Mubadalah.id – Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Fikr Cirebon, KH. Husein Muhammad mengisahkan bahwa Rabiah Adawiyah bermakna perempuan yang ke empat. Nama ini diberikan ayahnya, karena ia adalah anak perempuannya yang ke empat.
Farid al-Din al-‘Atthar, sufi dan sastrawan besar, penulis buku yang sangat terkenal “Manthiq al-Thair” (Percakapan Burung), menulis kisahnya panjang lebar.
Katanya : Rabiah Adawiyah lahir dari keluarga yang sangat miskin yang taat mengabdi kepada Tuhan.
Kemiskinan keluarga itu sedemikian rupa, hingga manakala Rabiah Adawiyah lahir pada malam hari, rumahnya gelap gulita, tanpa lampu. Minyak lampu itu sudah habis. Untuk membeli minyak tanah bagi lampu juga tak punya uang.
Bahkan konon, kata Buya Husein, ia tak juga punya kain/popok untuk membungkus jabang bayi yang masih merah itu.
Ismail, ayah Rabiah Adawiyah, kemudian terpaksa harus mengetuk pintu demi pintu rumah tetangganya seraya berharap memeroleh bantuan sedikit minyak tanah. Tetapi ia pulang dengan tangan kosong. Ia tak memeroleh apa yang sangat dibutuhkan bagi bayinya itu.
Meski demikian, menurut Buya Husein, ia tak mengeluh. Ia hanya bisa pasrah atas keberadaannya, sambil terus berdo’a kepada Tuhan siang dan malam.
Manakala Rabiah Adawiyah menjadi balita dan sudah bisa makan dengan tangannya sendiri, ia sering merenung seorang diri. Pikiran dan hatinya seperti menyimpan gelisah.
Suatu hari dalam kesempatan makan bersama dengan ayah-ibu dan ketiga kakaknya, Rabiah Adawiyah diam saja. Tangannya tak mau mengambil makanan di hadapannya.
Ketika sang ayah bertanya : ” mengapa kamu tak mau makan, anakku”?.
Rabiah balik bertanya : “apakah makanan ini diperoleh dari cara yang halal?.
Sang ayah, ibu dan kakak-kakaknya terperangah, kaget bukan kepalang.
Pertanyaan itu menakjubkan, justru diucapkan oleh seorang perempuan amat belia. Begitu sang ayah menjawab : “betul anakku, ini ayah dapatkan dari dan dengan cara yang halal”, ia kemudian mau makan.
Ia senang dan bersyukur kepada Allah. Bismillahirrahmanirrahim. (Rul)