Muhammad Saw. oleh Allah Swt. pada malam ke-27 bulan Rajab ini diabadikan dalam kalam-Nya, seperti pada QS. Al-Isra: 1, 60 dan QS. Al-Najm: 1-17. Para ulama pun banyak yang membahas peristiwa tersebut dalam karya tulisnya, seperti Qishshah al-Mi’raj al-Nabi karya Syekh Najmudin al-Ghoidzi, Tashil al-Ghiba min Qishshah al-Isra’ wa Mi’raj karya Syekh Ahmad Abdul Hamid al-Qandali, dan Nuur al-Siraaj fi Bayaan al-Isra’ wa al-Mi’raj karya Syekh Ahmad Fauzan Ar-Rambani.
Selama diperjalankan pada malam tersebut, Nabi Muhammad saw. yang ditemani oleh Malak Jibril as. dan Malak Mikail as., dengan mengendarai Buraq diperlihatkan berbagai macam kondisi umatnya, ada yang menggambarkan kondisi umatnya yang membahagiakan, dan ada pula yang menyedihkan.
Salah satu yang menarik bagi saya, ketika membaca Qishshah al-Mi’raj-nya Syekh Najmudin atau lebih dikenal dengan nama Syekh Dardiri, adalah ketika Nabi Muhammad diperjalankan antara Masjidil Haram dan Baitul Maqdis dan bertemu dengan kaum yang dihadapan mereka terdapat daging yang dimasak di dalam kuali dan terdapat pula daging mentah yang busuk.
Mereka memilih memakan daging yang mentah lagi busuk dan membiarkan daging yang masak lagi baik. Kemudian Nabi Muhammad Saw. bertanya kepada Malak Jibril as. “Apa maksudnya ini wahai Jibril?” Malak Jibril as. menjawab, “Ini adalah gambaran seorang laki-laki di antara umatmu yang mempunyai istri yang halal (karena sebab sudah dinikahi) lagi baik.
Kemudian datang wanita pelacur (bukan istrinya), dan laki-laki tersebut tidur seranjang dengan wanita tersebut sampai pagi. Dan gambaran seorang wanita yang mempunyai suami yang baik, kemudian datang laki-laki penggoda. Wanita tersebut tergoda sampai tidur seranjang dengannya hingga pagi.”
Terlepas dari ikhtilaf para ulama tentang kebenaran kisah-kisah yang terdapat dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, kisah ini memiliki pesan berikut peringatan yang sangat menonjol bagi siapa saja yang membacanya. Dan Syekh Dardiri sungguh patut dipuji, ia mampu menafsirkan dan menuliskan kisah tersebut dengan menggunakan metode kesalingan dan tidak timpang sebelah.
Ketika ia menjelaskan bagaimana kondisi kaum tersebut, itu tidak hanya berlaku untuk laki-laki saja, melainkan juga untuk perempuan. Ya, untuk laki-laki yang tidak memperlakukan perempuan dengan tidak semestinya, dan untuk perempuan yang tidak memperlakukan laki-laki dengan semestinya.
Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki kebutuhan biologis untuk melakukan hubungan seksual, dan semua agama mengatur bagaimana agar hubungan seksual yang terjadi antara keduanya dapat menjadi hubungan yang diridai oleh-Nya; mendatangkan maksud tujuan keberlangsungan hidup manusia; menjaga kehormatan dua pihak yang bersangkutan; menjadi maslahat buat semua.
Laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama untuk berkhianat kepada pasangan, juga sama-sama berpeluang menjadi pasangan sang penghianat (penggoda). Ini menandakan bahwa kondisi tersebut tidak saja berlaku untuk yang sudah menikah, melainkan juga untuk yang belum menikah.
Ketika laki-laki (atau sebaliknya) menghianati sang istri, secara tidak langsung dia tidak menghormati sang istri, menyakiti keadaan jiwa dan batinnya, tidak mencukupi kebutuhannya, melecehkannya secara diam-diam, merendahkan martabatnya, menghancurkan harapannya, mengusik ketenangannya, mengekang kebahagiaannya, dan sebagainya.
Demikian pula yang laki-laki tersebut (atau sebaliknya) lakukan kepada kawan penghianatannya, ia tidak menghormatinya dengan berhubungan tanpa ikatan pernikahan, ia merendahkannya sebagai ‘barang kedua’, ia tidak memberikannya martabat apa pun di kehidupannya, dan lain sebagainya.
Apakah masih ada manusia yang ingin selalu mendapat perlakuan tidak sepatutnya? Menjadi salah satu kisah dalam peristiwa Isra’ yang hendaknya menjadi perhatian, pentingnya memuliakan perempuan (dan juga sebaliknya) bahkan mendapat kedudukan yang sama dengan risalah Isra’ Mi’raj itu sendiri, yakni salat.
عن انس بن مالك رضى الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: حبّب اليّ النساء والطيب وجعلت قرّة عيني فى الصلاة. رواه النسائ.
Terjemahan: Anas bin Malik Ra. Menutrkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Aku senang perempuan dan parfum, serta mataku selalu merasa teduh dengan salat.” (Sunan an-Nasa’’i No hadis: 3596, dan Imam Ahmad dalam musnad-nya hadis No: 12478, 12488, 13257, dan 14253.)
Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya yang berjudul 60 Hadits Shahih: Khusus Tentang Hak-hak Perempuan dalam Islam Dilengkapi Penafsirannya, hadis ini merupakan pernyataan tegas dari Nabi Muhammad Saw. bahwasanya perempuan merupakan bagian penting dari kehidupan Nabi Muhammad Saw. di dunia ini, sehingga perempuan disejajarkan dengan parfum dan salat.
Dr. Faqih menambahkan, Nabi Muhammad mencintai perempuan, sama seperti cinta beliau kepada parfum dan shalat. Sekalipun shalatlah yang benar-benar meneduhkan hidup beliau, sebagai sosok yang dicintai oleh Nabi Muhammad Saw., perempuan tidak seharusnya dilecehkan dan direndahkan.
Siapa yang merendahkan perempuan, berarti menistakan Nabi Muhammad Saw. Teks ini juga dianggap penting oleh Syekh Ibnu Arabi, karena baginya kualitas feminin lebih mendekatkan seseorang kepada kualitas Nabi Muhammad Saw. Kualitas feminin yang dimaksud adalah seperti menyayangi, memberi, berbagi, menolong, membahagiakan, dan menyenangkan. Tentu saja diimbangi dengan kualitas maskulin agar sebagai manusia memiliki kapasitas yang utuh dan memiliki pengalaman yang lengkap. Maka, mari kita memperbaiki shalat dan memuliakan sesama. Happy Isra’ Mi’raj.