Mubadalah.id – Jauh semenjak Nabi Muhammad saw. masih hidup, beliau suatu ketika pernah bersabda kepada Sayyidina Ali: “akan terjadi sesuatu antara diri kamu dengan Aisyah”. Sayyidina Ali menjawab: “maka akulah yang paling celaka wahai Rasulullah”. Nabi menjawab: “Tidak. Tetapi jika itu terjadi, maka kembalikan dia ke tempatnya yang aman”. (lihat: Musnad Ahmad: 27198).
Pada saat itu, mungkin baik Sayyidah Aisyah maupun Sayyidina Ali sama sekali tidak membayangkan ‘sesuatu’ apa yang Nabi maksud. Namun, puluhan tahun kemudian, jauh setelah Baginda Nabi wafat, terjadi sebuah peristiwa yang dalam sejarah kita kenal dengan sebutan Perang Jamal.
Sebuah kondisi yang sedihnya, memposisikan antara mertua dan menantu itu berhadapan sebagai lawan dalam peperangan. Perang yang ternyata, memperjuangkan satu hal yang sama namun dengan cara yang berbeda. Konflik yang tak luput dari api fitnah kaum Yahudi. Nauzubillah.
Sejarah Perang Jamal
Perang ini berpangkal dari peristiwa terbunuhnya Sayyidina Utsman bin Affan, Khalifah ketiga dalam Islam yang terbunuh oleh sejumlah pemberontak tepat ketika beliau sedang membaca Alquran di rumahnya. Padahal, saat itu Sayyidina Ali sudah menyuruh dua putra kembarnya dan sejumlah besar umat muslim untuk berjaga di luar rumah Khalifah Umar. Namun tak dinyana, pembunuhan tetap terjadi.
Imbas dari peristiwa tersebut, kekacauan politik terjadi. Disinyalir otak pembunuhan tersebut adalah orang-orang dekat di sekitar Sayyidina Ali sendiri. Sementara Sayyidah Aisyah, sejak sebelum pembunuhan terjadi sudah menjauhkan diri dari hiruk pikuk tersebut dengan melakukan haji ke Makah.
Ketika kabar wafatnya Khalifah Utsman sampai ke Makah, Sayyidah Aisyah kemudian berkhutbah di hadapan banyak orang. Dengan sedih, beliau mengobarkan semangat orang-orang yang ada untuk menuntut hukuman untuk pelaku pembunuhan tersebut. Beliau juga menganjurkan agar umat muslim bersatu padu dan berdamai.
Muslimin yang ada di Madinah segera membaiat Sayyidina Ali untuk menjadi khalifah menggantikan Khalifah Utsman. Semenjak awal menjabat, beliau mendapat tuntutan dari masyarakat agar segera mengusut dan mengqisas pelaku pembunuhan Khalifah Umar.
Namun beliau berpendapat untuk menunda hal tersebut. Beliau lebih mendahulukan untuk melakukan konsolidasi dan menata ulang struktur pemerintahan yang kacau. Termasuk mengambil kembali tanah-tanah pemberian Khalifah Utsman kepada kerabat dekat beliau, semasa Khalifah hidup.
Awal Mula Konflik
Berawal dari perbedaan pandangan ini, bibit perpecahan pun muncul. Cukup ditambahkan sedikit fitnah dan provokasi, maka perang antara dua kubu pun meletus. Peristiwa ini terjadi pada bulan Rabiul Akhir tahun 36 H. Bagi sebagian orang yang sinis pada Islam, mereka akan menilai perang ini sebagai awal mula perpecahan dalam Islam yang notabene digawangi oleh para pemimpinnya sendiri.
Padahal, tepat satu hari sebelum perang, terjadi musyawarah antara dua kubu. Antara kubu Sayyidah Aisyah yang ingin segera mengusut siapa pembunuh Khalifah Umar dengan kubu Sayyidina Ali, yang ingin menstabilkan suasana terlebih dahulu sebelum melakukan qisas namun yang kemungkinan akan menimbulkan pemberontakan dari kabilah-kabilah yang anggotanya terkena qisas.
Perundingan dari dua kubu itu, sebenarnya berakhir mufakat. Kedua belah pihak sama-sama sepakat untuk menurunkan senjata dan menyerahkan semua keputusan ke tangan Sayyidina Ali. Bahwa beliau akan memfokuskan diri menemukan pembunuh Khalifah Utsman segera setelah hal itu mungkin. Kesepakatan itu pun membuahkan ketenangan di antara kedua belah pihak selama semalam.
Namun tak dinyana, pada malam yang sama rombongan pemfitnah seperti Asytar An-Nakhai, Syuraih bin Aufa, Abdullah bin Saba’ dan lainnya menyebarkan fitnah dan bibit kebencian antara dua kubu. Akibatnya, keesokan harinya tiba-tiba terjadi kekacauan.
Suara senjata beradu, pedang berdenting dan teriakan panik menyeruak secara tiba-tiba. Golongan munafik penyebar fitnah berhasil. Api perpecahan yang mereka tiupkan berhasil membara. Bentrok antara dua kubu pun tak terhindarkan lagi.
Fakta Perang Jamal
Sayyidina Ali yang mendengar hal itu, berteriak untuk bertanya: “apa yang terjadi pada orang-orang?” Mereka di sekitarnya menjawab: “penduduk Basrah (Kubu Sayyidah Aisyah) menerima kami untuk bermalam di sini tapi malah menyerang kita!”. Bentrok pun tak terhidarkan lagi. Pasukan sayyidina Ali yang berjumlah 20.000 harus berhadapan dengan pasukan Sayyidah Aisyah yang hanya sekitar 3000 orang.
Fakta perang jamal ini tentu menyedihkan. Tak ada yang menduga bahwa mereka yang bersaudara dalam keislaman, harus berhadapan sebagai lawan dalam peperangan yang timbul oleh fitnah kaum munafik. Sayyidina Ali pun menyuruh pembantunya untuk berseru: “cukup! Cukup! Hentikan!”
Namun seruan ini tidak terdengar betapapun kerasnya di tengah kekacauan yang terjadi. Tak terbayangkan bahwa ‘sesuatu’ yang Nabi saw. ramalkan puluhan tahun silam, ternyata mengharuskan seorang ibu berhadapan dengan menantunya sendiri.
Karena sudah tidak mungkin lagi menghentikan perang jamal yang makin sengit itu, Sayyidina Ali pun menasihati para pasukannya agar setidaknya, mereka menghindari untuk membunuh saudara sesama muslim. Beliau juga melarang pasukannya untuk menyakiti anak-anak, perempuan dan tua renta.
Sikap ini sebagai bentuk toleransi yang bertujuan untuk meminimalisir pertumpahan darah sesama saudara. Karena sebenarnya kedua kubu sudah sama-sama sepakat bahwa tak ada hal lain yang menjadi tujuan selain terwujudnya perdamaian dalam tubuh Islam.
Sayyidah Aisyah Pulang ke Madinah
Akhirnya Perang Jamal pun usai. Kemenangan berada di pihak Sayyidina Ali. Beliau mengingat pesan Rasulullah saw. dahulu, jika peristiwa sesuatu itu sudah terjadi maka beliau ditugaskan untuk mengembalikan Sayyidah Aisyah ke tempatnya yang aman.
Momen haru pun terjadi. Sayyidina Ali mengawalinya dengan berkunjung ke sekedup yang Sayyidah Aisyah naiki, dan dengan rendah hati sembari mengucapkan salam menanyakan kondisi beliau. “bagaimana kabarmu, wahai Ibu?”. sayyidah Aisyah pun menjawab: “baik”. Kedatangan Sayyidina Ali ini pun disusul oleh para pemimpin pasukan dan sahabat-sahabat sembari mengucapkan salam dan menanyakan kabar beliau.
Ketika akhirnya Sayyidah Aisyah pulang dari Basrah menuju Madinah, Sayyidina Ali pun memulangkan beliau dengan sangat hormat dan mulia. beliau juga dibekali dengan banyak hal sehingga perjalanan yang ditempuh bisa selamat tanpa kekurangan sesuatu apapun.
Sayyidina Ali juga mengutus 40 orang perempuan dari Basrah untuk menemani perjalanan yang dilakukan oleh sayyidah Aisyah. Setibanya di Madinah, Sayyidah Aisyah pun menyesali peristiwa yang terjadi dan mengabdikan hidupnya untuk ilmu. Beliau menghabiskan sisa usia beliau untuk mengajar hadis dan ilmu agama lainnya kepada para pelajar di Madinah.
Dari kisah Perang Jamal ini kita belajar, bahwa sekalipun terjadi, namun tidak ada kebencian yang menjadi penyakit hati para muslimin saat itu. Bahkan andai tidak ada fitnah dari para munafik, maka masing-masing kubu justru lebih menghendaki perdamaian dan menoleransi perbedaan pendapat dengan menyerahkan kebijakan kepada pemimpin. nilai ini yang seharusnya kita tiru.
Melepaskan diri dari godaan untuk merasa benar dan harus diikuti. Serta menomorsatukan perdamaian selama itu masih mungkin. Dan tentunya, menghindarkan diri dari menjadi pemfitnah yang merusak persatuan umat. Allahu a’lam. []