Mubadalah.id – Menjadi wali murid kelas 6 SD atau kelas 3 SMP biasanya sudah mulai bingung mencari sekolah atau pesantren. Banyak wali murid yang ingin memasukkan anaknya ke pondok pesantren. Dengan keyakinan bahwa pesantren tidak ajarkan kekerasan. Karena memasukkan anak ke pesantren menjadi kebanggaan tersendiri. Dengan masuknya anak di pesantren maka belajar ilmu agamanya, ibadahnya akan terjaga dengan baik sehingga kelak mereka akan menjadi generasi qurrota a’yun.
Namun dengan adanya beberapa pemberitaan akhir-akhir ini terkait pesantren menimbulkan keraguan dan kekhawatiran para orang tua yang akan memasukkan anaknya ke pesantren. Di awal tahun kita dihebohkan dengan kasus kekerasan seksual sampai tindakan pemerkosaan terhadap santriwati yang dilakukan oleh pengasuh pondok pesantren di Cibiru, Jawa Barat.
Pelecehan seksual yang dilakukan oleh putra pengasuh pondok di salah satu pesantren di Jombang, Jawa Timur. Yang terbaru kasus kekerasan yang dilakukan oleh santri senior terhadap juniornya sampai menyebabkan hilangnya nyawa salah satu santri di Ponorogo Jawa Timur. Jangan karena nila setitik rusak susu sebelanga. Jangan karena terkuaknya beberapa kasus di pesantren membuat kita berpandangan negatif terhadap semua pesantren.
Pesantren tidak Ajarkan Kekerasan
Pesantren tidak mengajarkan kekerasan. Tetapi ajarkan kebaikan, kesantunan, disiplin dan ketertiban. Sudah terbukti pesantren melahirkan banyak generasi yang soleh dan berpengaruh. Salah satu contohnya Almarhum KH. Abdurrahman Wahid atau dikenal dengan Gusdur yang telah menjadi presiden RI yang ke empat. Begitupun KH. Ma’ruf Amin yang sekarang menjadi wakil presiden mereka merupakan contoh nyata lulusan pesantren.
Jangan takut untuk memasukkan anak ke pondok pesantren. Jika orang tua ingin memasukkan anak ke pondok pesantren jangan hanya sekedar keinginan orang tua tapi harus menjadi keinginan anak juga. Karena anaklah yang akan menjalani hari-hari di pesantren. Jangan memasukkan anak ke pondok pesantren dengan paksaan bahkan dengan ancaman.
Pesantren bukanlah tempat untuk menghukum anak yang nakal, yang sulit kita atur dan bukan pula tempat yang menakutkan. Terkadang orang tua tidak sadar mengancam anak memasukkan ke pondok pesantren hanya karena jika anaknya tidak bisa diatur. Padahal, pondok pesantren bukanlah tempat “mencuci” atau tempat penampungan anak bermasalah.
Penulis hanya ingin berbagi sedikit pengalaman bagaimana penulis menitipkan anak penulis di pondok pesantren. Salah satu alasan penulis memasukkan anak ke pesantren karena pergaulan saat ini memang sangat mengkhawatirkan, apalagi era medsos, era digital di mana arus informasi bisa bebas kita terima siapa saja dan kebanyakan tanpa kita saring terlebih dahulu.
Utamakan niat dan komunikasi dengan anak
Sebelum memasukkan ke pondok penulis selalu berdiskusi dengan suami dan anak yang akan berangkat mondok. Kami cerita tentang pengalaman belajar di pondok. Karena kebetulan penulis dan suami pernah merasakan pendidikan di pondok pesantren. Keinginan mondok tidak hanya keinginan dari orang tua, tapi harus keluar dari anak juga.
Karena yang akan menjalani kehidupan di pesantren adalah anak bukan orang tua. Ajak anak untuk survei ke beberapa pesantren, melihat kegiatan langsung di pesantren dan memberikan kebebasan kepada anak untuk memutuskan pesantren mana yang akan dia pilih, ajak anak untuk berdiskusi.
Banyak bertanya pada orang yang telah memondokkan anaknya di pesantren, belajar dari pengalaman mereka. Banyak mencari referensi tentang pesantren. Jika ada program pesantren kilat, anak ditawarkan untuk mengikuti kegiatan pesantren kilat.
Dalam mencari pesantren, bagaimana hubungan pesantren dengan masyarakat setempat, ini juga perlu kita perhatikan. Kiai pesantren biasanya dekat dengan warga masyarakat, dawuhnya kita dengar dan sangat dihormati oleh masyarakat sekitar.
Sabar, ikhlas dan persiapkan mental anak
Memasukkan anak ke pesantren kita harus siap bahwa ketika anak sudah masuk pondok tidak setiap hari kita dapat berjumpa dengannya. Menahan rasa rindu untuk sekian lama, karena pesantren memiliki aturan jadwal berkunjung.
Terlebih jika memondokkan anaknya jauh dari rumah. Selain kita sebagai orang tua yang siap yang paling penting adalah mempersiapkan mental anak. Yang biasanya selalu berdekatan dengan kita, berjumpa tiap hari setelah di pesantren tentu kita akan berjauhan secara fisik.
Sampaikan padanya bahwa di pesantren itu tidak semua orang adalah anak baik, tidak semua orang juga anak yang nakal. Kita harus bisa menjaga diri, harus bisa belajar bersosialisasi dengan siapapun. Jangan menutup diri, jika ada hal-hal yang kurang baik terjadi pada diri kita jangan sungkan untuk berbicara. Karena terkadang pembullyan terjadi karena ketidakmampuan kita untuk membentengi diri. Ketika kita dianggap lemah, maka orang yang merasa kuat akan terus membully.
Bangun komunikasi antara pesantren dan sesama wali santri
Menjalin komunikasi antara pesantren melalui ustad wali asrama atau wali kelas harus terjalin dengan baik. Supaya kita dapat menanyakan kabar anak kita kepada mereka. Jalin komunikasi dengan wali santri lain untuk dapat saling support satu sama lain. Sama-sama menahan rasa rindu dengan anak-anak yang ada di pondok. Dan jika ada wali santri yang sambangan/berkunjung kita bisa menanyakan kabar anak kita kepada mereka atau kita bisa menitipkan pesan untuk anak kita.
Berdoa dan pasrah
Selipkan doa di setiap sholat dan helaan nafas kita untuk anak kita, titipkan pada sang Maha Pencipta, biarkanlah Allah yang akan menjaga anak kita. Yang penulis rasakan ketika menitipkan anak di pondok, jalinan ikatan batin penulis dan anak semakin kuat. Banyak perubahan yang terjadi pada anak dan tentunya anak semakin mandiri dan bertanggung jawab. []