Mubadalah.id – Kasus dan menjadi korban kekerasan seksual yang perempuan alami di tahun 2022 semakin marak terdengar. Mulai dari kekerasan seksual yang terjadi di pondok pesantren di Bandung dan Subang. Bahkan akhir-akhir ini seorang laki-laki mencium anak kecil di warung anggapannya malah bukan pelecehan seksual oleh Kapolsek Gresik, lantaran pelaku tidak membuka baju si anak tersebut. Sungguh pemikiran yang tidak masuk akal!
Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan (CATAHU) 2022, data kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG), secara umum, terhadap perempuan naik sekitar 52%, dari 215.694 kasus di tahun 2020 menjadi 327.629 kasus di tahun 2021.
Kasus kekerasan seksual senyatanya bak fenomena gunung es. Banyak kasus kekerasan yang akhirnya naik ke permukaan. Baru-baru ini seorang penyanyi perempuan vokalis Vierratale, Widy Soediro Nichlany juga angkat suara terkait pengalaman kekerasan seksual yang pernah ia alami di podcast #ClosetheDoor milik Deddy Corbuzier, pada 23 Juni 2022.
Menilik Pengalaman Widy Soediro Nichlany
Widy menuturkan bahwa, “Belum tentu orang-orang yang punya pengalaman buruk bisa speak up. Bukan karena tidak bisa, it’s just not easy.” Sementara itu, menurut Darin Rania, seorang psikolog dalam artikelnya di hipwee.com, ia menjelaskan bahwa korban kekerasan seksual seringkali sulit memberontak, bahkan untuk sekedar menolak atau teriak minta tolong.
Hal tersebut karena korban kekerasan seksual berada dalam situasi yang mencekam, atau dalam ranah psikologi bernama “freeze response.” Kondisi demikian termasuk respons alami otak manusia ketika mendapat serangan baik fisik maupun seksual. Pada dasarnya, otak manusia butuh waktu lebih lama untuk berpikir secara rasional atas apa yang ia alami.
Apalagi kasus pelecehan seksual yang tentunya terjadi secara tiba-tiba, membuat respons korban freezing, cenderung diam tidak berkutik. Namun, kali ini Widi sudah lebih kuat untuk mengambil tindakan. Dengan Cinta Laura Kiehl yang menemani, akhirnya Widy berani menceritakan pengalaman pelecehan bahkan kekerasan seksual yang pernah ia alami.
Meskipun kejadian memilukan telah terjadi beberapa waktu silam, trauma yang membekas masih jelas dan nyata terasa bagi korban kekerasan seksual. Air mata tak sanggup lagi terbendung. Untungnya ada Cinta Laura yang menemani dan menguatkannya, sehingga membuat Widy menjadi lebih kuat untuk speak up.
Respons Cinta Laura terhadap korban kekerasan seksual menjadi perhatian publik. Dari video podcast yang berdurasi 1 jam lebih 3 menit tersebut, penulis merangkum 5 hal penting yang perlu kita perhatikan saat menghadapi korban kekerasan seksual.
Jangan paksa korban kekerasan seksual untuk bercerita
Pengalaman kekerasan seksual yang begitu menyakitkan, seringkali membuat seseorang shock. Tak jarang korban lebih memilih diam, menutup diri, menghindar atau tidak mempersoalkan pengalaman buruk yang ia alami. Hal tersebut karena mental korban belum siap mengungkapkan, atau bahkan menerima kenyataan atas apa yang terjadi atas dia. Tidak ada seorangpun yang ingin mengalami kekerasan seksual.
Selain itu, setiap orang juga memiliki kekuatan mental dan coping mechanism (cara merespon pikiran dan perilaku terhadap situasi penuh tekanan) yang berbeda. Sebagian orang merasa mudah bercerita, tetapi sebagian lainnya cenderung menutupi. Memaksakan korban kekerasan seksual untuk bercerita hanya akan menambah tekanan yang terasa.
Mendengarkan dan menemani korban
Ketika mental korban sudah lebih baik, dan ia memutuskan untuk bercerita, maka yang perlu kita lakukan ialah mendengarkan. Korban perlu meluapkan segala perasaan dan tekanan yang terasa, salah satunya dengan bercerita, dan yang ia butuhkan hanyalah didengarkan. Menjadi pendengar yang baik dengan tanpa menilai apalagi menghakimi.
Menemani korban kekerasan seksual juga penting agar ia tidak merasa sendiri. Korban membutuhkan dukungan moral dari orang-orang terdekatnya, orang tua, saudara, sahabat maupun teman.
Meyakinkan korban untuk tidak merasa bersalah
Ironisnya, kasus kekerasan seksual justru seringkali membuat korban merasa bersalah. Kasus kekerasan seksual dianggap aib yang seharusnya tidak diceritakan pada orang lain. Padahal, hakikatnya yang menjadi aib adalah pelaku kekerasan seksual, bukan korbannya.
Banyak pandangan yang perlu diluruskan terkait kekerasan seksual. Bahwa mengungkapkan kasus ini bukanlah aib, tetapi bentuk perlawanan terhadap pelaku. Perempuan yang mengalami kekerasan seksual bukan berarti ia kehilangan kehormatannya, justru pelakulah yang kehilangan harga dirinya.
Kehormatan tidak saklek dikaitkan dengan keperawanan atau keperjakaan, melainkan kepribadian individu itu sendiri. Kalimat-kalimat empatik sangat penting untuk menguatkan korban agar tidak merasa bersalah dan tetap merasa berharga.
Speak Up atau melapor atas izin korban
Saat memiliki pemahaman bahwa mengungkapkan kasus kekerasan seksual itu penting untuk mendapatkan keadilan bagi korban, maka sekalipun tak akan ada keraguan untuk berani berbicara. Namun, kita juga perlu memastikan korban menyetujuinya. Jangan sampai mental korban yang masih terguncang, menjadi semakin memburuk oleh sebab tindakan kita yang impulsif.
Melaporkan kasus kekerasan seksual yang korban alami harus dengan izinnya. Meskipun kita ketahui bahwa kasus ini adalah tindakan yang sangat tercela, tetapi kita juga harus mempertimbangkan kondisi korban. Karena tidak semua orang langsung siap berhadapan dengan kasus atau pelaku kekerasan seksual.
Berpihak pada korban
Dalam mengatasi kasus kekerasan seksual, sangat penting untuk berpihak pada korban. Baik dari keluarga, sahabat, teman, lembaga pendidikan, layanan kesehatan, bahkan kepolisian atau aparat negara. Dengan telah disahkannya UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada 9 Mei 2022, dapat menjadi payung hukum yang kuat dalam mengadili pelaku kekerasan seksual.
Namun, kita harus tetap mengawal implementasi UU tersebut agar aparat hukum benar-benar melaksakannya. Keberpihakan terhadap korban kekerasan seksual sangat berpengaruh dalam proses pemulihan dari hal-hal traumatis. Korban harus mendapatkan keadilan dan perlindungan yang nyata. Tidak ada satupun alasan yang dapat menormalisasi tindakan kekerasan seksual.
Oleh karenanya, kekerasan seksual yang terjadi tanpa pandang usia, profesi, jabatan, bisa terjadi pada perempuan juga laki-laki. Maka, suatu keharusan bagi kita untuk berpihak pada korban. Sebaliknya, apa jadinya jika sebuah bangsa terus melindungi pelaku kekerasan seksual dan menormalisasi tindakan kekerasan? Naudzubillah. []