• Login
  • Register
Jumat, 6 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Benarkah Islam Patriarkis?

Dyah Palupi Ayu Ningtyas Dyah Palupi Ayu Ningtyas
10/03/2020
in Personal
0
125
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Tidak akan memuliakan perempuan, kecuali lelaki mulia,

dan tidak akan menistakan perempuan, kecuali lelaki nista.”

-Ali Bin Abi Thalib-

Apa yang dinyatakan Ali tergantung bagaimana cara laki-laki memandang perempuan atau perempuan memandang laki-laki. Nyatanya, perempuan dipandang sebagai kelas menengah ke bawah. Bukan hanya itu, banyak yang memandang potret perempuan Islam adalah taat, tunduk, dan sepenuhnya patuh pada suami. Pertanyaannya apakah benar Islam memandang perempuan seperti itu?

Asghar Ali Engineer mengungkapkan bahwa marginalisasi perempuan mendapatkan legitimasi dari doktrin Islam. Bisa jadi legitimasi tersebut berasal dari tafsir-tafsir Al-Qur’an dan Hadits, bukan Islam. Secara metodologis, doktrin marginalisasi perempuan berasal dari interpretasi ataupun ijtihad. Sehingga pertanyaan apakah Islam bersifat patriarkis atau tidak itu masih sering terjadi hingga hari ini.

Baca Juga:

Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang

Makna Wuquf di Arafah

Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut

Syariah yang disusun oleh ahli hukum dan sangat diagung-agungkan tidak seluruhnya ilahiyah, tetapi dari ra’yi (sisi manusiawi para ahli), ijtihad, maupun qiyas. Dengan kata lain, meskipun Al-Quran bersumber dari Allah namun tafsir Al-Quran adalah daya cipta manusia.

Hal tersebut salah satu alasan mengapa banyak mazhab hukum. Untuk memahami isi buku atau literatur Islam bukan hanya berdasarkan kemahiran berbahasa, tetapi bersandar pada kemampuan pengetahuan seseorang.

Konstruksi hukum yang terbangun sekarang adalah hasil dari produk laki-laki. Bagaimana tidak, paradigma androsentrisme mengakar pada waktu itu. Androsentrisme tersebut adalah tradisi agama atau teks-tesk agama dibuat, dikembangkan, bahkan dikonstruksikan oleh laki-laki dari sudut pandang laki-laki.

Pengalaman maupun pemikiran perempuan tidak mendapatkan ruang dalam wacana maupun sejarah agama. Kehidupan patriarkal ini merupakan kendala dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Perbedaan dalam menerapkan hukum mengenai perempuan di suatu negara dengan negara lainnya menandakan bahwa perbedaan tersebut dipengaruhi oleh keadaan sosial, politik, maupun budaya.

Hal tersebut mengindikasikan Al-Quran dapat diinterpretasikan atau ditafsirkan secara berbeda-beda. Oleh karena itu, kitab suci Al-Quran seharusnya ditafsirkan ulang sesuai dengan kondisi maupun situasi sekarang, bukan lagi memandang masa klasik.

Engineer menyatakan, ketika masa revolusi Islam kesempatan perempuan sama dan bahkan sejajar dengan kaum laki-laki. Tetapi ketika beberapa negara seperti Persia, Asia Tengah, Syiria, dan lainnya datang memasuki wilayah Islam dan membawa perubahan atas kedudukan maupun status perempuan. Nilai feodalistik mengenyampingkan nilai-nilai Islam yang asli, serta hanya cara pandang kaum laki-laki yang digunakan untuk memahami Al-Qur’an.

Pada masa awal Islam, perempuan sudah biasa memberikan bantuan membuat teks keagamaan. Bahkan istri dari sahabat-sahabat nabi merupakan perawi hadits yang dinyatakan sangat otentik. Aisyah pun menyandarkan hampir dua per tiga haditsnya kepada Nabi Muhammad SAW.

Dalam konteks sekarang, pengekangan terhadap perempuan dalam masyarakat muslim banyak dilakukan oleh para agamawan Islam Ortodoks. Padahal pada waktu Rasulullah SAW tidak ada pengisolasian perempuan.

Ketika masa awal Dinasti Abbasiyah perempuan memiliki kebebasan yang sama seperti pada masa Dinasti Umayyah. Lain halnya pada masa Dinasti Buwahid, ada dikotomi antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa setiap kondisi maupun fase, kedudukan dan status perempuan berbeda di Masyarakat Muslim.

Menurut Engineer, nilai Islam yang paling mendasar adalah keadilan dan kesetaraan, baik keadilan kepada semua orang maupun kesetaraan gender. Apabila perumusan hukum syariah pada waktu itu dibuat dengan latar belakang, sosial, politik, maupun kultur pada masa itu juga maka seharusnya ayat-ayat Al-Quran ataupun perintah Allah dipahami pada masa-masa tertentu pula. Apabila tidak, hukum yang ada tidak akan sesuai konteks dan terkesan kaku.

Oleh karena itu, Al-Qur’an lebih dari sekedar adil terhadap perempuan. Karena dalam sejarah pertama umat manusia, Al-Qu’ran lah yang mengakui kedudukan perempuan, memiliki hak untuk menikah, waris, maupun yang lainnya. Sehingga kita harus menarik hukum Islam yang berada di dalam abad pertengahan dan mengembalikan ke dalam masa kejayaan Islam. []

Dyah Palupi Ayu Ningtyas

Dyah Palupi Ayu Ningtyas

Bergerak di isu HAM dan gender, menuangkannya lewat tulisan dan ruang-ruang belajar bersama.

Terkait Posts

Narasi Hajar

Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

6 Juni 2025
Berkurban

Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang

6 Juni 2025
Kekerasan Seksual

Perspektif Heterarki: Solusi Konseptual Problem Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama  

5 Juni 2025
Kesehatan Akal

Dari Brain Rot ke Brain Refresh, Pentingnya Menjaga Kesehatan Akal

4 Juni 2025
Tubuh yang Terlupakan

Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

3 Juni 2025
Kurban

Kurban Sapi atau Kambing? Tahun Ini Masih Kurban Perasaan! Refleksi atas Perjalanan Spiritual Hari Raya Iduladha

2 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Fikih Ramah Difabel

    Menggali Fikih Ramah Difabel: Warisan Ulama Klasik yang Terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menelusuri Perbedaan Pendapat Ulama tentang Batas Aurat Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tambang Nikel Ancam Kelestarian Alam Raja Ampat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Aurat Perempuan: Antara Teks Syara’ dan Konstruksi Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha
  • Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang
  • Makna Wuquf di Arafah
  • Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut
  • Aurat Perempuan: Antara Teks Syara’ dan Konstruksi Sosial

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID