Mubadalah.id – “Selamat jadi Magister istriku sayang“, itulah kalimat yang saya sampaikan kepada perempuan yang luar biasa, perempuan dengan penuh tekad untuk menggapai mimpinya. Ia adalah istri saya yang begitu saya cintai. Karena menikah bukan alasan berhenti bermimpi bagi seorang perempuan. Ketika tulisan ini saya buat, ia baru saja menyelesaikan studi magisternya di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Betul! kami dipertemukan oleh kampus istimewa tersebut. Tepatnya ialah ketika Kuliah Kerja Nyata (KKN), yang entah bagaimana Allah SWT merencanakan ini semua hingga kami menjadi sepasang suami istri. Sampai saat ini, saya sebenarnya masih terheran-heran mengingat perempuan usil dan sering membuat saya berpikir dari pertanyaan-pertanyaannya seputar keadilan perempuan ketika masa KKN dulu, kini menjadi teman hidup saya untuk selamanya.
Setelah menikah, hari demi hari kami lalui dengan penuh semangat. Akan tetapi, melihat dan mengingat bahwa istri saya memiliki cita-cita yang ia ucapkan beberapa hari sebelum kami jadian dulu, membuat saya merasa ganjil. Ganjil rasanya ketika saya tidak mampu mendukungnya untuk meraih mimpi, meski secara perlahan dan bertahap. Atau ketika dia sepenuhnya harus mengurus urusan domestik dengan melupakan semua karir yang ia harapkan.
Alhamdulillah, saya dan istri sama-sama sepakat terkait pembagian peran dalam keluarga (publik-domestik). Bagaimana buku Qiraah Mubadalah dengan tandatangan Kiai Faqihuddin Abdul Kodir, menjadi motivasi sekaligus paduan kami dalam menjalani hari sebagai keluarga kecil untuk belajar kesalingan dalam rumah tangga. Insyaallah sebentar lagi bertambah Kartu Keluarga (KK) kami. Dan insyaallah, kesepakatan ini akan tetap kami jalankan hingga hari tua, hari di mana anak cucu kami membaca tulisan-tulisan kami termasuk di mubadalah.id.
Istri Menjadi Perempuan Karir, Kenapa Tidak?
Melihat tangis bahagia istri saya ketika telah menyelasaikan S2-nya, saya semakin yakin bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk meraih mimpi, meski sudah berstatus sebagai istri. Menikah bukan alasan berhenti bermimpi.
Hal itu saya lihat dari bagaimana istri saya berjuang untuk menyelesaikan studinya. hal ini ia lakukan di tengah kesibukannya sebagai seorang istri sekaligus voluntir salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Yogyakarta. Bahkan, ia tetap menekuni bisnis pakaian tradisional yang kami rintis dari sebelum menikah.
Mengenai karirnya ke depan, saya hanya bisa mendukung, mengusahakan, dan mendoakan yang terbaik. Selebihnya, Allah SWT yang berhak menentukan. Namun, memiliki istri yang menjadi perempuan karir bukan lah hal yang dapat diterima oleh semua orang. Termasuk masyarakat yang berada di sekitar kita.
Stigma terhadap istri yang bekerja atau menjadi perempuan karir masih dinilai negatif oleh beberapa masyarakat. Istri yang melakukan peran domestik masih sering dianggap sebagai perempuan yang hanya mementingkan pekerjaan dan mengabaikan peran lain (mengurus rumah tangga). Padahal, setiap keluarga memiliki hak untuk melakukan kesepakatan terkait pembagian peran dan tidak ada Undang-Undang atau peraturan lainnya yang melarang hal itu.
Islam Mendukung Perempuan Karir
Begitu pun dalam Islam. Menurut Faqihudin Abdul Kodir dalam tulisannya yang berjudul: “Islam Mendukung Perempuan Berkarir di Ruang Publik“, menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW juga mendukung perempuan yang berkarir.
Hal itu terdokumentasikan Syekh Abu Syuqqah dalam 6 volume Tahrir al-Mar’ah fi Asr ar-Risalah (1995), bahwa terdapat banyak teks hadits yang mencatat keterlibatan para perempuan di ruang publik pada zaman Nabi SAW, baik dalam bidang pengetahuan, pendidikan, kerja-kerja ekonomi, maupun sosial budaya. Contohnya ialah Siti Aisyah bint Abi Bakr ra, yang merupakan perawi lebih dari 6000 teks hadits, ahli tafsir, dan juga fiqh.
