Mubadalah.id – Sekalipun sudah ada UU khusus mengenai Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), yang keluar pada tahun 2004, yang sejalan dengan Islam, nampaknya kasus-kasusnya masih banyak dan belum juga berkurang. Kasus-kasus KDRT dilakukan berbagai kalangan, menengah ke bawah maupun atas, terdidik maupun tidak, bahkan kalangan artis juga demikian. Setidaknya ada 5 faktor penyebab KDRT ini.
Kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana disebutkan dalam UU PKDRT No. 23 Tahun 2004, adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga. Termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Sesungguhnya kekerasan yang seseorang alami dalam sebuah rumah tangga, khususnya istri, memiliki dimensi yang tidak tunggal. Seseorang yang menjadi korban kekerasan fisik, biasanya ia telah mengalami kekerasan psikis sebelumnya dan sesudahnya. Tidak sedikit juga yang mengalami kekerasan dan penelantaran ekonomi.
Bentuk-Bentuk KDRT
Kekerasan fisik bisa muncul dalam berbagai bentuk dan rupa. mulai dari menampar, menempeleng, memukul, membanting, menendang, membenturkan ke benda lain sampai bisa jadi menusuk dengan pisau bahkan membakar.
Dalam banyak kasus yang terjadi, kekerasan fisik yang perempuan alami banyak yang mengakibatkan cidera berat, cacat permanen, bahkan kehilangan nyawa. Bisa jadi, kekerasan fisik itu tidak memiliki dampak, atau hilang bekas fisiknya, tetapi hampir selalu memiliki implikasi psikologis dan sosial pada korbannya.
Kekerasan non-fisik atau kekerasan mental –kekerasan yang mengarah pada serangan terhadap mental/psikis seseorang, merupakan yang paling banyak terjadi dalam kasus-kasus yang dilaporkan lembaga-lembaga pendamping.
Bisa berbentuk ucapan-ucapan menyakitkan, kata-kata kotor, bentakan, penghinaan, ancaman. Perempuan menjadi sasaran pelampiasan, bisa jadi karena faktor-faktor yang ada di luar rumah tangga. Tidak sedikit juga, yang justru dibalik, perempuan sebagai korban ditempatkan sebagai pelaku oleh suami, dengan memutarbalikkan fakta.
Kekerasan berdimensi ekonomi yang perempuan alami, termasuk yang terbanyak terjadi pada kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga. Sekalipun dalam konstruksi masyarakat di Indonesia, menempatkan laki-laki sebagai kepala rumah tangga yang berkewajiban untuk mencari dan memberi nafkah kepada istri, tetapi tidak sedikit dari mereka yang menelantarkan istri dan anak-anak.
Bahkan ada yang secara sengaja mengontrol pendapatan istri, melarang istri bekerja tetapi juga tidak memberikan uang atau pendapatan yang cukup untuk keluarga.
Kekerasan seksual, yakni kekerasan yang mengarah kepada serangan terhadap seksualitas seseorang, bisa berupa pemaksaan hubungan seksual, pemukulan dan bentuk-bentuk kekerasan lain yang menyertai hubungan intim; bisa sebelum atau sesudah hubungan intim, pemaksaan berbagai posisi dan kondisi hubungan seksual, pemaksaan aktivitas tertentu, pornografi, penghinaan terhadap seksualitas perempuan melalui bahasa verbal, ataupun pemaksaan pada istri untuk terus menerus hamil atau menggugurkan kehamilan.
Kekerasan seksual yang dialami perempuan, biasanya disertai dengan kekerasan-kekerasan lain, baik fisik, mental, maupun ekonomi. Dan yang pasti tidak saja berdampak pada organ seks/reproduksi secara fisik, namun juga berdampak pada kondisi psikis atau mental.
Faktor Penyebab KDRT
Kekerasan di dalam rumah timbul dan terjadi karena berbagai faktor, baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Namun, kekerasan itu sendiri bisa berbuntut pada kekerasan yang lain. Kekerasan terhadap istri, misalnya, biasanya akan berlanjut pada kekerasan-kekerasan lain; terhadap anak dan anggota keluarga yang lain.
Dan kebiasaan buruk ini bisa menular, dan keluar dari lingkup dalam rumah tangga, dan selanjutnya keluar menjadi wabah dalam masyarakat. Inilah yang kita sebut sebagai lingkaran setan kekerasan. Setidaknya ada 5 faktor sosial, yang melestarikan adanya penyebab KDRT dan menyulitkan korban memperoleh dukungan dan pendampingan dari masyarakat.
Ketimpangan Relasi
Pertama dan yang utama adalah adanya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan; baik di rumah tangga, maupun dalam kehidupan publik. Ketimpangan ini seringkali memberi kuasa kepada laki-laki untuk memerintah, mengatur, dan mendisiplankan perempuan, baik sebagai istri, anak, saudara, bahkan sebagai ibu.
Di keluarga misalnya, kebanyakan masyarakat percaya bahwa suami adalah pemimpin bahkan penguasa keluarga. Istri diposisikan seperti milik penuh suami, yang berada pada kontrol dan pengawasannya. Sehingga apapun yang istri lakukan, harus seizin dan sepengetahuan suami. Tidak sebaliknya.
