Mubadalah.id – Kehadiran Pekerja Rumah Tangga (PRT) memiliki arti penting sebagai pendukung kinerja domestik dalam sebuah keluarga, pasalnya mereka yang kerapkali menggunakan jasa ini didominasi oleh pasutri yang kewalahan mengurus pekerjaan rumah dan kantor karena keterbatasan waktu dan tenaga. Hal lain yang juga menjadi indikator penting, PRT memberikan pengasuhan kepada anak tatkala ibu dan bapak sibuk bekerja di luar rumah.
Para pekerja rumah tangga umumnya adalah mereka yang dapat melakukan tugas harian rumah seperti memasak, mencuci, bersih-bersih hingga mengasuh anak. Tugas ini seringkali mereka kerjakan, terutama yang berasal dari pendidikan rendah. Jurnal Al-Azhar Indonesia menyebutkan mayoritas PRT rata-rata berusia di bawah 30 tahun dan berasal dari daerah pedesaan miskin. Di mana fasilitas pendidikan dan kesempatan kerja terbatas.
Alasan lain yang melatarbelakangi hal ini adalah karena kebutuhan ekonomi mendesak dan tidak kuatnya menerima cemoohan dari dua sisi. Yakni keluarga dan lingkungan. Dahulu pada masa kolonial pekerjaan ini sebetulnya punya nilai gengsi tinggi. Karena biasanya bekerja pada para tuan yang menganggap bahwa PRT menjadi solusi akan ruwetnya urusan rumah tangga.
Namun belakangan pekerjaan ini justru menjadi bahan olokan dengan munculnya panggilan diskriminatif seperti babu, pesuruh hingga jongos. Padahal bu di sana merujuk pada ambu/ibu pada waktu itu.
PRT di Indonesia
Di Indonesia rekruitmen PRT sebagian besar terjadi melalui teman dan keluarga. Hal ini biasanya lebih banyak PRT sukai. Karena menawarkan kemungkinan lebih besar untuk bertemu dengan majikan yang baik. Saluran rekrutmen lainnya dapat juga melalui para perantara informal (seperti calo) ataupun formal (seperti informal seperti agen penyalur).
Dari sinilah kerentanan pekerjaan sebagai PRT sudah mulai, resiko yang mesti mereka hadapi bukanlah resiko yang ringan. Mulai dari teman yang membawa kerja, yang kadang tak sungkan meminta balas jasa juga para calo yang beresiko menimbulkan bahaya. Para calo sangat potensial melakukan berbagai bentuk kekerasan dalam bermacam bentuk seperti fisik, psikis, maupun ekonomi.
Beberapa kasus menunjukkan ada calo yang minta komisi dari beberapa bulan PRT bekerja. Ada juga kasus di mana calo melakukan ancaman atau bahkan penganiayaan jika PRT kritis mengajukan pertanyaan. Bentuk terburuk adalah calo yang tergoda untuk melakukan berbagai bentuk pelecehan seksual.
Keberadaan penyalur PRT pun cukup dilematis, mengingat PRT tentunya lebih dipandang sebagai komoditas bagi penyalur PRT. Sebagai pihak swasta yang menjual jasa, penyalur PRT tentu lebih mendahulukan kepentingan pengguna jasa yang merupakan sumber pendapatan. Dalam hal ini majikan. Hal yang demikian tentunya membuat PRT dalam posisi tawar yang lemah.
Perempuan menjadi Pihak yang Paling Rentan
Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) melalui Voa Indonesia menyebutkan setidaknya ada 52,6 juta orang di dunia bekerja sebagai PRT termasuk bekerja lintas negara dan saat ini tidak menutup kemungkinan jumlahnya kini mendekati 100 juta orang 80 persen diantaranya adalah PRT perempuan.
Data menyebutkan kurun waktu 2012-2021 terdapat kasus kekerasan terhadap PRT sebanyak 400 kasus. Hal yang sama juga dengan data yang Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) sampaikan. Jumlah ini tentu bukan tanpa polemik. Karena ada penemuan tiga jenis kekerasan yang PRT perempuan terima selama bekerja. Yakni kekerasan fisik, psikis dan finansial.
Para pekerja seringkali mendapat intimidasi dan tindakan sewenang-wenang dari majikan karena relasi kuasa. Sehingga mengakibatkan kekerasan gender. Kasus-kasus kekerasan seperti dipukul, dihajar dengan benda keras, dan tidak mendapat libur dengan bekerja terus menerus. Lalu tubuhnya disetrika, bahkan disekap kerap kali pekerja perempuan alami.
Belum lagi kekerasan psikis seperti mendapat cemoohan, dan menerima kemarahan secara tidak manusiawi. Bahkan dilecehkan yang berujung pada kekerasan seksual, hingga berakhir dalam jeratan lingkaran hitam human trafficking. Lalu berujung pada hilangnya nyawa karena pengabaian. Selain dua potret kekerasan tersebut, satu yang juga sering para PRT alami adalah kekerasan secara ekonomi dengan tidak diberi hak upah secara penuh.