Biasanya, anggapan bahwa laki-laki bertugas di ranah publik, sedangkan perempuan mengurus ranah domestik seringkali menggunakan dalil QS. An-Nisa Ayat 34 yang artinya: “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas yang lain (perempuan) …….”.
Rusdiyana (2021), dalam penelitiannya yang berjudul: “Interpretation QS. an-Nisa’: 34 Perspectives of Amina Wadud Muhsin and The Implication of Her Thinking In Indonesia“, mengutip pendapat KH. Husein Muhammad terkait tafsir QS. An-Nisa Ayat 34 yang harus kita pahami dari segi sosiologis dan kontekstual.
Ketika turun ayat tersebut, perempuan di masyarakat jahiliyah anggapannya tidak berharga sama sekali. Sehingga, penyebutan perempuan dalam ayat Al-Qur’an adalah kemajuan luar biasa. Serta merupakan petunjuk mengenai penerapan ‘maslahat’ untuk situasi dan kondisi nyata yang terjadi ketika ayat itu turun.
Hal tersebut jauh berbeda jika dibandingkan dengan kondisi sekarang. Sejarah modern telah mejadi realita sosial yang membuktikan bahwa banyak perempuan yang mampu melakukan tugas-tugas yang selama ini anggapannya hanya objek monopoli kaum laki-laki. Perempuan di masa sekarang mempunyai kemampuan untuk ikut andil dalam dunia profesi atau wanita karir. Maka, angapan bahwa pekerjaan perempuan hanya sebatas pekerjaan rumahan merupakan anggapan kurang bahkan tidak tepat.
Implementasi Mubadalah dalam Keluarga
Menurut K.H. Faqihuddin Abdul Kodir, prinsip kesalingan mubadalah pada dasarnya adalah menekankan pada prinsip kesalingan antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan. Melalui prinsip kesalingan ini, sebagaimana laki-laki yang ingin dihormati pilihannya, diakui keberadaannya, didengar suaranya, serta dipenuhi segala keinginannya, maka berlaku juga bagi perempuan untuk mendapatkan perlakuan yang serupa.
Perspektif mubadalah mencerminkan suatu keadilan dan kesetaraan dalam relasi antara suami dan istri. Yakni mendorong kerja sama yang partisipatif, adil, serta memberi manfaat bagi keduanya tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Ruang publik tidak hanya suami berikan, dan ruang domestik juga tidak hanya terbebani bagi istri semata. Partisipasi keduanya (publik dan domestik), harus kita berikan secara adil meskipun melakukannya melalui model, cara, serta pilihan yang berbeda-beda.
Kemudian, terdapat hadits riwayat Ahmad, ath-Thabrani, dan ad-Daruqutni yang artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain”. Hadits ini menjelaskan bahwa jalan untuk menjadi manusia yang paling baik ialah dengan memberi manfaat kepada manusia lain. Memberikan manfaat ini dapat kita lakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan memaksimalkan potensi dan peluang yang kita miliki serta berkarya di bidang masing-masing.
Beberapa penjelasan tersebut sangat cukup menjadi alasan untuk tidak terjadi lagi pengekangan dalam keluarga. Terlebih melarang istri untuk berkarir dan menggapai mimpi dan cita-citanya. Setiap manusia, baik laki-laki atau perempuan, suami atau istri, tetap memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensinya.
Selain itu, yang tidak kalah penting adalah komunikasi internal dalam keluarga. Komunikasi menjadi hal penting dalam implementasi prinsip mubadalah dalam keluarga dalam upaya belajar menghadirkan kemaslahatan. Hal ini dapat kita mulai dengan menerapkan konsep maṣlaḥah ta’awun. Saling memberikan bantuan/kontribusi, motivasi atau dukungan antara istri dan suami, hingga tetangga atau masyarakat sekitar.
Untuk itu, mendukung istri menjadi perempuan karir dan menggapai mimpi-mimpinya menjadi keharusan suami, begitu pun sebaliknya. Akan tetapi, kesepakaatan-kesepakatan terkait kesalingan peran publik-domestik serta komunikasi internal keluarga juga tidak boleh kita abaikan.
Sekali lagi, selamat jadi Magister istriku sayang. mari bersama-sama mewujudkan mimpi dan cita-cita kita! []