Ketika terjadi kesalahan sedikit saja dari istri dalam cara pandang suami, istri harus berhadapan dengan pengawasan dan pengontrolan dari suami. Suami merasa dituntut untuk mendidik istri dan mengembalikannya pada jalur yang benar, menurut cara pandang suami. Pengontrolan ini tidak sedikit, yang pada akhirnya menggunakan tindak kekerasan.
Ketergantungan
Kedua, ketergantungan istri terhadap suami secara penuh. Terutama untuk masalah ekonomi, yang membuat istri benar-benar berada di bawah kekuasaan suami. Posisi rentan ini sering menjadi pelampiasan bagi suami, ketika dia menghadapi persoalan-persoalan yang sebenarnya berada di luar rumah tangga.
Banyak penelitian yang menunjukkan beberapa suami yang mengalami kekerasan atau pelecehan di tempat kerja, dia lalu melampiaskannya di rumah kepada istri atau anak-anak. Suami akan menggunakan ketergantungan ekonomi istri, untuk mengancamnya jika tidak mengikuti apa yang ia inginkan dan memenuhi apa yang ia butuhkan.
Abai terhadap KDRT
Ketiga, sikap kebanyakan masyarakat terhadap KDRT yang cenderung abai. Penyebab KDRT dianggap urusan internal dan hanya menyangkut pihak suami dan istri belaka. Paling jauh, keluarga terdekat dari pihak suami maupun istri. Itupun masih sangat jarang.
Masyarakat pasti akan bertindak jika melihat ada perempuan yang diserang orang tidak dikenal, tetapi jika yang menyerang adalah suaminya sendiri, justru mereka mendiamkannya. Jika kekerasan suami ini terjadi di luar rumah, masyarakat hanya akan menasihati untuk dibawa ke dalam rumah saja.
Penafsiran yang Salah
Keempat, keyakinan-keyakinan yang berkembang di masyarakat termasuk yang mungkin bersumber dari tafsir agama. Bahwa perempuan harus mengalah, bersabar atas segala persoalan keluarga, harus pandai menjaga rahasia keluarga, keyakinan tentang pentingnya keluarga ideal yang penuh dan lengkap, tentang istri shalihah, juga kekhawatiran-kekhawatiran terhadap proses perceraian dan akibat dari perceraian.
Tentu saja, keyakinan dan kepercayaan yang tumbuh di masyarakat ini, pada awalnya adalah untuk kebaikan dan keberlangsungan keluarga. Tetapi dalam konstruksi relasi yang timpang, seringkali digunakan untuk melanggengkan KDRT.
Kontrol Diri Lemah
Kelima, kontrol diri yang lemah. Masyarakat, terutama ketika berelasi dalam rumah tangga, tidak kita didik dan latih untuk mampu mengontrol diri. Terutama ketika marah, tentang bagaimana melampiaskan kemarahan yang tidak destruktif.
Anak-anak dan remaja, terutama yang dewasa dan beranjak untuk menikah, tidak kita kenalkan tentang bagaimana berelasi yang sehat, mengenali diri dan mengenali pasangan, serta mengenali hubungan yang baik dan saling menguatkan. Pendidikan mengenai relasi kesalingan ini, atau mubadalah, sedikit sekali tersedia dalam lembaga-lembaga sosial masyarakat.
Jawaban Islam
Tentu saja, Islam memandang segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga adalah kezaliman yang harus kita hapuskan. Kekerasan, atau dharar, adalah haram, oleh siapapun dan kepada siapapun. Karena itu, faktor-faktornya harus kita hentikan agar tidak menyebabkan maraknya kasus-kasus KDRT.
Dalam Islam, relasi laki-laki dan perempuan, termasuk antara suami dan istri, adalah berpasangan (zawaj), bukan bawahan dan atasan. Kewajiban nafkah bagi suami terhadap istri, juga bukan untuk menciptakan ketergantungan. Melainkan peran yang bersifat resiprokal.
Sikap abai masyarakat terhadap kasus KDRT, juga bertentangan dengan ajaran Islam yang menganjurkan untuk mengubah kemungkaran. Kekerasan adalah kemungkaran yang nyata dalam Islam. Apalagi, banyak hadits Nabi Muhammad Saw juga yang menganjurkan pertolongan bagi orang-orang yang mengalami kezaliman. Sementara, bagi yang zalim, juga harus kita hentikan dengan berbagai intervensi, seperti perundang-undangan.
Faktor-faktor keyakinan dan budaya yang melestarikan KDRT, juga penting untuk kita ubah dan kita transformasikan, sebagai amanat visi Islam yang rahmatan lil ‘alamin dan akhlaq karimah. Pendidikan relasi mubadalah yang bersifat praktis, baik bagi pasutri maupun seluruh anggota keluarga, tentu saja menjadi niscaya. Agar semua anggota keluarga, benar-benar, mampu mengimplementasikan amanat pesan Nabi Muhammad Saw berikut ini:
“Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kamu kecuali mencintai sesuatu untuk orang lain sebagaimana ia mencintai sesuatu itu untuk dirinya sendiri.” (Musnad Ahmad no. 14083). []