Bahkan menurut data para PRT tidak terbayar selama tiga bulan bahkan dua tahun masa kerja. Melansir dari Tempo.co, Survei Jala PRT terhadap 686 PRT di tujuh daerah pada Desember 2019 lalu mencatat, upah PRT di Medan hanya berkisar Rp 400-700 ribu. Di Semarang Rp 400-800 ribu, di Jakarta Rp 800 ribu-Rp 1 juta, dan Makassar Rp 600-700 ribu. Dari 457 kasus dampingan Jala PRT pada 2019, sebanyak 62 persen di antaranya melaporkan persoalan ekonomi, sekitar 47 persen mengalami pelecahan seksual, dan lainnya 32 persen. Ada pula delapan kasus PRT usia anak 14-16 tahun.
Stigma terhadap PRT
Ironi ini tak habis dengan semakin merosotnya peran PRT karena ‘bantuan’ media khususnya televisi yang menayangkan bahwa asisten rumah tangga adalah hina, kerapkali genit menjadi pelakor dan sumber petaka.
Peran penting seorang pembantu kini menjadi semakin absurd, masyarakat masih belum legowo dan memandangnya sebagai pekerjaan hina.
Padahal kita tahu, dalam sebuah rumah tangga, mereka adalah yang paling pertama bangun lalu memasak, beres-beres, menyiapkan segala hal. Namun justru harus makan dan istirahat paling belakangan karena harus melayani sang majikan. Posisi ini menjadi termarjinalkan dengan tereksploitasi di tempat kerja dan disepelekan di lingkungan masyarakat.
Padahal di pundak setiap PRT terpikul beban dan tanggung jawab untuk menghidupi ekonomi keluarga. Bahkan menyekolahkan saudara sampai taraf yang mereka anggap aman. Dalam hal ini penulis berharap bahwa kesadaran dan keadilan gender bisa kita amalkan oleh siapapun. Termasuk pudarnya ketimpangan yang muncul akibat relasi kuasa, sehingga tempat kerja dan lingkungan sosial menjadi tempat yang aman untuk perempuan.
Dominasi kekerasan ini juga terpengaruhi dengan tidak adanya akses bagi para pekerja untuk berserikat dan berkumpul sebagai wadah aspirasi dan perlindungan bersama. Mereka tidak mendapatkan jaminan ketenagakerjaan dan kesehatan. Karena anggapannya tidak bekerja di sektor formal. selain itu, masih banyak para pekerja yang berada pada usia di bawah umur.
Pengetahuan dan karakter mereka terbentuk menjadi penurut dan menganggap majikan sebagai raja. Meski di satu sisi mereka juga banyak mengalami penyiksaan. Maka hal demikian sudah menjadi hal yang pasti bahwa negara harus memberi penguatan kapasitas dan menjamin keselamatan para pekerja perempuan lewat pemenuhan hak dan perlindungan kebijakan hukum.
Pengesahan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga adalah Solusi
Penantian panjang mengenai regulasi perlindungan bagi para pekerja rumah tangga hingga kini masih belum membuahkan hasil. Hingga saat ini tercatat sudah hampir 18 tahun RUU PRT belum juga sah dan nasibnya masih belum jelas. Perjalanan RUU ini hanya baru sampai baleg dan ‘konon’ proses perumusannya masih terkendala untuk tarik menarik gontok-gontokan di gedung parlemen.
Padahal bila mengacu pada aturan yang lebih tinggi harusnya RUU ini segera disahkan. Mengingat keberadaannya sangat urgent bagi para pekerja rumah tangga di tanah air. Alasan mengapa RUU ini penting untuk segera diketok palu adalah: Pertama, Pada tanggal 16 Juni 2011 terselenggara konferensi perburuhan internasional ke-100 di Jenewa. Hasilnya ILO mengeluarkan konvensi No. 189 yang berisi tentang standar kerja layak bagi PRT dan ditandatangani oleh negara anggota.
Dalam konvensi ini tertuang dalam pasal-pasal yang menentukan tentang hak-hak dasar yang seorang PRT miliki. Konvensi No. 189 menawarkan perlindungan khusus kepada pekerja rumah tangga. Konvensi tersebut menetapkan hak-hak dan prinsip-prinsip dasar, dan mengharuskan negara mengambil serangkaian langkah. Tujuannya untuk menjadikan kerja layak sebagai suatu realitas bagi para pekerja rumah tangga, termasuk di dalamnya menjelaskan tentang hal, upah dan jaminan yang harus pekerja terima.
Kedua, Indonesia telah meratifikasi Convention on the Elimination of Discrimination Against Woman (CEDAW) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Mengenai Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Ketiga, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa: (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Keempat, Landasan hukum Islam tentang pentingnya menjaga jiwa, melalui maqosidu syariah tentang pentingnya menjaga jiwa dan kemanusiaan. []